This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 26 Desember 2008

Cacat Paradigma BHP

teng-sadar 

Sebuah catatan sejarah awal perubahan suatu bangsa mayoritas bermula dari dobrakan tradisi intelektualitasnya, tradisi kegelisahan yang timbul akibat dari penyimpangan realita-realita dari idealita-idealita yang ada. Kegelisahan-kegelisahan tersebutlah yang dalam catatannya kemudian membuncah dan menginspirasi para terdidik membuat sedikit sentilan gerakan social di tubuh dan organ-organ masyarakat. Lalu bak gumpalan salju mulai menggelinding dan membesar sampai batas dimana terbentuk bola besar, meluncur dengan cepat dan berat menghantam hancur realita-realita yang ada dan membangkitkan kesadaran untuk berangkat kembali pada idealita awal.

Para terdidik tersebut adalah manusia-manusia yang peduli terhadap apa yang tidak sewajarnya dan mengatakan apa yang seharusnya. Mereka adalah intelektual-intelektual pendidikan, bukan bebek-bebek pendidikan yang dengan sangat senangnya terikat dan tergembala pasrah tanpa perlawanan.

Pendidikan seharusnya menjadi alat ampuh pencetak manusia-manusia berkarakter seperti itu. Namun faktanya, miris mengetahui kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini, yang dimaknai sangat dangkal dan kering, kehilangan jati diri sebagai pendidikan yang memiliki ruh pembentuk kepribadian manusia seperti itu. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi masyarakat yang walaupun melelahkan tetapi ampuh dan berjangka panjang tereduksi menjadi sangat kerdil sebatas intelektualistis dan materialistis ala barat. Pendidikan intelektualistis dan materialistis ala barat sepert itu tidak menjawab kebutuhan bangsanya. Kebijaksanaan, seni, dan ilmu pengetahuan yang terbukti lebih unggul, diterima untuk memperkaya kebudayaan nasional.” (Ki Hajar Dewantara)[1]

Disadari atau tidak pergeseran pemahaman pendidikan seperti ini telah terjadi pada masyarakat Indonesia dimana pendidikan dipahami secara sangat pragmatis. Pendidikan yang menjadi andalan bangsa Indonesia dulu menentang kolonialisme saat ini disetarakan derajatnya menjadi seolah-olah barang komoditas. Masyarakat bisa melihat bahwa UU BHP membuka ruang lembaga pendidikan untuk leluasa membebankan anggaran pendidikan kepada siapapun, membuat biaya pendidikan makin mahal, dan menjadikan manusia-manusia berpotensi gagal atas nama biaya pendidikan.

permasalahan UU BHP tidak selesai sampai pada tataran financial, tetapi lebih dari itu adalah paradigma masyarakat. Pendidikan akan kehilangan ruh semangat nasionalisme dan kebijaksanaannya ketika lambat laun terbiasa diperdagangkan dengan financial, bukan semangat dan kerja keras. Pendidikan akan lebih mengalami pendangkalan khas barat, meterialistik dan intelektualistik, dalam suasana perdagangan pendidikan yang terjadi.

Kita adalah bangsa Indonesia yang oeh Ki Hajar dewantara dikatakan memiliki khas pendidikan sendiri, berbeda dari pendidikan barat. Pendidikan-pendidikan kita tidak seharusnya sepenuhnya sama dengan perguruan tinggi sekelas Harvard atau pun Barkley University. Mahalnya sekolah-sekolah luar negeri tidaklah lantas menjadi alasan sekolah-sekolah kita pun menjadi semakin mahal. Paradigm masyarakat yang lambat laun semakin pragmatis dan apatis harus diselamatkan dari pendidikan yang juga tidak pragmatis dan apatis. Paradigm itu hanya akan dibangun lewat sebuah pendidikan tepat ala Indonesia,, yang merakyat bukan mengkapital, sesuai cita-cita founding fathers kita dalam pembukaan UUD kita, mencerdaskan kehidupan bangsa.







[1] Diambil dari buku yang berjudul: JEJAK-JEJAK PAHLAWAN, karya J.B.Soedarmanta



Cacat Paradigma BHP

Sebuah catatan sejarah awal perubahan suatu bangsa mayoritas bermula dari dobrakan tradisi intelektualitasnya, tradisi kegelisahan yang timbul akibat dari penyimpangan realita-realita dari idealita-idealita yang ada. Kegelisahan-kegelisahan tersebutlah yang dalam catatannya kemudian membuncah dan menginspirasi para terdidik membuat sedikit sentilan gerakan social di tubuh dan organ-organ masyarakat. Lalu bak gumpalan salju mulai menggelinding dan membesar sampai batas dimana terbentuk bola besar, meluncur dengan cepat dan berat menghantam hancur realita-realita yang ada dan membangkitkan kesadaran untuk berangkat kembali pada idealita awal.
Para terdidik tersebut adalah manusia-manusia yang peduli terhadap apa yang tidak sewajarnya dan mengatakan apa yang seharusnya. Mereka adalah intelektual-intelektual pendidikan, bukan bebek-bebek pendidikan yang dengan sangat senangnya terikat dan tergembala pasrah tanpa perlawanan.
Pendidikan seharusnya menjadi alat ampuh pencetak manusia-manusia berkarakter seperti itu. Namun faktanya, miris mengetahui kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini, yang dimaknai sangat dangkal dan kering, kehilangan jati diri sebagai pendidikan yang memiliki ruh pembentuk kepribadian manusia seperti itu. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi masyarakat yang walaupun melelahkan tetapi ampuh dan berjangka panjang tereduksi menjadi sangat kerdil sebatas intelektualistis dan materialistis ala barat. Pendidikan intelektualistis dan materialistis ala barat sepert itu tidak menjawab kebutuhan bangsanya. Kebijaksanaan, seni, dan ilmu pengetahuan yang terbukti lebih unggul, diterima untuk memperkaya kebudayaan nasional.” (Ki Hajar Dewantara)
Disadari atau tidak pergeseran pemahaman pendidikan seperti ini telah terjadi pada masyarakat Indonesia dimana pendidikan dipahami secara sangat pragmatis. Pendidikan yang menjadi andalan bangsa Indonesia dulu menentang kolonialisme saat ini disetarakan derajatnya menjadi seolah-olah barang komoditas. Masyarakat bisa melihat bahwa UU BHP membuka ruang lembaga pendidikan untuk leluasa membebankan anggaran pendidikan kepada siapapun, membuat biaya pendidikan makin mahal, dan menjadikan manusia-manusia berpotensi gagal atas nama biaya pendidikan.
permasalahan UU BHP tidak selesai sampai pada tataran financial, tetapi lebih dari itu adalah paradigma masyarakat. Pendidikan akan kehilangan ruh semangat nasionalisme dan kebijaksanaannya ketika lambat laun terbiasa diperdagangkan dengan financial, bukan semangat dan kerja keras. Pendidikan akan lebih mengalami pendangkalan khas barat, meterialistik dan intelektualistik, dalam suasana perdagangan pendidikan yang terjadi.
Kita adalah bangsa Indonesia yang oeh Ki Hajar dewantara dikatakan memiliki khas pendidikan sendiri, berbeda dari pendidikan barat. Pendidikan-pendidikan kita tidak seharusnya sepenuhnya sama dengan perguruan tinggi sekelas Harvard atau pun Barkley University. Mahalnya sekolah-sekolah luar negeri tidaklah lantas menjadi alasan sekolah-sekolah kita pun menjadi semakin mahal. Paradigm masyarakat yang lambat laun semakin pragmatis dan apatis harus diselamatkan dari pendidikan yang juga tidak pragmatis dan apatis. Paradigm itu hanya akan dibangun lewat sebuah pendidikan tepat ala Indonesia,, yang merakyat bukan mengkapital, sesuai cita-cita founding fathers kita dalam pembukaan UUD kita, mencerdaskan kehidupan bangsa.teng-sadar

Selasa, 02 Desember 2008

Peran Da'wah Dalam Perubahan Ekonom Bangsa

Paska krisis moneter 1998 yang menjangkiti dunia, Negara-negara Asia mulai bangkit dan menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang menakjubkan. Sebagai analogi, dapat dilihat bagaimana Malaysia yang dulu adalah Negara yang selalu berguru pada Indonesia saat ini dengan signifikan berada jauh di atas Indonesia. Banyak orang mengatakan bahwa sebenarnya Negara kita masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak mampu ditandingi oleh Malaysia, namun hal itu bias dikatakan adalah sebuah apologi yang tidak beralasan dan terkesan mementahkan fakta dan kejadian yang sebenar-benarnya terjadi. That’s it, terkadang sebuah masalah memang harus dipandang secara objektif dari beberapa sudut pandang. Dan jika dipandang secara lebih komprehensif, saya yakin bahwa memang setiap orang akan mengatakan bahwa Malaysia jauh lebih baik daripada kita. Itu faktanya, dan itu yang harus dicari solusinya.

Entah apa yang salah dari system perekonomian kita, atau memang ada yang salah dari system berkehidupan ekonomi kita. Jawaban mengenai permasalahan ini tidak bias dipandang dari sudut akademis atau keilmuan biasa. Ada hal-hal yang tidak bias dijabarkan secara ilmiah dalam lingkup akademis. Karena itulah kita diwajibkan untuk memandang sesuatu secara lebih komprehensif dan tidak parsial. Ekonomi sebagai bagian dari ilmu social humaniora memiliki kesatuan yang terintegrasi antara satu bagian ilmu dengan yang lain. Begitu juga dengan ekonomi, pasti terkait dengan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, budaya, filsafat dan sebagainya. Jika dianalisis secara lebih umum dan komprehensif mungkin saja ini berkaitan dengan hal-hal lain seperti budaya dari para ekonom-ekonom kita yang tidak mencerminkan idealita dari ekonom yang seharusnya.

Bayangkan ketika seorang mahasiswa ekonomi berjalan dengan anggun dan gagahnya tanpa mempedulikan orang-orang miskin yang meminta-minta disekelilingnya, seperti itulah wajah bangsa kita ke depannya. Ekonomi bukanlah jawaban konkret akan kesejahteraaan rakyat. Ekonomi bukanlah jawaban otomatis dari permasalahan-permasalahan social yang terjadi. Ekonomi hanyalah alat untuk merekayasa distribusi barang dan jasa yang terjadi. Permaslahan sebenarnya hanya dapat diatasi oleh ekonomi yang terintegrasi dan utuh, yang terkait dengan psikologi dan budaya.

Disitulah peran pergerakan da’wah dalam lingkungan ekonomi seharusnya berpengaruh. Pergerakan da’wah tidak hanya dimaknai sebagai membuat kajian-kajian manhaj atau hadits arbain semata, tetapi harus lebih jauh dari itu. Melakukan penyadaran pada mahasiswa-mahasiswa yang akan menjadi wajah bangsa ini. Hal itu yang seharusnya menjadi prioritas agen-agen da’wah yang terjun ke dalam lingkungan seperti fakultas ekonomika dan bisnis. Seperti yang termaktub dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa riba memiliki dosa 3o kali lebih besar daripada zina, yang oleh sebagian tafsir dikatakan bahwa dosa yang dilakukan dengan mengorbankan kepentingan public memiliki prioritas dan bobot yang jauh lebih besar daripada kepentingan privat. Kemiskinan karena keapatisan dan pragmatism mahasiswa, para agen penerus bangsa ini, jelas menyangkut kepentingan public yang tidak bias dibiarkan. Sudah menjadi keharusan menggeser pola pikir dan paradigma mereka menjadi agen-agen yang peduli akan nasib orang-orang tertindas negeri ini.

Kamis, 06 November 2008

Keharusan Pergeseran Radikal Mindset Bangsa

Indonesia telah mengumandangkan kemerdekaannya 63 tahun lalu, tepat di 1945 Agustus pagi. Suasana saat itu menggelorakan semangat kebangsaan dan patriotisme yang mengumbar di tiap detak jantung dan nafas dari pejuang-pejuang kemerdekaan indonesia. Aura-aura harapan untuk Indonesia yang berubah dan meraksasa sangat terasa di tengah kerumunan tersebut. Jiwa-jiwa yang gelisah dan marah dengan penindasan dan penyisihan oleh penjajahan belanda kepada keberadaan murni dari bangsa pribumi terdengar gemeretaknya di pagi itu.

63 tahun bukanlah waktu yang sebentar jika derenungi dan ditinjau secara detail. Bangsa ini telah berkali-kali melalui fase yang manis dan pahit. Tahun demi tahun seharusnya menjadi sebuah pembelajaran buat bangsa ini untuk menemukan turning pointnya menuju sebuah kejayaan. Akan tetapi kenyataannya Indonesia masih menjadi sebuah wacana yang belum terlaksana. Mungkin bangsa ini harus terus belajar dari hasil pembelajaran masa lalu. Bangsa ini harus belajar untuk merubah hal yang paling mendasar sebagai pondasi sebuah bangsa yang besar, mindset. Yah, mindset memang menjadi awal dari fokus perubahan manusia atau bangsa. Ini karena memang mindset mendasari sebuah tindakan seseorang atau bangsa. Mindset adalah persepsi, paradigma dan inti dari diri seseorang untuk melihat segala sesuatu dalam kehidupannya. Mindsetlah yang mendasari sebuah attitude/sikap dan inti berarti bahwa perubahan mindset adalah jawaban konkret dari perubahan bangsa ini.

Mindset bangsa saat ini terjebak pada istilah-istilah pragmatisme, hedonisme, instan, dan egoisme. Istilah-istilah tersebut terbangun dari mindset hasil produksi sistem pendidikan dan kondisi bangsa kita beberapa dekade ini. Sistem pendidikan Indonesia yang masih kuno dan tua sekali di bandingkan dengan beberapa negara maju. Contoh sederhana tentang potret pembelajaran pendidikan terhadap generasi penerus bangsa ini diwarnai oleh pemaksaan menjadi satu warna, duduk siap, tangan di atas meja dengan tangan kanan di atas dan tangan kiri di bawah. Memang baik dengan alasan sebuah kedisiplinan dan penanaman keteguhan. Namun hal ini akan salah jika sikap seperti itu dipertahankan dalam situasi proses belajar mengajar. Sikap seperti ini akan membawa kondisi militerisme terbangun justru pada tempat yang seharusnya penuh akan layangan-layangan dan lambungan-lambungan imajinasi, kreatifitas, dan keingintahuan. Sikap seperti ini justru menjadi pembunuh karakter siswa-siswa yang sedang mencari dan belajar akan karakter yang beraneka ragam. Belum lagi masalah yang dihadapi sistem pembelajaran di perguruan tinggi, masalah-masalah umum tentang keberhasilan pemikiran pada tataran konsep yang luar biasa tanpa berhasil mengimplementasikannya dalam dunia kontemporer saat ini. Dunia kontemporer yang serba cepat perubahannya dan serba turbulance ini menuntut sebuah reaksi pembelajaran yang tidak kaku, melainkan fleksibel. Dunia kontemporer saat ini menuntut sebuah jawaban konkret yang revolusioner, yang akhirnya melahirkan para pembelajar-pembelajar peduli, peduli terhadap permasalahan-permasalahan dalam lingkungan, bukan pembelajar-pembelajar egois dan apatis.

Kondisi seperti ini berulang terus menerus dan melahirkan cara berpikir manusia Indonesia yang linear tanpa kritik, konvensional tanpa kreativitas, dan pendek tanpa impian. Belum lagi ditambah dengan kondisi pemerintahan orde baru yang sangat lama berandil dalam pengekangan kreatifitas, otoriter ala militer. Akibatnya saat ini, bisa kita lihat bahwa bertambahnya kaum-kaum terpelajar seperti mahasiswa dan sarjana malah menambah masalah baru bagi bangsa ini, bukan mengurangi masalah buat bangsa ini. Bertambahnya sarjana-sarjana seperti itu malah menambah angka pengangguran dan angka kemiskinan untuk negeri ini, bukan malah mengurangi pengangguran dan kemiskinan dari negeri ini. Semua ini menurut saya adalah akibat dari sistem pembelajaran Indonesia yang salah, sistem pembelajaran yang kuno, mengekang kreatifitas, tidak up to date dan kaku.

Negeri ini butuh perubahan radikal mendasar, perubahan pada sistem. Sistem pembelajaran yang harusnya mengikuti perkembangan zaman, mengikuti perkembangan kondisi yang semakin kompleks. Dan sampai sekarang kita masih mengimpikan sesosok pemimpin yang berani mengambil sikap secara berani dan visioner dalam pembangunan manusia yang berkualitas.

Minggu, 19 Oktober 2008

'Aisyah'2....

:> Dari dulu aku memang mengagumi sosok seorang aisyah. Istri Rasulullah yang paling sering disebut dalam hadits-hadits. Istri Rasulullah yang dikenal paling manis, paling cantik, paling muda. Sosok seorang wanita yang beriman, cantik, pintar, tegas, manja, lembut, pencemburu, dsb. Subhanallah…. Subhanallah…. Subhanallah… :> Aku tersenyum ketika pertama kali selintas membaca buku ini. Begitu besar rasa iriku pada Rasulullah dan Aisyahnya. Cerita tentangnya buatku adalah cerita ter-romantis dan suci yang pernah ada di bumi ini. Aku tersenyum, kemudian tersenyum dan lagi-lagi tersenyum dengan apa yang aku baca, bagaimana kemanjaan aisyah kepada Rasulullah, bagaimana kecemburuan aisyah kepada istri-istri rasulullah yang lain, bagaimana obrolan dan candaan mereka berdua, benar-benar membuatku kagum… dan benar-benar…. Iri… :> Cerita-ceritanya sangat membumi dan sangat ‘manusiawi’. Aku seperti melihat bahwa masih ada harapan untukku mencari ‘aisyah’ku. Masih ada harapan untuk sebuah kesejukan seperti itu. :> Aku melihat sesosok aisyah pada dirimu. Diri yang beriman, cantik, tegas, manja, lembut dan pencemburu. :> Aku mengerti saat ini kau pasti merasa sangat jauh dan kurang pantas untuk mengemban bayangan sosok Aisyah. Tapi percayalah, aku menulis tulisan ini bukan karena sesuatu yang kosong. Aku menulis tulisan ini digerakkan oleh sebuah harapan padamu. Bahwa suatu saat, ketika kau merasakan kebosanan, kelelahan, dan sakit di jalan da’wah ini, kau akan kembali membuka buku ini, membaca tulisan ini, dan mengingat kembali bahwa ada seseorang yang menganggapmu ‘Aisyah’ di hatinya. Bacalah kembali buku ini, bacalah kembali tulisanku ini, mudah-mudahan kau akan selalu teringat akan hal ini. Katakanlah: alhamdulillah, pada segala hal yang telah Allah berikan untukMu, katakanlah alhamdulillah dengan seluruh kasih sayangNya yang sangat dalam padamu, katakanlah dan berjanjilah kembali pada dirimu sendiri, bahwa kau tidak akan menyianyiakan kepercayaanNya dalam memberikanmu hidup sampai saat ini, katakanlah dan berjanjilah, bahwa kau akan membahagiakan dan membanggakan orang tuamu, adik-adikmu, dan sahabat-sahabatmu yang telah mendukungmu sampai sekarang, katakanlah dan berjanjilah, bahwa kau akan terus berpikir bahwa kau akan menjadi orang yang luar biasa. Trust me, ‘Aisyah’…. Trust me my inspiration…….You can do that……..

when...

Ketika kau berada dalam sebuah titik yang sangat berat dimana bahu yang seharusnya memanggul ini terasa akan remuk oleh beban-beban yang ada,
Ketika kau berada dalam sebuah kondisi yang serasa menjepitmu sampai nafaspun terasa sangat menyesakkan,
Ketika kau ingin berteriak lantang pada seluruh alam tentang perasaan yang seperti ingin memberontak keluar,
Ketika kau ingin menangis dan menumpahkan semua air matamu pada sepi dan sunyi yang sangat setia menemanimu di detik-detikmu,
Ingatlah, bahwa ada seseorang di sini yang siap berbagi tentang semua hal yang tidak mampu kau tanggung sendiri…
Aku ingat tentang siapa diriku, tentang tugasku, tentang ibroh ini, tentang tujuan Allah…..
Aku ingat bahwa bagaimanapun perasaanku aku seharusnya berada di sini untukmu sahabatku ,karena Allah,
Menemanimu sebagai seorang sahabat, mengingatkanmu, dan menguatkanmu… berbagi dan membantumu meringankan beban yang kau bawa…
Maafkan aku sahabatku tadinya aku lupa… tapi percayalah saat ini aku ingat akan hal itu…
Maafkan aku sahabatku……

Allah, Help me

Ya Allah
Hati ini sangat serakah ya Allah dengan rizqimu. Tak pernah terucap bahkan dalam hatiku sendiri untuk mensyukuri cukup indahnya perkenalan dengannya. Bahkan untuk mensyukuri segala nikmatnya kehidupan, nikmatnya memandang, nikmatnya mendengar, nikmatnya berjalan, nikmatnya semua yang telah Kau berikan pada diri ini saja, aku masih berat. Betapa sombongnya aku Ya Allah…..Tak pernah rela hati ini ya Allah ketika kau hadirkan untuknya seorang ‘sahabat’ yang akan lebih dekat dibandingku. Tak pernah rela hati ini jika kau ambil dia dari sisiku ya Allah. Bahkan aku ingin lebih dekat, lebih mengenalnya, lebih…..
Astaghfirullahal’adzim….
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Ya Allah jika memang Engkau menciptakan aku dengan percayamu bahwa aku akan berguna dan bermanfaat untuk orang lain, maka aku mohon ya Allah, teguhkan hatiku di jalanmu. Aku mohon, aku yang sangat riskan terjatuh dan terpeleset ini butuh kekuatan yang mampu membangkitkanku, mampu membangunkanku.
Ketika ‘aisyah’ Kau tunjukkan padaku dengan rasa sakit ini. Ketika keindahannya kau kemas untukku dengan sedih ini. Ketika manisnya kau hidangkan padaku dengan pahit ini. Ya Allah, aku mohon yakinkan kepercayaanku padamu bahwa ada sebuah hikmah di balik semua ini. Yakinkan hatiku bahwa ini semua harus aku hadapi. Yakinkan aku bahwa Engkau yang Maha Tahu, apa yang terbaik bagiku.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Ù‚ُÙ„ِ اللَّÙ‡ُÙ…َّ Ù…َالِÙƒَ الْÙ…ُÙ„ْÙƒِ تُؤْتِÙŠ الْÙ…ُÙ„ْÙƒَ Ù…َÙ†ْ تَØ´َاءُ ÙˆَتَÙ†ْزِعُ الْÙ…ُÙ„ْÙƒَ Ù…ِÙ…َّÙ†ْ تَØ´َاءُ Ùˆَتُعِزُّ Ù…َÙ†ْ تَØ´َاءُ ÙˆَتُØ°ِÙ„ُّ Ù…َÙ†ْ تَØ´َاءُ ۖ بِÙŠَدِÙƒَ الْØ®َÙŠْرُ ۖ Ø¥ِÙ†َّÙƒَ عَÙ„َÙ‰ٰ ÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ Ù‚َدِيرٌ ﴿٢٦﴾
(26) Say: "O Allah. Lord of Power (And Rule), Thou givest power to whom Thou pleasest, and Thou strippest off power from whom Thou pleasest: Thou enduest with honour whom Thou pleasest, and Thou bringest low whom Thou pleasest: In Thy hand is all good. Verily, over all things Thou hast power
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Ya Allah, jika memang ayat-Mu ini benar. Berilah aku kekuatan ya Allah. Untuk menghadapi lemahnya hatiku sendiri, lemahnya imanku, lemahnya kesyukuranku atas rizqiMu. Ya Allah aku seorang yang lemah. Kuatkanlah aku, bersamailah aku. Agar lurus jalanku berjalan di indahnya jalan-Mu.
Amien……

Selasa, 30 September 2008

Untukmu Hati

Perasaan ini melumpuhkanku….

Saat ini aku ingin melawan….

Melawan penindasan ini…

Penindasannya pada hatiku….


Aku ingin semua malaikat mencatat, bahwa aku bukanlah Nova yang dulu…

Saat ini aku baru…

Yang telah meninggalkan nilai-nilai lamaku… membuangnya ke lubang dan menutupnya rapat…

Nova yang lama telah terkubur…..dalam….

Bersama rasa yang menjengahkan hati….


Ya ALLAH bantulah aku…

Untuk melawan rasa ini….

Rasa yang kadang tidak tertahankan dan merembes keluar…

Rasa yang seolah-olah ingin mendobrak rongga dadaku dan hampir meremukkan rusukku….

Rasa yang manis tapi pahit, indah tapi suram, dan menyegarkan tapi mendahagakan….


Aku ingin… berteriak pada ombak yang menggelegar… bahwa aku bisa melawan ini…

Akan aku buktikan bahwa teriakanku lebih menggetarkan daripada gelegarnya…

Akan aku buktikan bahwa karangkulah yang akan menahan dobrakannya…

Rasa ini… tak akan kubiarkan menampar hatiku…. Dan membirukan hatiku….


Ya ALLAH…

Jadikan aku sekuat yusuf…

Yang melihat tanda-tanda Tuhannya….

Dan tetap bertahan dalam keimanannya…

Jadikan aku seikhlas rasulullah…

Yang ikhlas mencintai seorang Aisyah, karena cintanya kepada-Nya….

Ya ALLAH….

Hati ini adalah milik-Mu, biarlah, lakukanlah sesuka-Mu pada hati ini, jika memang hal itu adalah jalanku menggapai ridho-Mu….

Amien….

Minggu, 28 September 2008

Monarki dalam Lingkungan Intelektual




Sejarah kepemimpinan Indonesia berawal dari kerajaan-kerajaan yang melegenda dengan kekuatan-kekuatannya, ada Samudra Pasai, Demak, Sriwijaya, Majapahit dan lainnya. Sejarah legenda kekuatan-kekuatan lama bangsa ini terlukis dari prasasti-prasasti dan arca-arca peninggalan mereka. Banyak cerita kegemilangan kerajaan terukir dalam sejarah dan menjadi asupan manis untuk generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Tidak akan menyangkal siapapun orangnya, jika disebut nama Majapahit, maka Hayam Wuruk dan Gadjah mada adalah nama pertama yang terlintas dalam benak. Keluarbiasaan Gadjah Mada dalam mengikrarkan Sumpah Palapanya cukup membuka mata kita bahwa ternyata ide tentang kesatuan bangsa telah ada lama jauh sebelum pergerakan-pergerakan persatuan dari intelektual muncul. Contoh lain bagaimana decak kagum setiap warga bangsa terdengar ketika diceritakan tentangnya kerajaan Sriwijaya dengan Balaputradewa yang berhasil menjelma menjadi sebuah kerajaan besar dengan HANKAM dan Ekonomi yang sangat kuat.


Gambaran-gambaran di atas cukup memberikan sebuah pancingan pertanyaan tentang arti dari keberadaan raja-raja tersebut dan hubungannya dengan kesuksesan dan kemunduran kerajaan. Dalam cerita-cerita sejarah hampir bisa dipastikan, penyebutan nama kerajaan dengan achievementnya pasti tidak akan lepas dari peran raja. Satu alasan yang pasti paling mudah terucapkan adalah yah, they’re the leader. Jika berbicara masalah leader sebenarnya leader tidak hanya berpengaruh di Jawa yang menggunakan sistem pemerintahan monarki, Di luar jawa pun yang mungkin menggunakan sistem pemerintahan non monarki leader sangat berperan dalam kemajuan dan kemunduran dari sesuatu yang dipimpinnya. Namun yang menarik disini adalah, bagaimana fluktuasi kemajuan dan kemunduran kerajaan-kerajaan jawa dulu sangat dinamis. Sangat berbeda halnya dengan kemajuan dan kemunduran yang terjadi di sistem pemerintahan non monarki, contoh Inggris dengan parlementernya saat ini, atau Amerika dengan presidensiilnya. Kemajuan dan kemunduran yang terjadi di dua negara tersebut tidak terlalu ekstrem dan kontras. Mungkin tidak adil rasanya ketika kita membandingkan 2 kerajaan yang hidup pada masa berbeda. Akan tetapi hal ini dimaksudkan untuk membandingkan 2 hal yang memang bertolak belakang. Perlu diakui bahwa pada zaman dahulu memang hampir tidak ada sistem pemerintahan parlementer atau presidensiil, begitu pula saat ini hampir tidak ada sistem pemerintahan monarki.


Jika ditinjau kembali, dahulu memang sistem pemerintahan monarki yang diterapkan di jawa memunculkan dan membuka sebuah jalan tentang cara pandang masyarakat jawa terhadap rajanya. Raja jawa dahulu dipandang sebagai seseorang yang sangat terhormat, memiliki wewenang besar dan bahkan diagung-agungkan oleh masyarakatnya. Sebuah titah raja adalah hukum tertulis yang diakui dan dilaksanakan oleh rakyatnya. Tindakan-tindakan dan segala perkataannya dianggap baik walaupun kadang menyimpang. Tidak heran jika memang kemajuan dan kemunduran yang terjadi dalam kerajaan itu di kait-kaitkan dengan rajanya. Kepandaian raja adalah kepandaian kerajaan, kemajuan raja adalah kem ajuan kerajaan, kebodohan raja adalah kebodohan kerajaan, kemunduran raja juga adalah kemunduran kerajaan. Satu kata dari raja untuk semua kerajaan. Tidak ada advokasi, tidak ada pembelaan, semua menerima dengan ikhlas dan senang hati.


Di zaman yang serba turbulance dan dinamis seperti saat ini, sebenarnya sangat mudah untuk mengambil kesimpulan bahwa sistem seperti itu sudah usang dan ketinggalan jaman. Namun kenyataannya ternyata sistem tersebut masih ada saja yang menggunakan sampai sekarang. Perbedaan antara kedua masa itu hanyalah terletak pada pengakuannya saja, artinya sistem monarki saat ini menyusup atau sengaja disusupkan ke dalam sistem yang mengaku modern. Jika organisasi yang menggunakan hal ini hanya organisasi kecil dan tidak mempunyai pertanggungjawaban yang besar wajar saja digunakan sistem seperti ini. Akan tetapi menjadi bermasalah apabila sistem seperti ini digunakan pada organisasi besar yang memiliki tingkat pluralitas tinggi dan pertanggungjawaban besar. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya dan menyangsikan keberadaan hal semacam itu. Tetapi faktanya itu memang masih ada bahkan di sebuah organisasi besar yang seharusnya mengimplementasikan arti dari demokrasi. Organisasi yang seharusnya menjadi pembelajaran terhadap sistem yang saat ini digunakan negara. Organisasi yang seharusnya melahirkan intelektual-intelektual muda yang kritis terhadap perubahan dan kebenaran dari sistem yang digunakan, organisasi bernama fakultas.


Fakultas yang seharusnya mengimplementasikan kedemokrasian dengan segala tanggung jawabnya terhadap pelahiran intelektual kritis dan menjadi sebuah pembelajaran mini dari negara yang besar, ternyata masih terinspirasi dari kemonarki-monarkian kerajaan-kerajaan masa lalu. Opini ini bisa diperkuat dengan melihat bukti konkret seperti apa cara pandang mahasiswa terhadap dekan, the leader of faculty. Seorang dekan dipandang sebagai seorang yang memiliki keagungan karena jabatan tingginya. Seperti nama keramat yang menjadi momok bagi mahasiswa-mahasiswa umumnya dan organisatoris khususnya, entah karena kewibawaannya atau karena otoriternya. Permintaan dana, izin, ataupun konsultasi acara pun harus melalui birokrasi yang berbelit-belit dan panjang. Seperti pejuang benteng takeshi yang harus melalui berbagai macam rintangan dan halangan untuk bertemu seorang kaisar. Benar alasan bahwa ini wajar mengingat kontrol terhadap segala kegiatan fakultas akan baik dengan birokrasi yang panjang. Akan tetapi implikasinya, gerak mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi dan idealismenya di masa yang serba cepat saat ini seringkali terhambat hanya pada permasalahan izin dari otoritas seorang kaisar fakultas, dekan.


Beberapa waktu yang lalu beberapa fakultas termasuk FEB telah melakukan ritual penentuan 4 tahun nasib fakultas ke depan. Ritual itu adalah pemilihan dekan. Seperti yang kita ketahui, betapa sakralnya pemilihan-pemilihan ketua-ketua dan pemimpin-pemimpin sebuah organisasi besar. Kita ketahui bagaimana contoh kasus terjadinya konflik antara 1 kumpulan melawan kumpulan yang lain karena merasa bahwa terjadi ketidak adilan penghitungan suara pilkada, Ban-ban dibakar, tawuran, demonstrasi dan sebagainya. Seperti itulah seharusnya pemilihan dekan itu berlangsung, bukan anarkinya, tetapi kesakralannya. Pemilihan dekan harusnya menjadi sesuatu yang sakral dan melibatkan semua civitas akademika fakultas. Pemilihan dekan adalah gerbang awal dari potret bagaimana nasib fakultas ini ke depannya, seperti yang telah dituliskan di atas tentang kesamaan raja pada kerajaan masa lampau dan dekan pada fakultas. Kepandaian dekan adalah kepandaian fakultas, kemajuan dekan adalah kem ajuan fakultas, begitu pula sebaliknya ‘ketidakpintaran’ dekan adalah ‘ketidakpintaran’ fakultas, kemunduran dekan juga adalah kemunduran fakultas.


