This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 20 September 2010

Kemiskinan, Shadaqah, dan Takdir

Pagi yang dingin menyelimuti. Di depanku orang-orang berseliweran bak kuda-kuda liar yang berlomba-lomba memasuki finish. Ada yang membawa koper, tas, dan tak jarang membawa troly dengan dus-dus di atasnya. Mereka semua necis, kebanyakan gaul dan glamour. Pemandangan yang sangat yang tak lazim kutemui di stasiun tugu atau terminal jombor Yogyakarta. Jelas saja, di sini di bandara. Tempat manusia-manusia mapan datang dan pergi dengan sayapnya, terbang menembus ketinggian.

Sistem kehidupan seolah tak adil. Aku sering membayangkan bagaimana jika aku yang jadi mereka. Melihat ke dalam bandara, memandang tinggi pada pesawat yang terbang, tanpa bisa merasakan keadaan itu. Hanya bisa membeli tiket kereta, itupun ekonomi. Ketika di dalam gerbong para penjual lewat, bukannya membeli, mereka malah saling sapa. ‘sederajat’, mungkin itu pikir mereka.

Hmph.. apakah kodrat dunia memang seperti ini? Ada yang kaya ada yang miskin. Ada yang baik ada yang jahat. Ada yang buruk ada pula yang rupawan. Semua serba kebalikan, paradoks, dan berlawanan. Jika Tuhan menciptakan dunia memang seperti ini buat apa mengusahakan untuk memeratakannya. Toh, Sunnatullah mengatakan bahwa dunia ini memang diciptakan berbeda-beda. Wajar.

Hati kecilku berontak. Apa benar Tuhan begitu tega membiarkan seorang hamba lapar tanpa makan tiga hari. Atau berjalan lalu lalang tanpa pakaian yang pantas. Dan bahkan harus tinggal di kolong-kolong jembatan, kepanasan di perempatan jalan, atau tumbuh dalam pendidikan yang terputus hanya karena masalah biaya. Sebenarnya itu takdir Tuhan atau kesalahan sistem? Ini ukiran tangan Tuhan atau jeleknya gambar manusia???

Minggu, 19 September 2010

Janji Pasir

“aku mengenal dikau
tlah cukup lama separuh usiaku
namun begitu banyak
pelajaran yang aku terima



segala kebaikan
takkan terhapus oleh kepahitan
ku lapangkan resah jiwa
karna ku percaya kan berujung indah


kau membuatku mengerti hidup ini
kita terlahir bagai selembar kertas putih
tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai
dan terwujud harmoni”


(padi, harmoni)

Minggu, 05 September 2010

19/5/2010

Mulai menulis lagi, setelah beberapa saat aku berhenti meletakkan gagasan di atas tinta. Aku hanya sakit hati dengan kata, aku kecewa. Dia tak meluncur sebaik aku memikirkannya. Jika aku tak sabar, sudah kumaki saja dia.

Tapi mungkin aku terlalu jahat, menyalahkan sebuah kata yang suci dan tak bernoda. Sesungguhnya, akulah yang salah. Aku yang tak bisa mengerti apa kemauan kata, hanya memikirkan diriku sendiri, dan memaksakan keinginanku terhadap kata.

Maafkan aku kata, Insya Allah, aku ingin berubah. Aku ingin memperlakukanmu murni sebagai kata.

Hari ini aku cukup terenyuh, dengan sebuah kejadian yang luar biasa. "The saftier of the day".

Kejumudan di Kompleks Perumahan

Mencoba menulis kembali sejak beberapa saat tak menulis. Mood, emang musuh para penulis. Ga ada mood ga ada tulisan. Konsekuensi yang hampir jadi sebuah hukum. Padahal ga bagus juga terlalu tergantung ama mood. Hmph, btw, kangen ma temen-temen FLP nie. Mungkin gara-gara itu juga jadi jarang nulis. Ga ada semangat.

Tapi ga bisa dibiarin. Nie harus mulai menulis lagi. Mulai.

Masalah yang ingin aku jabarkan di sini mengenai kondisi kompleks perumahan seperti perumahan karyawan PKT yang saat ini aku berada di dalamnya. Dari kecil aku hidup di sini. Tapi baru sekarang aku sadar, ada yang kurang tepat. Mungkin karena aku mulai belajar banyak hal ketika kuliah di jogja.

Satu masalah yang sangat menggangguku adalah suasana di sini begitu seragam. Keberagaman tak muncul layaknya pemukiman desa dan iklim kampus UGM. Bagi sebagian orang itu bukan masalah, tapi ga buatku. Coba bayangin, gimana pertumbuhan seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang homogen dan seragam??? Jelas mindset dan jalan pikirannya akan mengarah pada kondisi seperti itu.  Berbeda halnya jika sejak awal anak dihadapkan pada kondisi yang serba beragam. Pikirannya akan lebih wise dan bijak menerima perbedaan.

Kebahagiaan

Apa itu kehidupan? Apa itu hidup? Apa konsekuensi ketika kita hidup? Apa hal yang sewajarnya muncul ketika kita hidup? Apa yang membuat kita begitu menikmati hidup, dan sebaliknya begitu membenci hidup?

Seorang sahabat pernah mempertanyakan sebuah pertanyaan simpel, tetapi dalam. Dia menanyakan, “apa yang membuat kita bahagia?”

Waktu itu aku terdiam, karena aku pun bingung menjawabnya. Jujur, begitu banyak kita berusaha dengan tujuan kebahagiaan.. Namun jarang kita berpikir bahwa usaha yang kita lakukan untuk memperoleh kebahagiaan tidak konsisten dengan tujuan kebahagiaan sebenarnya?