This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 30 Juni 2010

Adaptasi

Masih teringat masa-masa awal perkuliahan. Tidak semudah seperti yang dibayangkan. Perbedaan budaya dan kebiasaan mengungkung pribadiku, sempat membuatku kehilangan jati diri, namun alhamdulillah hanya efek sesaat.

Bayangin aja, seorang anak kaltim yang sangat ‘bontang’ tiba-tiba nyemplung di lingkungan yang mayoritas jawa-betawi. Langsung aja nie lidah klepek-klepek ama lidah-lidah gua elo2 khas jakarta atau lidah-lidah “po’o” khas Yogyakarta.

Saat itu rasanya pingin lari dan keluar dari lingkungan kampus. Aku ngerasa kampus bukan tempat yang menyenangkan. Tidak ada tempat bagi seorang kaltim’ers yang memegang teguh budaya dan kebiasaan kaltim, kecuali mereka mau mengikis sedikit demi sedikit sisa pembelajaran yang telah mereka dapatkan dari kecil.

Namun lama-lama aku akhirnya terbiasa. Bukan terbiasa untuk mengucapkan ‘gue-eloe’ cara mereka, tetapi lebih kepada terbiasa menanggapi bagaimana orang lain memandang ‘aneh’ pada diriku. Kalo bisa dibilang, udah kapalan nie hati, dah tebel dan ga kerasa lagi, sangking seringnya merasakan ketidak-nyamanan yang semodel.

Aku memang termasuk seorang yang ‘no tolerance’ bagi hal-hal yang aku anggap ‘value’ dan ‘core’. Bagiku, pembelajaran dan pendidikan yang diberikan oleh lingkungan bontang adalah jati diriku. Aneh? Mungkin aneh bagi sebagian besar, tapi tidak bagi beberapa orang yang mengerti bagaimana berartinya kota asal bagi diri kita.

Sekarang aku menemui kesulitan itu lagi. Hanya bedanya, saat ini aku diberikan waktu dua bulan untuk menyelesaikan masalah ini, ditambah lagi sistem memaksaku mengikuti budaya yang ada. Seperti pepatah, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Sedikit banyak aku mengerti dan setuju dengan peribahasa tersebut. Akan tetapi dengan catatan bahwa budaya yang ada tak mengganggu ‘value’ dan ‘core’ yang telah kumiliki.

Tidak mudah kawan, mengganti kebiasaan untuk berterus-terang dan ‘debat di awal’ dengan sebuah ‘kulonuwun’ yang bagiku cukup berlebihan. Tidak mudah membiasakan diri untuk menenggelamkan muka hanya untuk menunduk padahal kita sudah sangat terbiasa dengan lingkungan yang egaliter dan demokratis. Tidak mudah untuk mengubah persepsi kepercayaan kita kepada sebuah lingkungan yang sungguh plin-plan dan penuh dengan topeng.

Entah, aku yang salah memandang atau memang Allah ingin aku menyelesaikan masalah ini dengan penerimaan yang baik dari orang lain.

Aku bisa saja menyelesaikan masalah ini dengan berbuat selatah mungkin terhadap lingkungan. Akan tetapi itu bukan diriku. Aku terbiasa untuk ‘fight’ habis-habisan dengan lingkungan yang aku anggap tidak ‘benar’. Kalaupun aku kalah dengan pertarungan itu, pantang bagiku untuk sengaja mengikuti kebudayaan sang pemenang. Masalah kita mengikutinya tanpa sadar aku tak peduli, asalkan jelas niat di hati adalah mempertahankan idealisme yang kita miliki.

Tiba-tiba aku teringat tentang sebuah ‘quote’ yang bagus sekali dari buku ‘dunia kata’. “Jika engkau berbuat sesuatu untuk sebuah pengakuan, maka jalan yang akan engkau lalui akan sangat panjang....”

Yah, pengakuan. Lagi-lagi kata itu kuncinya. Begitu banyak manusia mati-matian berusaha untuk sebuah pengakuan. Dampaknya adalah kejatuhan yang dalam bagi mereka yang akhirnya gagal.

Akan tetapi bagi manusia yang mati-matian berusaha untuk sebuah kualitas dan ridho dari-Nya, tidak ada kata kalah. Yang ada hanyalah menang, menang, menang, bahagia, bahagia, bahagia.

Ubah cara pandang, agar kita mampu memandang kesulitan dalam beradaptasi sebagai ridho-Nya. Pemuda memang bukan kayu lapuk, tetapi besi yang makin tajam setelah beberapa tempaan dan rendaman. Keep Fight!

Senin, 28 Juni 2010

Beeeeh.... Datang lagi.... Huuuuufftt..

Biarlah kertas putih ini yang kan menjadi saksi curhatku. Bingung mau curhat ke mana. Inilah susahnya jadi aktivis, susah buat curhat tentang perasaan ke siapapun kecuali ke kertas putih dan Allah. Kalo ga dilarang, ya paling jawabannya itu-itu aja, “ga boleh”, “hati-hati”, “ghodul bashar”, dan sebagainya.

Hmph... aku manusia. Butuh cinta dan kasih sayang dari seseorang. Huffffttttt...... Lebay banget... bodo amat..

This is me. Banyak orang yang selalu sok tegar dan sok kuat menerima semuanya seolah-olah dia itu malaikat atau kalo terlalu mulia bisa disebut juga dengan robot berhati baik. Tapi jujur, aku ga bisa seperti itu, atau kalo boleh jujur, aku belum bisa seperti itu. Padahal itu baik. Sangat baik.

Bayangkan ketika semua orang bisa berbuat dan mengontrol dirinya sendiri berdasarkan keimanan bukan berdasarkan keinginan. Aku yakin KPK dan Satgas Mafia hukum itu ga dibutuhkan. Tapi sayangnya ga semua orang bisa seperti itu.

Ya Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Sungguh segala kekuatan ada pada-Mu yang Maha Bijaksana atas seluruh keputusan yang muncul dalam hidupku. Aku selalu yakin, bahkan sehelai daun yang jatuh pun atas ijin-Mu. Aku butuh kekuatan-Mu.

Kuatkan aku dalam menahan diri meminum air walau dalam kehausan, hanya karena aku tau bahwa air itu belum menjadi hakku.

Hufft... Berjuang dah!!! Jangan mikirin urusan-urusan Ga Penting!! Lagian siapa juga yang mau ma loe TAPLAAAKK!! NGACA WOOOI!!!

Hehehe, kacau dah... BERJUAAAAAAANG!!!!

Sabtu, 26 Juni 2010

Reformasi Paradigma Pengawasan Penerimaan Negara

Pendahuluan


Isu korupsi merupakan isu yang selalu menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Isu ini awalnya merebak di sekitar tahun 1998 saat reformasi digulirkan aktivis, akademis, tokoh masyarakat dan beberapa politisi yang berkesempatan mendompleng kepentingannya. Istilah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) tercetus untuk melabeli era orde baru. Berbagai pakar hukum, psikologi, sistem ketata-negaraan, dan sebagainya bersama-sama membentuk solusi untuk mampu memberantas masalah korupsi sampai ke akarnya.

Namun setelah sepuluh tahun berlalu, isu ini masih saja belum tercerabut sampai ke akar-akarnya. Sepertinya masalah korupsi di Indonesia telah sampai pada tahap stadium-4 (parah). Beberapa analisis telah dijabarkan para ahli yang ke semuanya bersepakat bahwa masalah korupsi di Indonesia adalah masalah sistemik.

Masalah sistemik berarti virus korupsi telah mampu merusak seluruh bagian institusi bahkan hingga sistem. Sama seperti tubuh, penyakit yang berbahaya adalah penyakit yang merusak sistem, bukan hanya organ apalagi jaringan. Penyakit HIV adalah penyakit yang merusak sistem kekebalan tubuh. Sangking sistemiknya bahkan hingga sekarang obat dari penyakit ini belum ditemukan. Apalagi jika analogi ini ternyata terjadi dalam sistem kenegaraan Indonesia.

Setiap bidang harus berperan bersama-sama untuk menyembuhkan penyakit ini. Termasuk akuntansi di dalamnya. Sebagai satu-satunya ilmu yang berperan memberikan informasi keuangan suatu entitas, akuntansi memiliki peran yang sangat besar dalam penanggulangan korupsi di Indonesia.

Isu-isu akuntansi pemerintahan di Indonesia telah sampai pada kurikulum berbagai universitas besar di Indonesia. Akan tetapi pembahasan mengenai implementasi dan kekurangan yang dimilikinya ternyata mampu menjadi celah bagi merebaknya kasus korupsi belum dipelajari secara matang.

Untuk itu penulis ingin membahas satu masalah dalam akuntansi pemerintahan yang mungkin menjadikan korupsi sulit terberantas. Masalah yang ingin dibahas oleh penulis di sini adalah masalah kompleksitas pengawasan pada penerimaan negara.

Tinjauan Pustaka


“Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan suatu pekerjaan atau kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan rencana, aturan-aturan, dan tujuan yang telah ditetapkan.” (UU perbendaharaan, 30 Agustus 1970)

Di dalam buku Akuntansi Pemerintahan Indonesia, oleh Revrisond Baswir dijelaskan mengenai tingkat kompleksitas penerimaan negara,

“Perbedaan pokok antara pengawasan penerimaan dengan pengawasan pengeluaran terletak pada segi kompleksitas dan keketatannya. Dari segi kompleksitas, pengawasan pengeluaran jauh lebih kompleks dari pengawasan penerimaan.” (Revrisond Baswir, 2000)

Dari beberapa sumber, kita bisa menilik definisi korupsi sebagai berikut,

“Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.” (Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi)

Korup : busuk; palsu; suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1991)

Buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002)

Korupsi : kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary, 1978)

penyuapan; pemalsuan (Kamus Bahasa Indonesia, 1991)

Penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Kamus Hukum, 2002)

Berdasarkan Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

1)      pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

2)      pasal 3 : “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Gambaran Umum


Dari tinjauan pustaka di atas, penulis merasakan kejanggalan dari cara berpikir pengawasan khususnya dalam hal pengawasan penerimaan. Banyak materi yang membahas masalah pengawasan pengeluaran. Mulai dari penyusunan, pelaksanaan hingga pertanggung-jawaban. Namun sangat sedikit yang membahas masalah penerimaan negara. Padahal ketidak-seimbangan terhadap keandalan sistem pengawasan dan penerimaan memiliki peluang untuk terjadinya korupsi.

Di akuntansi kita mengenal istilah debet kredit yang berarti kanan dan kiri. Paradigma yang digunakan adalah keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Jika tidak ada keseimbangan maka akan salah. Di dalam paradigma ini, pengakuan penerimaan atau pemasukan bukan tidak sulit, justru yang paling kompleks.

Jika paradigma dasar akuntansi saja menetapkan paradigma seperti ini. Mengapa sistem penerimaan keuangan negara tidak?

Sedikit meloncat dalam bidang religius, pemasukan adalah bidang yang sangat diperhatikan dalam agama. Kita sering mendengar bahwa pemasukan yang halal adalah segala-galanya bagi seseorang. Lebih baik pemasukan itu sedikit tapi halal dari pada banyak tetapi haram. Pemasukan yang halal atau baik akan dimakan oleh seseorang dan menjadi bagian tubuh yang baik, digunakan untuk yang baik, dan menghasilkan sesuatu yang baik. Pemasukan itu juga akan digunakan oleh anak dan istrinya untuk sesuatu yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Begitu juga degan pemasukan yang haram.

Dalam bidang ekonomi, kita pernah mendengar tentang pembagian kue sumber daya. Konsep tersebut sebenarnya relevan untuk menjelaskan alasan kenapa sistem penerimaan yang kompleks diperlukan. Adalah janggal jika kita mengharapkan dengan kue yang sedikit akan diimplementasikan pembangunan besar-besaran. Kue yang sedikit hanya akan jadi rebutan dan saling sikut antar daerah dengan pusat. Salah satu penyebab sedikitnya kue bukan masalah pelaksanaan keuangan atau pelaksanaan APBN, ini masalah penerimaan negara yang memang masih bermasalah.

“Perbedaan pokok antara pengawasan penerimaan dengan pengawasan pengeluaran terletak pada segi kompleksitas dan keketatannya. Dari segi kompleksitas, pengawasan pengeluaran jauh lebih kompleks dari pengawasan penerimaan.” (Revrisond Baswir, 2000, hal 119)

Di sinilah penulis mengkritisi. Konsep ini dirasa perlu untuk diubah atas beberapa alasan d atas. Jika memang pengawasan digunakan untuk memastikan bahwa yang seadanya sesuai dengan yang seharusnya maka pengawasan penerimaan harus dilakukan sebaik-baiknya untuk memastikan bahwa penerimaan seadanya sesuai dengan penerimaan seharusnya.

“Modus yang saya lakukan itu biasa. Dan masih banyak orang-orang yang lainnya disini (kantor Pajak, red)," kata Gayus Tambunan seperti ditirukan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Achmad Santosa.[1]

Demikian sepatah kata yang disampaikan oleh Gayus kepada wartawan terkait kasus korupsi pajak yang menggegerkan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, jika pegawai pangkat rendahan seperti itu sampai bisa mengambil 25 Milyar dari uang pajak untuk dirinya sendiri apalagi pegawai tingkat atas?

Ada yang salah dengan sudut pandang penerimaan keuangan negara. Dan bisa jadi sudut pandang yang salah ini yang menyebabkan korupsi di bagian pajak, bea cukai dan penerimaan bukan pajak tak tersentuh serta menyebabkan kerugian negara pada sektor lain dan masyrakat akhirnya jadi korban.



Strategi Pemberantasan Korupsi


Strategi pemberantasan korupsi khususnya di bidang penerimaan negara yang mencakup pajak, bukan pajak, serta bea dan cukai seperti yang diketahui telah sampai pada tahap sistemik. Faktor-faktor yang mendasari jelas terkait dengan berbagai bidang karena memang terkait dengan masalah sistem.

Oleh karena itu, strategi penanganannya bisa dilakukan sebagai berikut:
  1. Bidang hukum, penegakan supremasi hukum yang akhirnya terkait dengan perbaikan pada penegak hukum, masyarakat, sarana, kebudayaan, dan hukum itu sendiri.[2] Tentunya hal ini adalah hal umum yang bisa dikontekskan dalam pengawasan penerimaan negara. Tidak bisa tidak. Penegakan supremasi hukum adalah cara paling efektif untuk mencerabut korupsi sampai ke akar-akarnya.
  2. Bidang psikologi, masalah punishment bagi penggelap penerimaan negara seharusnya memerlukan hukuman yang cukup berat. Penggelapan pada bidang penerimaan jelas akan mempengaruhi besar kecilnya kue yang akan dibagi dalam tahap pengeluaran. Jelas ini akan berimplikasi pada sedikitnya dana yang mengalir ke daerah, disebabkan karena memang sedari awal kue yang ada terlalu sedikit untuk dibagi.
  3. Bidang Akuntansi atau pencatatan keuangan, dalam bidang akuntansi penulis menyarankan beberapa perbaikan yang seharusnya dilakukan:
    1. Penetapan penggunaan historical value dalam pencatatan penerimaan keuangan negara. Alasannya adalah, karena di masa depan trend yang sedang berkembang adalah penggunaan IFRS yang identik dengan fair value sebagai dasar pencatatan. Di satu sisi relevansi yang dihadirkan akan lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan. Akan tetapi sisi pertanggung jawaban dan auditable akan sangat sulit karena terkait dengan judgement.
    2. Peningkatan transparansi informasi penerimaan negara kepada masyarakat. Langkah ini dimaksudkan agar para peneliti dan akademisi yang ‘bebas’ bisa secara langsung meneliti dan mengkritisi kemungkinan penggelapan pajak yang ada. Selama ini informasi ini dirasa sangat sulit didapatkan, kalaupun ada tidak secara komprehensif menjelaskan metode dan bukti-bukti yang terpercaya.
    3. Pendidikan anti korupsi sedini mungkin pada calon-calon akuntan pajak, bea cukai dan pegawai negeri yang ada di perguruan tinggi. Pendidikan ini diharapkan akan mampu menanamkan kesadaran yang cukup agar perubahan bisa tercipta karena tidak hanya dilakukan dalam sistem tetapi juga SDM.

Kesimpulan dan Saran


Pemberantasan korupsi pada bidang penerimaan negara sangat terkait dengan bagaimana pengawasannya. Jika dilihat bahwa pengawasan adalah memastikan bahwa yang seadanya berjalan sesuai dengan yang seharusnya, maka apapun caranya harus dilakukan.

Maka dari itu penulis merekomendasikan beberapa tahap pemberantasan, yaitu sebagai berikut:
  1. Hukum: penegakan supremasi hukum
  2. Psikologis: hukuman yang cukup berat bagi pelanggar
  3. Akuntansi: penetapan penggunaan historical value, peningkatan transparansi informasi penerimaan negara kepada masyarakat, pendidikan anti korupsi sedini mungkin pada calon-calon akuntan pajak, bea cukai dan pegawai negeri yang ada di perguruan tinggi.


[1] http://berita.liputan6.com/producer/201003/269907/Gayus.dan.Kolusi.Pajak

[2] http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-penegakan-hukum-di-indonesia/

Reformasi Paradigma Pengawasan Penerimaan Negara

Nova Kurniawan


07/250200/EK/16508




Pendahuluan


Isu korupsi merupakan isu yang selalu menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Isu ini awalnya merebak di sekitar tahun 1998 saat reformasi digulirkan aktivis, akademis, tokoh masyarakat dan beberapa politisi yang berkesempatan mendompleng kepentingannya. Istilah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) tercetus untuk melabeli era orde baru. Berbagai pakar hukum, psikologi, sistem ketata-negaraan, dan sebagainya bersama-sama membentuk solusi untuk mampu memberantas masalah korupsi sampai ke akarnya.

Namun setelah sepuluh tahun berlalu, isu ini masih saja belum tercerabut sampai ke akar-akarnya. Sepertinya masalah korupsi di Indonesia telah sampai pada tahap stadium-4 (parah). Beberapa analisis telah dijabarkan para ahli yang ke semuanya bersepakat bahwa masalah korupsi di Indonesia adalah masalah sistemik.

Masalah sistemik berarti virus korupsi telah mampu merusak seluruh bagian institusi bahkan hingga sistem. Sama seperti tubuh, penyakit yang berbahaya adalah penyakit yang merusak sistem, bukan hanya organ apalagi jaringan. Penyakit HIV adalah penyakit yang merusak sistem kekebalan tubuh. Sangking sistemiknya bahkan hingga sekarang obat dari penyakit ini belum ditemukan. Apalagi jika analogi ini ternyata terjadi dalam sistem kenegaraan Indonesia.

Setiap bidang harus berperan bersama-sama untuk menyembuhkan penyakit ini. Termasuk akuntansi di dalamnya. Sebagai satu-satunya ilmu yang berperan memberikan informasi keuangan suatu entitas, akuntansi memiliki peran yang sangat besar dalam penanggulangan korupsi di Indonesia.

Isu-isu akuntansi pemerintahan di Indonesia telah sampai pada kurikulum berbagai universitas besar di Indonesia. Akan tetapi pembahasan mengenai implementasi dan kekurangan yang dimilikinya ternyata mampu menjadi celah bagi merebaknya kasus korupsi belum dipelajari secara matang.

Untuk itu penulis ingin membahas satu masalah dalam akuntansi pemerintahan yang mungkin menjadikan korupsi sulit terberantas. Masalah yang ingin dibahas oleh penulis di sini adalah masalah kompleksitas pengawasan pada penerimaan negara.

Tinjauan Pustaka


“Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan suatu pekerjaan atau kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan rencana, aturan-aturan, dan tujuan yang telah ditetapkan.” (UU perbendaharaan, 30 Agustus 1970)

Di dalam buku Akuntansi Pemerintahan Indonesia, oleh Revrisond Baswir dijelaskan mengenai tingkat kompleksitas penerimaan negara,

“Perbedaan pokok antara pengawasan penerimaan dengan pengawasan pengeluaran terletak pada segi kompleksitas dan keketatannya. Dari segi kompleksitas, pengawasan pengeluaran jauh lebih kompleks dari pengawasan penerimaan.” (Revrisond Baswir, 2000)

Dari beberapa sumber, kita bisa menilik definisi korupsi sebagai berikut,

“Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.” (Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi)

Korup : busuk; palsu; suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1991)

Buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002)

Korupsi : kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary, 1978)

penyuapan; pemalsuan (Kamus Bahasa Indonesia, 1991)

Penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Kamus Hukum, 2002)

Berdasarkan Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

1)      pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

2)      pasal 3 : “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Gambaran Umum


Dari tinjauan pustaka di atas, penulis merasakan kejanggalan dari cara berpikir pengawasan khususnya dalam hal pengawasan penerimaan. Banyak materi yang membahas masalah pengawasan pengeluaran. Mulai dari penyusunan, pelaksanaan hingga pertanggung-jawaban. Namun sangat sedikit yang membahas masalah penerimaan negara. Padahal ketidak-seimbangan terhadap keandalan sistem pengawasan dan penerimaan memiliki peluang untuk terjadinya korupsi.

Di akuntansi kita mengenal istilah debet kredit yang berarti kanan dan kiri. Paradigma yang digunakan adalah keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Jika tidak ada keseimbangan maka akan salah. Di dalam paradigma ini, pengakuan penerimaan atau pemasukan bukan tidak sulit, justru yang paling kompleks.

Jika paradigma dasar akuntansi saja menetapkan paradigma seperti ini. Mengapa sistem penerimaan keuangan negara tidak?

Sedikit meloncat dalam bidang religius, pemasukan adalah bidang yang sangat diperhatikan dalam agama. Kita sering mendengar bahwa pemasukan yang halal adalah segala-galanya bagi seseorang. Lebih baik pemasukan itu sedikit tapi halal dari pada banyak tetapi haram. Pemasukan yang halal atau baik akan dimakan oleh seseorang dan menjadi bagian tubuh yang baik, digunakan untuk yang baik, dan menghasilkan sesuatu yang baik. Pemasukan itu juga akan digunakan oleh anak dan istrinya untuk sesuatu yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Begitu juga degan pemasukan yang haram.

Dalam bidang ekonomi, kita pernah mendengar tentang pembagian kue sumber daya. Konsep tersebut sebenarnya relevan untuk menjelaskan alasan kenapa sistem penerimaan yang kompleks diperlukan. Adalah janggal jika kita mengharapkan dengan kue yang sedikit akan diimplementasikan pembangunan besar-besaran. Kue yang sedikit hanya akan jadi rebutan dan saling sikut antar daerah dengan pusat. Salah satu penyebab sedikitnya kue bukan masalah pelaksanaan keuangan atau pelaksanaan APBN, ini masalah penerimaan negara yang memang masih bermasalah.

“Perbedaan pokok antara pengawasan penerimaan dengan pengawasan pengeluaran terletak pada segi kompleksitas dan keketatannya. Dari segi kompleksitas, pengawasan pengeluaran jauh lebih kompleks dari pengawasan penerimaan.” (Revrisond Baswir, 2000, hal 119)

Di sinilah penulis mengkritisi. Konsep ini dirasa perlu untuk diubah atas beberapa alasan d atas. Jika memang pengawasan digunakan untuk memastikan bahwa yang seadanya sesuai dengan yang seharusnya maka pengawasan penerimaan harus dilakukan sebaik-baiknya untuk memastikan bahwa penerimaan seadanya sesuai dengan penerimaan seharusnya.

“Modus yang saya lakukan itu biasa. Dan masih banyak orang-orang yang lainnya disini (kantor Pajak, red)," kata Gayus Tambunan seperti ditirukan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Achmad Santosa.[1]

Demikian sepatah kata yang disampaikan oleh Gayus kepada wartawan terkait kasus korupsi pajak yang menggegerkan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, jika pegawai pangkat rendahan seperti itu sampai bisa mengambil 25 Milyar dari uang pajak untuk dirinya sendiri apalagi pegawai tingkat atas?

Ada yang salah dengan sudut pandang penerimaan keuangan negara. Dan bisa jadi sudut pandang yang salah ini yang menyebabkan korupsi di bagian pajak, bea cukai dan penerimaan bukan pajak tak tersentuh serta menyebabkan kerugian negara pada sektor lain dan masyrakat akhirnya jadi korban.



Strategi Pemberantasan Korupsi


Strategi pemberantasan korupsi khususnya di bidang penerimaan negara yang mencakup pajak, bukan pajak, serta bea dan cukai seperti yang diketahui telah sampai pada tahap sistemik. Faktor-faktor yang mendasari jelas terkait dengan berbagai bidang karena memang terkait dengan masalah sistem.

Oleh karena itu, strategi penanganannya bisa dilakukan sebagai berikut:

  1. Bidang hukum, penegakan supremasi hukum yang akhirnya terkait dengan perbaikan pada penegak hukum, masyarakat, sarana, kebudayaan, dan hukum itu sendiri.[2] Tentunya hal ini adalah hal umum yang bisa dikontekskan dalam pengawasan penerimaan negara. Tidak bisa tidak. Penegakan supremasi hukum adalah cara paling efektif untuk mencerabut korupsi sampai ke akar-akarnya.

  2. Bidang psikologi, masalah punishment bagi penggelap penerimaan negara seharusnya memerlukan hukuman yang cukup berat. Penggelapan pada bidang penerimaan jelas akan mempengaruhi besar kecilnya kue yang akan dibagi dalam tahap pengeluaran. Jelas ini akan berimplikasi pada sedikitnya dana yang mengalir ke daerah, disebabkan karena memang sedari awal kue yang ada terlalu sedikit untuk dibagi.

