Kamis, 22 Juli 2010

Rapuh

Setiap orang bisa begitu bodoh di hadapan dirinya sendiri. Aku pernah mendengar bahwa musuh terberat seorang pemimpin bukanlah orang lain, tetapi justru dirinya sendiri. Hati adalah ruh, yang mampu menjatuhkan tiang pancang tertinggi dalam sekali tebas. Aku rapuh, sangat rapuh.

Aku bahagia di tempat ini. Tapi di dalam kebahagiaan itu seperti ada bara yang menyengat dan melukai. Perih. Mungkin tipis, tapi hingga sekarang luka itu belum sembuh. Luka itu kecil, tetapi dalam. Aku ingin sembuh.

Ternyata keindahan tidak hanya mampu mendatangkan manis tetapi juga kepahitan. Entah aku menganggapnya apa. Yang jelas dia bersarang kuat dalam pikiranku.

Ingin aku mengucapkan selamat tinggal padanya. Selamat tinggal pada keindahan. Karena yang aku terima darinya hanya pahit, bukan manis. Bukan salahnya. Sekali lagi aku katakan ini semua kesalahanku, murni. Pemuda rapuh yang kalah dalam perang melawan batinnya sendiri.

Sungguh aku ingin menangis, tapi air mata ini tak kunjung menetes. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menumpahkan rasa ini.

Ya Allah, apa yang salah denganku. Kenapa resah dan gelisah ini seperti sulit sekali aku bunuh.

Aku ingin muntah. Mengeluarkan segala kepenatan dan semua hal yang  menekan semua sistem syarafku hingga berhenti bekerja saat aku ada di dekatnya.

Aku tau Allah telah menuliskan segalanya di lauhul mahfudz. Detik, menit, dan jamnya. Semuanya. Bahkan jodoh pun.

Aku tau aku bersama Dzat Yang Maha Berkuasa. Dzat yang menciptakan bumi dan langit, yang menciptakan manusia pertama di muka bumi, yang membelah laut merah Musa, yang mengizinkan Isa berbicara di kala bayinya, yang menciptakan Sulaiman dengan kerajaannya yag begitu besar, yang menciptakan Muhammad dan memenangkannya di tengah kepungan kaum kafir.

Aku ingat kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika bersama Rasulullah di gua tsur dan dalam keadaan ketakutan. Aku ingat kisah di mana Rasulullah mengucapkan Laa Tahzan Innallaha maa’ana, jangan bersedih Allah bersama kita.

Segalanya telah terekam. Detik, menit, dan jamnya.

Tapi bagaimana pun aku sadar ada kekuatan di luar sana, resah ini sulit sekali aku kubur.

Luka ini seperti luka yang tersiram air cuka, perih, mengering, lalu kembali robek dan harus menerima perih yang sama karena tersiram kembali. Begitu berkali-kali hingga kulit ini mati dalam membedakan apa itu sakit dan nyaman.

Dia mengatakan,

“Sesungguhnya nikmat ukhuwah itu abadi & hanya dapat dirasakan ketika rasa dengki kepada seorang sahabat telah lenyap dari hati, ketika setiap kebahagiaan mereka turut kita rasakan meski tak mendapatkannya, ketika doa kita kepada mereka senantiasa terlantun atas dasar cinta dan iman, serta ketika harapan akan kebaikan kepada mereka tulus seperti kita mengharapkan kebaikan pada diri sendiri.” (masyithah)

Apa aku buta? Aku merasa sekitarku hanya gelap yang tersisa. Bahkan cahaya kata-kata indah itu hanya dapat menyentakku tanpa mengubah segala keresahan dan kegelisahanku.

Sungguh semuanya telah ditulis. Pena telah diangkat dan tinta telah mengering.

Semuanya.

Detik, menit, dan jamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar