This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 15 Juni 2008

Aku, Kepemimpinan, dan Perubahan Sosial

Sering kita mendengar ungkapan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini karena setiap sesuatu pasti berubah, sesuatu yang abadi di dunia ini hanyalah kata perubahan itu sendiri. Ungkapan itu jika dipikir benar-benar memang ada benarnya juga. Begitu pentingnya arti dari perubahan itu dalam kehidupan sehingga ada ungkapan yang mengatakan bahwa arti dari hidup ini adalah perubahan, dapat disimpulkan bahwa ketika kita tidak berubah berarti kita tidak hidup. Sebagai manusia, kita berawal dari bayi, lalu tumbuh menjadi balita, kemudian anak SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi, hingga mungkin nanti kita berkeluarga, tua, dan kembali ke haribaan-Nya, itu semua adalah bukti dari ungkapan hidup adalah perubahan. Dalam ranah yang lebih besar seperti negara dan masyarakat pun juga sama, Indonesia sebagai sebuah negara-pun telah melalui dan akan melalui fase-fase perubahan dalam bukti kehidupannya. Setiap fase-fase kehidupan itu adalah perubahan yang saya, kita, negara, dan semua yang ada di dunia ini telah dan akan jalani (Insya ALLAH). Kondisi masyarakat yang telah ada inipun adalah hasil dari perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian masa lalu. Akan tetapi sayangnya kondisi masyarakat sebagai hasil dari perubahan dan penyesuaian tersebut belum mampu menghasilkan sebuah produk konkret yang berkualitas. Perubahan yang telah dilakukan masih memerlukan perubahan-perubahan lanjutan sebagai finishing dalam proses tersebut. Hal ini diperlukan karena menurut saya perubahan-perubahan yang terjadi masih belum mampu mencapai dan menyelesaikan tujuan utama dari perubahan itu sendiri.


Lalu pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi hal seperti itu. Merujuk kepada sejarah, dimana perubahan itu terjadi, banyak sekali kisah yang menceritakan bahwa sebuah perubahan yang diinginkan benar-benar terkait dengan kepemimpinan. Bagaimana kisah tentang Adolf Hitler yang mampu mengubah kondisi Jerman yang porak poranda akibat perang dunia ke-1 menjadi sebuah negara yang sangat kuat pada perang dunia ke-2 sehingga hanya bisa dikalahkan oleh negara sekutu secara bersama-sama, bagaimana kisah seorang Napoleon Bonaparte yang dengan kemampuan kepemimpinannya berhasil mempelopori revolusi di Perancis, bagaimana kisah seorang Umar Bin Abdul Azis yang mampu membalik kondisi perekonomian negaranya yang bobrok dan diwarnai aksi korupsi pejabat saat itu menjadi sebuah Negara yang kaya raya, dan tentunya bagaimana kisah seorang Rasulullah yang dengan segala kelebihan kepemimpinannya berhasil mengubah kondisi masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab dan bermartabat. Masih banyak lagi sebenarnya kisah-kisah pembuktian bahwa seorang pemimpin sangat dibutuhkan dalam proses perubahan. Hal ini disebabkan karena seorang pemimpin ibarat otak dalam tubuh, ketika otak itu salah mengintrepetasikan sesuatu maka akan salah pula anggota badan yang lainnya untuk bergerak sesuai dengan tujuan awalnya. Begitupula dalam sebuah pergerakan, ketika seorang pemimpin salah dalam berbuat dan bertindak, maka sebuah organisasi pergerakan akan berpeluang untuk berbuat salah dalam berbuat dan bertindak. Lebih jauh dari itu kenyataannya seorang pemimpin tidak hanya dipandang sempit sebagai sebuah otak yang memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak. Seorang pemimpin tidak hanya sekedar otak, tetapi juga adalah jiwa yang mengilhami dan merasuki idealisme, prinsip, dan semangat dari sebuah pergerakan. Sebuah contoh kisah, tidak mungkin seorang Adolf Hitler yang dulunya seorang pelukis mampu memimpin Jerman untuk bangkit dari keterpurukan hanya dengan modal sebagai Decision Maker. Lebih jauh dari itu, seorang Adolf Hitler pasti memiliki kemampuan untuk menjiwai dan merasuki Jerman sesuai dengan idealisme, prinsip, dan semangat yang dia miliki sehingga semua warga bangsa Jerman mau tunduk dan patuh terhadapnya. Keluarbiasaan pemimpin itu pulalah yang mengilhami para nenek moyang bangsa Cina dulu merumuskan strategi-strategi perang yang berfokus kepada melumpuhkan pemimpin lawan. Mereka bangsa Cina itu sadar bahwa ketika mereka ingin mengalahkan sebuah kekuasaan atau gerombolan mereka tidak perlu secara boros mengeluarkan tenaga menghabisi mereka semua. Mereka hanya perlu merencanakan taktik untuk mengalahkan atau melumpuhkan pemimpinnya saja sehingga hasilnya musuh pun kalah dengan sendirinya. Dari semua penjelasan dalam paragraph ini bisa disimpulkan bahwa mungkin saja perubahan yang terjadi di Indonesia masih belum mampu mencapai tujuan awalnya karena masih belum memiliki seorang pemimpin yang memiliki kemampuan untuk memimpin Negara yang besar ini. Negara ini masih belum memiliki seorang pemimpin yang memiliki kemampuan sebagai perasuk dan penjiwa seluruh warga bangsa Indonesia. Para tokoh-tokoh besar Negara ini terlalu sibuk bersandiwara dalam politik kekuasaan sampai-sampai melupakan tujuan utama berdirinya Negara ini seperti yang terkandung dalam pembukaan UUD’45.


Lalu pertanyaan yang muncul kembali adalah apakah kita tidak bisa berbuat sesuatu dalam membantu Negara ini untuk berubah. Dalam ideology saya dikatakan bahwa, “ketika engkau melihat sebuah kedzholiman cegahlah dengan tanganmu, jika engkau tidak sanggup cegahlah dengan lisanmu, jika pun engkau tidak sanggup lakukanlah dengan hatimu, dan yang terakhir adalah selemah-lemahnya iman.” Tidak ada alasan apakah kita seorang pelajar, bapak, pejabat, atau apapun, kita tetap diwajibkan untuk melakukan sesuatu walau dengan hati sekalipun. Contoh konkretnya adalah kepedulian, maksudnya adalah kita sebagai mahasiswa bukan sebagai siswa lagi seharusnya sudah bisa mengerti dan melek terhadap apa yang terjadi di sekitar kita dan dalam konteks yang lebih besar kita seharusnya sudah bisa melek terhadap permasalahan bangsa. Mahasiswa tidak seharusnya memiliki paradigma berpikir lulus cepat, menikah, tua, dan mati tanpa berusaha mengerti dan memahami bahwa kehidupannya harus memberi arti kepada orang lain. Namun kondisi persaingan yang semakin ketat dalam lapangan pekerjaan dan mencari uang menyebabkan mahasiswa saat ini tidak lagi peduli kepada lingkungan sekitar, yang penting gue selamat, begitu pikir mereka. Tidak ada yang perlu dipersalahkan dalam hal ini. Yang lebih penting adalah bagaimana kita secara bersama-sama mau menularkan paradigma berpikir dan idealisme kepedulian kepada mahasiswa lain. Ketika kita mau berniat tulus untuk berbuat hal itu dengan tujuan semata-mata Lillahita’ala dan semata-mata untuk bangsa ini Insya ALLAH jalan menuju terang untuk bangsa ini akan muncul. Impian-impian bahwa Negara ini akan menuju ke kebangkitan nasional yang sebenarnya akan menjadi lebih nyata. Kita semua baik mahasiswa, pekerja, ibu rumah tangga, pejabat, menteri, dan sebagainya mempunyai peran masing-masing dalam perubahan. Akan tetapi sebagai mahasiswa saat ini perubahan itu harus dimulai dari diri kita dan lingkungan sekitar kita terlebih dahulu. Kita mahasiswa dan mahasiswa adalah bakal-bakal dan tunas-tunas yang pada saatnya tumbuh menjadi pohon besar yang mampu menaungi dan merindangi Negara ini dengan segala kemampuan dan keahliannya. Amien.

Ketua BEM sebagai Ketua BAM

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga Negara yang menjadi wadah aspirasi rakyat kepada pemerintah. Di lembaga tersebut terdapat orang-orang yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili suara rakyat kepada pemerintah. Namun faktanya lagi-lagi tidak sesuai dengan teorinya, Dewan Perwakilan Rakyat saat ini lebih tepat dikatakan sebagai Dewan Pertidakwakilan Rakyat. Statement ini bisa dibuktikan oleh masih banyaknya demonstrasi yang terjadi sebagai jalan satu-satunya mengungkapkan aspirasi kepada pemerintah. Seharusnya berawal dari teori, ketika dewan perwakilan tersebut dibuat maka rakyat menyampaikan aspirasinya kepada Dewan tersebut bukan kepada jalanan (turun ke jalan). Dalam hal ini saya menghubungkan kesamaan antara DPR dengan BEM. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah Induk organisasi dari organisasi-organisasi lain. Seorang ketua BEM adalah orang yang telah dipilih oleh seluruh mahasiswa dalam suatu lingkungan akademik untuk mewakili mereka memimpin BEM dan menjadikan organisasi-organisasi dan kehidupan berakademik sesuai dengan aspirasi mereka. Sehingga menurut saya tepat bila Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) itu dikatakan sebagai Badan Aspirasi Mahasiswa (BAM). Sebuah badan yang mampu mewakili suara mahasiswa. Sebuah badan yang seharusnya bergerak dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan aspirasi dari seluruh mahasiswa.