  3. Bidang Akuntansi atau pencatatan keuangan, dalam bidang akuntansi penulis menyarankan beberapa perbaikan yang seharusnya dilakukan:

    1. Penetapan penggunaan historical value dalam pencatatan penerimaan keuangan negara. Alasannya adalah, karena di masa depan trend yang sedang berkembang adalah penggunaan IFRS yang identik dengan fair value sebagai dasar pencatatan. Di satu sisi relevansi yang dihadirkan akan lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan. Akan tetapi sisi pertanggung jawaban dan auditable akan sangat sulit karena terkait dengan judgement.

    2. Peningkatan transparansi informasi penerimaan negara kepada masyarakat. Langkah ini dimaksudkan agar para peneliti dan akademisi yang ‘bebas’ bisa secara langsung meneliti dan mengkritisi kemungkinan penggelapan pajak yang ada. Selama ini informasi ini dirasa sangat sulit didapatkan, kalaupun ada tidak secara komprehensif menjelaskan metode dan bukti-bukti yang terpercaya.

    3. Pendidikan anti korupsi sedini mungkin pada calon-calon akuntan pajak, bea cukai dan pegawai negeri yang ada di perguruan tinggi. Pendidikan ini diharapkan akan mampu menanamkan kesadaran yang cukup agar perubahan bisa tercipta karena tidak hanya dilakukan dalam sistem tetapi juga SDM.




Kesimpulan dan Saran


Pemberantasan korupsi pada bidang penerimaan negara sangat terkait dengan bagaimana pengawasannya. Jika dilihat bahwa pengawasan adalah memastikan bahwa yang seadanya berjalan sesuai dengan yang seharusnya, maka apapun caranya harus dilakukan.

Maka dari itu penulis merekomendasikan beberapa tahap pemberantasan, yaitu sebagai berikut:

  1. Hukum: penegakan supremasi hukum

  2. Psikologis: hukuman yang cukup berat bagi pelanggar

  3. Akuntansi: penetapan penggunaan historical value, peningkatan transparansi informasi penerimaan negara kepada masyarakat, pendidikan anti korupsi sedini mungkin pada calon-calon akuntan pajak, bea cukai dan pegawai negeri yang ada di perguruan tinggi.



[1] http://berita.liputan6.com/producer/201003/269907/Gayus.dan.Kolusi.Pajak

[2] http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-penegakan-hukum-di-indonesia/

Jumat, 11 Juni 2010

Facebook Vs Millatfacebook

Seiring dengan kejadian Mavi-Marmara, konflik Israel-Palestina mencuat di berbagai media. Anehnya, beberapa media yang dahulu ‘apatis’ dengan masalah ini berubah menjadi media yang getol memprovokasi. Tak heran jika masyarakat dengan sekuat tenaga mengutuk Israel dengan berbagai cara.

Entah bagaimana, facebook yang dimiliki oleh Mark Zukkerberg yang seorang Jew pun ikut terkait dalam konflik ini. Boikot terhadap situs ini memang tak tersentuh walaupun ‘wacana boikot’ terhadap beberapa produk Israel telah dilakukan sejak lama. Beberapa fokus boikot memang lebih mengarah kepada produk-produk makanan ketimbang produk-produk IT seperti ini.

Walaupun belum diketahui pasti bahwa Mark adalah seorang zionis (karena tidak semua jew adalah zonis), wacana boikot facebook gempar dan seperti bola salju, menggelinding begitu cepat. Dari beberapa pencarian data, penulis belum bisa memastikan bahwa mark adalah seorang zionis. Penulis juga belum bisa memastikan bahwa dana facebook memang mengalir kepada Israel. Hanya saja, memang ditemukan data yang tidak valid yang mengatakan bahwa 100% dana facebook dialirkan kepada Israel.

Kontan aktivis-aktivis muslim pun berbondong-bondong ‘hijrah’ dari facebook kepada muslim social network, millatfacebook. Situs ini diklaim sebagai situs tandingan facebook yang dimiliki oleh seorang muslim. Percepatannya pun luar biasa karena dalam waktu singkat telah memiliki anggota di atas dua ratus ribu pengguna.

Dari pencarian di wikipedia mengenai millatfacebook, memang ditemukan bahwa pemilik situs ini adalah seorang pakistan yang muslim. Namun logika penulis berbalik ketika penulis menerima pesan dari seorang teman yang dengan deteksi IP address mengatakan bahwa server pusat dari millatfacebook berada di USA, Nah lho!! Belum lagi jika kata ‘millat’ diubah menjadi ‘milat’ (dengan satu ‘L’), maka akan ditemui social network yang sama-sama membenci zionis, anti yahudi, dan sama-sama menunjukkan sisi Islam garis keras. Mungkin IP addressnya salah, namun ketika dicek pusat server dari republika.com, servernya ada di Indonesia. Nah lho lagi!!!

