This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 19 April 2010

Kebenaran Radikalisme Islam

Belakangan kata ‘radikalisme’ begitu sering mencuat dan menarik perhatianku. Ada kegusaran yang muncul. Kenapa begitu inginnya sekelompok pihak membendung pemikiran ini? Atau mungkin pemahaman tentang kata ini berbeda antara satu dengan yang lain?

Satu pihak menganggap bahwa radikalisme berpotensi memecah belah umat. Radikalisme dianggap tidak sesuai dengan kondisi zaman saat ini. Bahkan yang lebih parah, radikalisme dianggap sebagai embrio terorisme. Dampaknya, orang-orang menjadi alergi dan takut terhadap kata radikalisme.

Secara intuisi, hal itu bisa dibenarkan. Akan tetapi pandangan mengenai radikalisme seharusnya tidak terbatas pada intuisi yang didominasi subyektifitas. Kita harus melihat secara obyektif, apa itu radikalisme, seperti apa definisinya, dan segala hal tentangnya.

“‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”.”

Jika kita mengacu kepada pendapat ini, mungkin kita akan mendapatkan gambaran sifat yang menonjol. Radikal identik dengan sifat totalitas.

Pertanyaannya, apa yang salah? Apakah Islam mengajarkan kita untuk setengah-setengah dalam berbuat sesuatu? Apakah kemudian, sifat radikal bertentangan dengan sifat Islam? Atau jangan-jangan radikal yang berarti totalitas adalah justru merupakan inti ajaran Islam?

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (total), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah:208)

Jika kita mau obyektif, sebenarnya sifat radikal tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Islam sendiri yang mengajarkan sifat radikal itu untuk kita.

Permasalahannya di sini adalah, sifat radikal begitu berbeda ketika berimbuhan dengan –isme. Radikalisme tidak lagi dimaknai sebagai totalitas, tetapi lebih menuju pada sifat keras, drastis dan tanpa toleransi. Ini yang menjadi masalah.

Belum lagi jika kita lebih dalam membahas makna radikalisme Islam atau Islam radikal. Maknanya akan lebih jauh melenceng dari akar kata radikal.

Sejauh yang saya baca, makna Islam radikal atau radikalisme Islam lebih banyak mengarah kepada poin negatif. Makna kedua kata ini lebih banyak digunakan atau ditujukan untuk sebuah kelompok yang dianggap keras. Stigma ini kemudian digulirkan dan akhirnya kelompok-kelompok terkait dicap sebagai kelompok yang keras, tidak punya toleransi, tertutup, asing, dan beberapa sifat yang mirip.

Padahal jika kita mau berkenalan lebih jauh, kelompok-kelompok ini tidak sekeras makna radikalisme Islam yang digembar-gemborkan. Mereka punya toleransi. Yang membedakan hanyalah karakter. Sama seperti sepasang saudara yang berlainan karakter, walaupun berasal dari satu darah.

Bahwa mereka radikal, dalam pengertian dan pendapat sebelumnya, saya setuju. Mereka memang totalitas dalam mengangkat Islam dalam kehidupan. Mereka menyeluruh dalam mengimplementasikan Islam. Mereka tidak hanya toleran, tapi juga tegas menyikapi berbagai masalah umat.

Akan tetapi dalam menyamakan mereka dengan konsep radikalisme Islam, saya tidak sepakat. Makna ‘radikalisme Islam’ yang dimunculkan tidak konsekuen dengan akar kata ‘radikal’. Terlihat sekali bahwa istilah ‘radikal’ yang sebenarnya positif, di tenggelamkan dalam makna ‘radikalisme Islam’ yang cenderung negatif.

Adian husaini menyebut istilah radikalisme Islam lebih baik diganti menjadi ekstrimisme Islam. Makna ini lebih jelas karena memiliki makna berlebih-lebihan. Untuk makna ini, kita semua sepakat bahwa Rasulullah pun melarang hal yang berlebih-lebihan walaupun itu dalam konteks ibadah. Dan dalam konteks ini, saya pun sepakat bahwa ekstremisme Islam tidak seharusnya dibela, karena jelas melanggar ‘core’ ajaran Islam.

Mari merenung...

Saya sempat berpikir bahwa bisa jadi penyembulan makna ‘radikalisme Islam’ ini dilandasi oleh kepentingan perang dunia global. Kepentingan perang yang diungkapkan oleh Samuel Huttington dalam bukunya, “Clash of Civilization”.

Menhan AS, Paul Wolfowits menyatakan: “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D. (2008), yang dikutip oleh Adian husaini)

Tidak terasa kah kejanggalan, saat Menhan AS mengatakan ‘Islam’ di tengah pidato perangnya???
Kita harus lebih obyektif dalam hal ini. Secara historis bangsa Indonesia punya lubang kelemahan hasil politik ‘devide et impera’. Dan bisa jadi kelemahan ini yang sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu.

Akhirnya, saya hanya bisa berkata, manusia memang begitu lemah. Apalagi di hadapan raksasa informasi. Dewasa ini, semua begitu kompleks dan membingungkan. Kebenaran hanya diklaim secara sepihak dan menjadi sangat subyektif.

Di satu sisi kebenaran diinjak-injak atas nama toleransi yang berlebihan, dan di sisi lain kebenaran terlalu diagung-agungkan dengan membantai manusia yang tak se-benar.

Padahal tanaman secara wajar tumbuh mengikuti arah datangnya sinar matahari, begitu juga manusia. Pemikiran yang telah lama berdansa dalam waktu dan lingkungan masa kecil, pasti wajar berpengaruh di kedewasaannya.

Jika kita sadar hal ini, seharusnya kita berdebat layaknya kakak dan adik, bukan seperti malaikat dan iblis.

Kita semua bersaudara, dan seharusnya menguat dalam kesadaran kesamaan aqidah.

Ah, aku teringat saat membaca kisah terakhir kehidupan Rasulullah. Tentang kata-kata yang terucap dari bibir sucinya, “Ummati...ummati...ummati...”
 Yah, aku sadar...
Kita lupa........
Bahwa kita bersaudara.......

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Huujurat: 49)

Minggu, 18 April 2010

Antara Idealisme dan Orang tua

Apa jadinya jika idealisme harus dibenturkan oleh kenginan orang tua? Kita akan sulit sekali menentukan sebuah keputusan. Di satu sisi idealisme harus dipertahankan mati-matian, tetapi di lain sisi menuruti kemauan orang tua merupakan sebuah kewajiban.

Satu-satunya hal yang berpotensi sangat absurd dalam hubungan kita dengan orang tua bukan hanya masalah idealisme. Masalah-masalah kebenaran pun bisa jadi berpotensi memancing konflik dengan orang tua.

Contoh konkretnya, bisa jadi orang tua kita menginginkan kelulusan yang cepat dari kuliah kita. Tetapi ternyata menurut kita tidak. Kita lebih memandang kualitas daripada kuantitas kecepatan. Kuliah lama tidak masalah jika bisa diimbangi dengan pencapaian yang tinggi. Berbeda dengan pandangan orang tua yang menilai kecepatan lulus kuliah merupakan segalanya.

Lagi-lagi harus dikatakan bahwa dunia ini tidak terdiri atas hitam dan putih saja. Dunia ini juga dibentuk dari nuansa keabu-abuan. Bisa jadi kebenaran yang kita yakini adalah sebuah kesalahan yang orang tua kita yakini. Bisa jadi pikiran berat yang kita hadapi hanya seperti kerikil dalam pandangan orang tua kita.

Bagaimana kita bersikap? Sepertinya agama telah mengajarkan.

Islam mengajarkan untuk kita mematuhi segala apa yang diperintahkan orang tua kita, kecuali jika itu bertentangan dengan aqidah. Hal ini mutlak dan tak terganggu gugat. Bahkan walaupun kita boleh menolak perintah yang mengganggu aqidah, kita tetap diwajibkan menolak dengan halus dan berbuat baik kepada mereka berdua.

Teorinya mudah, tetapi tak semudah implementasinya. Bagaimana caranya melakukan hal yang kita yakini salah walaupun itu tidak bertentangan dengan Islam? Kita seperti harus berenang di anak sungai, yang kita yakini ujungnya adalah jurang.

Tapi mungkin inilah keindahan Islam. Agama ini mengatur secara jelas hubungan paling simpel antara anak dengan orang tuanya. Islam jelas, tegas, sekaligus sederhana dalam mengatur hak dan kewajiban anak dan orang tua.

“Adakalanya kita menilai sesuatu itu baik, ternyata itu buruk di mata Allah. Dan adakalanya kita menilai sesuatu itu buruk, ternyata itu baik di mata Allah.”

Bisa jadi kita begitu keras dengan idealisme yang kita anggap baik. Akan tetapi, bisa jadi itu bukanlah yang terbaik untuk kita.

Bisa jadi orang tua kita adalah wakil Allah yang diturunkannya untuk menjaga kita dari hal-hal yang buruk di mata Allah.

Yah... kenapa hidup ini begitu terlihat serius dan berbahaya. Karena kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi satu detik hidup kita ke depan.

Dan kenapa hidup ini memaksa kita untuk bersikap tawakkal, karena kita tidak tau kita sedang berhadapan dengan rahmat atau musibah.

Yang kita bisa hanya berprasangka baik kepada Allah SWT.

Keniscayaan Ujian Pemuda



Hasan Al-Banna mengatakan bahwa seorang pemuda memiliki kekuatan terbaik dari seorang manusia. Hal itu dibuktikannya dengan langkah nyata, pendidikan yang fokus kepada pembentukan generasi ummat. Beliau percaya bahwa peradaban Islam pasti akan muncul di tangan pemuda. Sama seperti da’wah Nabi dan Rasul yang terekam dalam Al-qur’an. Da’wah itu selalu dipanggul di atas pundak pemuda.

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Ar-Rum: 54)

Sejarah membuktikan bahwa perubahan selalu berasal dari kebeningan telaga yang menggelegak dari hati para pemuda. Kemiskinan yang menjadi momok bangsa Amerika Latin diubah oleh Che dengan revolusinya di Cuba. Kemerosotan ekonomi Jerman diubah oleh Hitller dengan faham fanatisme rasnya. Sayyid Qutbh, Hasan Al-Banna, Hasan Hanafi, Khomeini, bahkan hingga generasi Tabi’it Tabi’in, semuanya adalah pemuda dengan perubahan yang dibawanya masing-masing.

Impian, harapan dan cita-cita seorang pemuda begitu tinggi. Ditambah lagi kekuatan dan keberanian yang dimilikinya. Semua potensi yang dimiliki oleh seorang pemuda mengantarkannya pada strata tertinggi dari barisan para pejuang. Ibarat sebuah pohon, pemuda adalah pucuk tertingginya. Dan dengan posisi itu, pemuda niscaya menanggung amanah yang terberat dalam kehidupan.

Teringat sebuah pepatah, “makin tinggi pohon makin kencang angin bertiup.” Makin tinggi tingkatan dan kekuatan yang diberikan, cobaan itu akan semakin besar.

Jika pepatah ini dibawa dalam konteks pemuda, maka pemuda sunnatullahnya memiliki cobaan yang paling berat semasa hidupnya. Dalam keadaan emosi yang masih labil, keinginan yang berlimpah, angan yang panjang dihanyutkan dalam lingkungan yang hedonis, apatis, dan serba instan. Pemuda dengan segudang amanah di pundaknya harus mampu melewati hadangan internal dan eksternal ini.

Pemuda yang lemah akan mati dalam cobaan kenikmatan. Dan pemuda yang berhasil melewatinya akan terus diuji dengan angin yang lebih kencang. Wajar jika pemuda diberikan cobaan yang berat. Karena dari tangan-tangan merekalah diharapkan sebuah perbaikan.

Allah berperan besar dalam mempersiapkan kader-kader-Nya. Seorang pemimpin selalu lahir dari seleksi alam yang berat. Dan pemuda sebagai generasi kepemimpinan sudah sewajarnya mendapatkan ujian yang sangat berat. Seperti besi yang dipanaskan, ditempa, dan direndam berkali-kali akan menghasilkan pedang yang tajam.