Namun berdasarkan pengamatan saya, saat ini BEM-BEM yang ada tidak seperti yang seharusnya. Dalam hal ini saya tidak membenarkan diri saya sendiri tetapi saya mempunyai alasan untuk menuliskannya. Badan Eksekutif Mahasiswa lebih tepat dikatakan sebagai Badan Eksklusif Mahasiswa. Menurut saya banyak sekali mahasiswa yang tidak tahu dan tidak mengerti tentang apa itu BEM, tentang apa yang dilakukan oleh BEM, ataupun apa yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa dari BEM itu sendiri. Sama dengan fenomena dari DPR, banyak sekali rakyat yang tidak mengerti akan fungsi dari DPR. Mungkin ada yang mengerti tentang hal itu, tetapi justru yang mengerti itu adalah rakyat yang terdidik dan mapan. Padahal yang sangat membutuhkan fungsi dari DPR adalah mereka masyarakat-masyarakat kecil yang sangat rentan menderita ketika ada kebijakan yang tidak sesuai. Begitu pula menurut saya tentang keadaan BEM saat ini, banyak mahasiswa yang tidak tahu dan tidak mengerti akan fungsi dari BEM. Kalaupun tahu, biasanya para mahasiswa tersebut hanya mengetahui sedikit saja dari BEM. Biasanya yang mengetahui itu adalah orang-orang yang memang orang-orang yang care terhadap lingkungan. Nah disinilah peran dari BEM selaku wadah aspirasi mahasiswa untuk merangkul semua mahasiswa dari yang pintar samapai yang kurang pintar, dari yang aktif organisasi sampai yang tidak aktif organisasi, dari yang cuek sampai yang tidak cuek.


Namun tidak sepantasnya pula memang ketika BEM sepenuhnya dipersalahkan menjadi sedikit eksklusif terhadap mahasiswa. Ada banyak variable yang menyebabkan keadaan seperti ini. Menurut saya variabel yang paling berperan adalah mindset kebanyakan mahasiswa yang semestinya dirubah. Mindset yang berkeinginan ketika bayi ditimang-timang, ketika balita dimanja, ketika remaja foya-foya, ketika tua kaya raya, ketika mati masuk surga. Atau seperti yang dikatakan mas Budiyanto, “sekolah, belajar, dapet kerja, nikah terus mati, tanpa mengerti esensi dari kehidupan”. Mindset adalah inti dari diri seseorang yang melatarbelakangi seseorang tersebut bertindak. Menurut saya mindset ini yang paling berperan dalam memunculkan keadaan seperti ini. Nah, tugas BEM lah bersama organisasi-organisasi lain untuk menularkan mindset yang benar kepada mahasiswa yang lain. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh BEM untuk mengubah paradigma berpikir tersebut seperti menggecarkan sosialisasi BEM, menggencarkan promosi acara-acara BEM, atau membuat para mahasiswa itu aktif dan tidak cuek terhadap keadaan lingkungan yang terjadi. BEM bersama organisasi-organisasi lain harus mampu mengedukasi mahasiswa yang lain untuk memiliki mindset yang selaras dengan mindset para anggota BEM. Keuntungan yang bisa di dapat antara lain ketika BEM akan bertindak sesuatu maka mahasiswa yang lain pun akan ikut mendukung hal tersebut. Imej BEM sebagai Badan Ekslusif Mahasiswa pun akan berganti menjadi Badan Aspirasi Mahasiswa karena pikiran mahasiswa yang sejalan terhadap BEM. Memang untuk hal ini diperlukan kerja keras dan niat yang tulus untuk membangun lingkungan yang ideal. Untuk hal ini diperlukan kemauan memberi tanpa mengharap menerima, kemauan memberikan terbaik dari apa yang kita punya kepada orang lain tanpa mengharap balasan pujian atau feedback kebaikan dari orang lain. Seperti yang tertulis dalam buku, Setengah Isi Setengah Kosong, karya Parlindungan Marpaung, organisasi akan menjadi sangat kuat dan solid, ketika setiap orang di dalamnya mau memberi tanpa mengharap menerima.