Logika bisnis pun mencuat dari benak penulis, apa benar situs ini dibuat sebagai ‘barang subtitusi’ bagi para muslim yang anti zionis? Atau hanya sebagai ‘insting bisnis’ untuk menangkap peluang kebencian pasar terhadap zionis? Logika politik pun ikut mencuat. Jika benar bahwa millatfacebook berada di USA, jangan-jangan kemunculannya pun digunakan sebagai sarana pemetaan bagi pihak yang anti Islam fundamental, radikal, atau anti zionis?? Hayoo!! Perlu diketahui, bahwa pengguna terbanyak millatfacebook ternyata dari Indonesia. Dan jika logika pemetaan ini benar, maka Indonesia bisa dicap sebagai negara Islam fundamental, Hayyyoooo!!!!

Hehehe, terlalu konspiratif ya... yah, terlepas dari benar atau tidak logika yang digunakan penulis, seharusnya masalah ini kembali didiskusikan dalam ranah yang lebih mendasar.

Boikot terhadap produk-produk Israel dilakukan untuk menunjukkan simpati kepada masyarakat Palestina yang sudah begitu lama dijajah oleh Israel. Sesama muslim adalah bersaudara, tak peduli di Indonesia, Arab, Palestina, atau bahkan jika ada di planet namec sekalipun. Kita semua bersaudara selama bibir ini sama-sama mengucapkan ‘Asyhadualaa ilaaha Illallah’.

Lebih jauh, boikot dilakukan sebagai sarana aktualisasi iman, yang berdasar pada kalimat ‘iman seseorang itu dengan tangan, jika tak mampu dengan lisan, jika tak mampu maka dengan hati, dan yang terakhir adalah selemah-lemah iman’. Jika kita tak mampu membantu saudara kita di sana dengan turun langsung ke medan jihad, cukuplah boikot kepada produk-produk musuh mereka menjadi solusi bagi kita. Lebih tegas lagi, masalah ini telah menjadi fatwa yang dikeluarkan oleh Ustadz yusuf Qardlawy bersama seluruh ulama dalam konfensi ulama internasional.

Namun masalahnya, facebook tidaklah termasuk produk yang mesti diboikot dalam konfensi ulama Internasional. Padahal ketika fatwa itu muncul, facebook sudah menjadi social network yang besar.

Boikot terhadap facebook akan menjadikan umat muslim kehilangan senjata dalam pertarungan informasi di dunia maya. Perlu diketahui, ketika penyerangan kapal Mavi Marmara terjadi, facebook yang diklaim sebagai social network yahudi berbalik menjadi senjata bagi yahudi itu sendiri. Facebook berbalik menjadi situs anti zionis paska peristiwa Mavi Marmara tersebut.

Tidak mungkin melawan senapan jarak jauh dengan pedang. Begitu juga, tidak mungkin melawan provokasi anti Islam di facebook dengan senjata yang lebih rendah dari facebook. Senapan harus dilawan dengan senapan juga atau senjata yang lebih baik.

Namun ini tidak berarti melegalkan penggunaan facebook secara permanen, karena jika barang subtitusi selain facebook ada dan bisa digunakan untuk melawan facebook, maka kita harus mendukungnya.

Masalahnya sekarang, adakah barang itu??

Kamis, 10 Juni 2010

Sebuah Goresan

Sebuah kehangatan kan terasa di tengah selimut salju, walaupun hanya setitik api kecil, kan berarti sangat...

Mendengar lantunan indah dari mereka-mereka, sang penyair... membuai tak tentu arah...

Seperti orang gila yang menangis melihat aliran air bening dan lambaian padi...

Keheningan sejenak menerkam, dalam lamunan bayangan masa lalu...

Inspirasi diri ‘kita’ di masa lalu tak mampu dijelaskan logika...

Hanya sekedar ingin,, tanpa alasan yang jelas...

Sama seperti keinginan ranting untuk kering...

Sama seperti inginnya air mata ini tuk jatuh...

Kekuatan nada begitu jujur...

Mungkin batu sombong pun kan luluh dengan kejujuran nada...

Barisan yang teratur lembut..

Namun bisu...

Dan karena kebisuannyalah hati ini bergetar..

Manusia memang memiliki rasa, yang hanya bisa tersentuh oleh kebisuan....