Terakhir, teruntuk dirimu para pemuda. Kesabaran seorang pemuda memang tipis. Emosi yang menggelayut menjadikan kesabaran begitu sulit. Apalagi jika dengan kesabaran itu, masalah yang datang begitu besar dan tak kunjung hilang. Akan tetapi ingatlah logika besi yang ditempa dan dibakar. Makin kencang tempaan dan panas api yang membakar, akan menghasilkan pedang yang semakin tajam. Makin keras dan berat ujian yang diberikan, makin handal generasi kepemimpinan yang dihasilkan.

Allah yakin, pemuda tidak seperti kayu lapuk yang akan hancur dengan segelintir benturan. Allah yakin pemuda ibarat besi yang kan makin gagah dan kokoh dengan tempaan api. Bersabarlah.

Pengakuan Keberadaan

Suatu saat aku melihat tulisan yang begitu baik dari seorang sahabat. Tulisannya dalam dan sangat megah. Dari dulu memang ciri khasnya seperti itu. Gaya penulisan yang melayang-layang dan membuai seperti penyihir. Membuat orang terkesima dan segera ingin mengucapkan kata-kata pujian. Aku ingin memiliki tulisan itu. Aku ingin...

Di Bontang, aku memiliki sahabat yang kharismatik. Hanya duduk, diam, mendengarkan, dan berbicara sedikit saja bisa membuat dirinya menjadi seorang ketua. Dia diakui semua orang. Aku menginginkannya. Bukan posisi ketua itu, tapi naluriah kepemimpinan itu. Aku ingin...

Aku bertemu dan berkenalan dengan beberapa aktivis kampus yang luar biasa. Aku kagum ketika mereka mengenakan ikat kepala dan almamater lalu berteriak dengan megaphone. Aksi-aksi dan retorika mereka membius. Orang bisa mengangguk-anggukkan kepala, menatap lama, meneteskan air mata, bahkan sampai begitu terbakar hanya dengan mendengar teriakan-teriakannya. Aku ingin seperti itu. Lagi-lagi... aku ingin....

Di asrama, semuanya begitu hebat. Manusia-manusia super dengan Ipk nyaris 4, penulis-penulis yang namanya sering tercatat dalam media massa dan piagam kompetisi, ustadz-ustadz teladan dengan hafalan hampir di atas 2 juz dan pengetahuan Islam yang mendalam, mahasiswa-mahasiswa hasil pertukaran pelajar ke Singapura, Korea, dan Australia, asisten-asisten dosen, ketua-ketua organisasi, dan segala kelebihan yang mereka miliki... hmph...

Aku ingin semua itu.... Aku ingin menjadi seperti mereka....

Aku ingin... diakui... keberadaannya....

Lelah rasanya hanya menjadi seorang pecundang di kampus besar. Teringat pesan seorang guru, “lebih baik menjadi pemenang di kampus pecundang, daripada menjadi seorang pecundang di kampus pemenang”. Lihat aku... ada di mana sekarang diri ini??

Ah!!! Ingin rasanya kuhembuskan nafas ini sekuatnya.

Ketika aku menuliskannya, pasti banyak yang mengatakan aku tidak bersyukur. Mungkin ada benarnya. Aku sendiri sadar, aku memang bukan seorang yang pandai bersyukur. Aku ambisius. Tapi bukan ambisius dalam makna positif, lebih kepada makna negatif.

Aku sadar aku latah dan cenderung instan. Ketika aku melihat begitu banyak kelebihan dari orang lain, aku begitu ingin memilikinya. Aku lupa bahwa di balik kesuksesan mereka, ada kisah-kisah menyakitkan dan perjuangan membanting tulang. Aku terlalu terbius dengan hasil. Aku lupa bahwa ada proses di baliknya. Yang bisa jadi, proses itu begitu panjang dan sulit.

Berarti aku harus berlatih sekuat tenaga menjadi seperti mereka? Faktanya, sampai saat ini aku berlatih, aku belum mampu menyamai mereka..... Aku masih saja seorang pecundang....

Apa yang salah?? Kenapa begitu berat menjadi seperti mereka?? Apakah kurang lama aku berlatih? Atau kurang keras? Atau jangan-jangan aku salah kaprah? Mengambil jalan yang seharusnya tidak aku ambil?

Aku pikir aku sudah mengikuti apa yang mereka lakukan (setidaknya yang terlihat). Aku sudah mengikuti bagaimana mereka bekerja, berlatih, dan menuangkan ekspresinya. Tapi yang terjadi tidak seperti yang kubayangkan. Aku terjebak menjadi alat foto copy. Aku melihat diriku seperti ‘ban serep’ yang digunakan sebagai cadangan. Alih-alih menyamai mereka semua, aku terjerembab dalam kejatuhan harga diri yang lebih dalam. Memang perlahan aku mulai diakui karena punya ‘sesuatu’. Tapi jujur ini tidak seperti yang aku bayangkan. Aku menginginkan kualitas itu. Bukan hanya pengakuan.

Alhamdulillah suatu saat aku membaca sebuah tulisan dan menemukan petikan kalimat ini,

“Good works will be recognized-ultimately. But if you work for the recognition alone, you may be in for a long wait.” (Lorraine Monroe)

Subhanallah, ternyata....

Aku salah karena bergerak atas dasar pengakuan. Aku terlalu terpaku dengan penghargaan. Aku lupa bahwa kualitas akan melahirkan pengakuan. Dan oleh sebab itu, kualitas adalah satu-satunya yang harus kita kejar. Berusaha keras karena pengakuan membuatku terjebak pada perjalanan melelahkan mencapai kesuksesan.

Caraku pun salah. Aku salah kaprah. Aku mengambil jalan yang seharusnya tidak aku ambil. Aku salah ketika ingin menjadi orang lain. Aku lupa bahwa setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan perannya masing-masing.

Aku memang ingin menjadi penulis itu, aktivis itu, sahabatku itu, mahasiswa-mahasiswa itu. Tapi seharusnya dengan caraku sendiri. Aku diciptakan di lingkunganku sendiri dan pendidikanku sendiri. Aku hidup dengan takdirku sendiri. Dan seharusnya aku berjalan di jalanku sendiri. Menemukan jati diriku sendiri.

Aku percaya mereka yang berhasil dan kukagumi memiliki cara mereka sendiri. Mereka berjalan di jalan yang tepat, karena mereka berjalan dengan cara mereka berjalan. Mereka bisa karena mereka percaya dengan kekuatan mereka sendiri.

Dan seharusnya aku begitu...

Bagaimana dengan kalian???

Sabtu, 17 April 2010

Pengakuan Keberadaan

Suatu saat aku melihat tulisan yang begitu baik dari seorang sahabat. Tulisannya dalam dan sangat megah. Dari dulu memang ciri khasnya seperti itu. Gaya penulisan yang melayang-layang dan membuai seperti penyihir. Membuat orang terkesima dan segera ingin mengucapkan kata-kata pujian. Aku ingin memiliki tulisan itu. Aku ingin...

Di Bontang, aku memiliki sahabat yang kharismatik. Hanya duduk, diam, mendengarkan, dan berbicara sedikit saja bisa membuat dirinya menjadi seorang ketua. Dia diakui semua orang. Aku menginginkannya. Bukan posisi ketua itu, tapi naluriah kepemimpinan itu. Aku ingin...

Aku bertemu dan berkenalan dengan beberapa aktivis kampus yang luar biasa. Aku kagum ketika mereka mengenakan ikat kepala dan almamater lalu berteriak dengan megaphone. Aksi-aksi dan retorika mereka membius. Orang bisa mengangguk-anggukkan kepala, menatap lama, meneteskan air mata, bahkan sampai begitu terbakar hanya dengan mendengar teriakan-teriakannya. Aku ingin seperti itu. Lagi-lagi... aku ingin....

Di asrama, semuanya begitu hebat. Manusia-manusia super dengan Ipk nyaris 4, penulis-penulis yang namanya sering tercatat dalam media massa dan piagam kompetisi, ustadz-ustadz teladan dengan hafalan hampir di atas 2 juz dan pengetahuan Islam yang mendalam, mahasiswa-mahasiswa hasil pertukaran pelajar ke Singapura, Korea, dan Australia, asisten-asisten dosen, ketua-ketua organisasi, dan segala kelebihan yang mereka miliki... hmph...

Aku ingin semua itu.... Aku ingin menjadi seperti mereka....

Aku ingin... diakui... keberadaannya....

Lelah rasanya hanya menjadi seorang pecundang di kampus besar. Teringat pesan seorang guru, “lebih baik menjadi pemenang di kampus pecundang, daripada menjadi seorang pecundang di kampus pemenang”. Lihat aku... ada di mana sekarang diri ini??

Ah!!! Ingin rasanya kuhembuskan nafas ini sekuatnya.

Ketika aku menuliskannya, pasti banyak yang mengatakan aku tidak bersyukur. Mungkin ada benarnya. Aku sendiri sadar, aku memang bukan seorang yang pandai bersyukur. Aku ambisius. Tapi bukan ambisius dalam makna positif, lebih kepada makna negatif.

Aku sadar aku latah dan cenderung instan. Ketika aku melihat begitu banyak kelebihan dari orang lain, aku begitu ingin memilikinya. Aku lupa bahwa di balik kesuksesan mereka, ada kisah-kisah menyakitkan dan perjuangan membanting tulang. Aku terlalu terbius dengan hasil. Aku lupa bahwa ada proses di baliknya. Yang bisa jadi, proses itu begitu panjang dan sulit.

Berarti aku harus berlatih sekuat tenaga menjadi seperti mereka? Faktanya, sampai saat ini aku berlatih, aku belum mampu menyamai mereka..... Aku masih saja seorang pecundang....

Apa yang salah?? Kenapa begitu berat menjadi seperti mereka?? Apakah kurang lama aku berlatih? Atau kurang keras? Atau jangan-jangan aku salah kaprah? Mengambil jalan yang seharusnya tidak aku ambil?

Aku pikir aku sudah mengikuti apa yang mereka lakukan (setidaknya yang terlihat). Aku sudah mengikuti bagaimana mereka bekerja, berlatih, dan menuangkan ekspresinya. Tapi yang terjadi tidak seperti yang kubayangkan. Aku terjebak menjadi alat foto copy. Aku melihat diriku seperti ‘ban serep’ yang digunakan sebagai cadangan. Alih-alih menyamai mereka semua, aku terjerembab dalam kejatuhan harga diri yang lebih dalam. Memang perlahan aku mulai diakui karena punya ‘sesuatu’. Tapi jujur ini tidak seperti yang aku bayangkan. Aku menginginkan kualitas itu. Bukan hanya pengakuan.

Alhamdulillah suatu saat aku membaca sebuah tulisan dan menemukan petikan kalimat ini,

“Good works will be recognized-ultimately. But if you work for the recognition alone, you may be in for a long wait.” (Lorraine Monroe)

Subhanallah, ternyata....

Aku salah karena bergerak atas dasar pengakuan. Aku terlalu terpaku dengan penghargaan. Aku lupa bahwa kualitas akan melahirkan pengakuan. Dan oleh sebab itu, kualitas adalah satu-satunya yang harus kita kejar. Berusaha keras karena pengakuan membuatku terjebak pada perjalanan melelahkan mencapai kesuksesan.

Caraku pun salah. Aku salah kaprah. Aku mengambil jalan yang seharusnya tidak aku ambil. Aku salah ketika ingin menjadi orang lain. Aku lupa bahwa setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan perannya masing-masing.

Aku memang ingin menjadi penulis itu, aktivis itu, sahabatku itu, mahasiswa-mahasiswa itu. Tapi seharusnya dengan caraku sendiri. Aku diciptakan di lingkunganku sendiri dan pendidikanku sendiri. Aku hidup dengan takdirku sendiri. Dan seharusnya aku berjalan di jalanku sendiri. Menemukan jati diriku sendiri.

Aku percaya mereka yang berhasil dan kukagumi memiliki cara mereka sendiri. Mereka berjalan di jalan yang tepat, karena mereka berjalan dengan cara mereka berjalan. Mereka bisa karena mereka percaya dengan kekuatan mereka sendiri.

Dan seharusnya aku begitu...

Bagaimana dengan kalian???