Saat ini, berhenti sejenak dan coba renungi tentang kondisi universitas pada umumnya dan fakultas khususnya. Kampus UGM yang dibangga-banggakan oleh masyarakat dahulu sebagai kampus kebangsaan yang berdiri atas dasar nasionalisme dan cinta tanah air, yang seharusnya beridealismekan kerakyatan, berubah menjadi kampus komersial yang mensyaratkan kedudukan intelektualitas sejajar dengan kedudukan jumlah sumbangan SPMA yang dibayarkan. Kampus yang mengaku menganut Thridarma perguruan tinggi yang salah satunya adalah pengabdian masyarakat, menggusur pedagang kaki lima pada saat Ramadhan tanpa pemberitahuan dan sosialisasi yang benar dan baik. Kampus yang diakui di Indonesia dan Asia Tenggara sebagai kampus dengan reputasi cukup tinggi dan luar biasa memiliki mahasiswa-mahasiswa pragmatis dan apatis yang cenderung berfoya-foya dan bersenang-senang tanpa memikirkan orang yang membutuhkan. Kampus yang disebut-sebut sebagai kampus intelektual ternyata salah dua calon dekan di fakultas berbeda melakukan ‘kerja kelompok’ untuk menentukan visi misi pada saat presentasi pemilihan dekan fakultas masing-masing. Alhasil visi misi mereka berdua 80% sama persis, hanya diganti font dan warna-warnanya. Luar biasa…… bobrok. Bayangkan, mahasiswa saja jika bekerjasama dalam ujian akan langsung diberi nilai E, tidak lulus, apalagi dekan yang melakukan seperti itu.


Sudah menjadi keniscayaan bahwa harus ada yang berbuat, bergerak untuk merubah, atau setidaknya tanggap dan peduli akan hal itu. Menilik dari sejarah masa lalu bangsa Indonesia yang pencetusan ide kemerdekaan berasal dari intelektual-intelektual masa itu, bisa di ambil benang merah bahwa ada harapan kepada mahasiswa-mahasiwa yang notabene adalah intelektual-intelektual untuk peduli pada hal ini dan mencoba bersama-sama membahas dan bergerak mengambil sikap. Sudah menjadi kodratnya bahwa intelktual-intelektual muda harus memegang teguh prinsip dan idealisme yang dimilikinya sebagai pihak yang mengingatkan atau bahkan meluruskan segala penyimpangan yang ada, Penyimpangan yang terjadi karena kewajaran dan toleransi berlebihan yang berulang-ulang terjadi. Mahasiswa-mahasiswa UGM yang ketika seleksi penerimaannya menjatuhkan hampir 20 orang lainnya memiliki tanggung jawab besar dalam rantai perubahan ini. Kita semua harus ingat bahwa di bahu mahasiswa-mahasiswa apalagi UGM tergantung dan berpegangan orang-orang lain yang tertindas dan terluka yang mengharapkan para intelektual-intelektual muda mau peduli dan menyuarakan suara mereka.


Pernahkah kita berpikir tentang suara-suara hati karyawan yang setiap hari menyambut mahasiswa di tempat parkir dan memberikan karcis parkir. Setiap hari mereka duduk di tempat parkir sampai bulan ramadhan juga mereka berbuka puasa di tempat parkir. Pernahkah kita berpikir tentang suara hati karyawan cleaning service, setiap hari memakai baju biru kurang sesuai berada di tengah-tengah mahasiswa glamor dan fasilitas fakultas yang mentereng. Pernahkah kita berpikir tentang suara hati ibu-ibu yang berjualan makanan-makanan kecil dan berkali-kali digusur oleh satpam fakultas. Pernahkah kita berpikir tentang kakek-kakek peminta yang tiap pagi duduk di depan fakultas untuk meminta sedikit rezeki milik kita karena kerasnya kehidupan memaksa dia untuk melakukan hal seperti itu. Atau jangan—jangan kita malah merasa risih dan kurang nyaman dengan keberadaan mereka. Na’udzubillahimindzallik.


Perubahan itu bukan hanya persoalan waktu. Menyerah atau menyerahkannya pada sang waktu sama saja berharap tanpa mau berbuat. Bergerak adalah awal dari sebuah perubahan. Dan diam bukanlah jawaban atas peliknya persoalan.

Senin, 28 Juli 2008

'Aisyah'

Sebuah kekaguman tercurah dari sebuah hati kepada seorang ‘Aisyah’ baru. ‘Aisyah’ yang berarti sebuah symbol keanggunan yang mencerminkan kecantikan dari yang terlihat dan yang tak terlihat. Symbol yang menggambarkan keindahan paras, kepandaian intelektual, dan fiqroh semangat berIslam yang kuat. Symbol yang memberikan kekaguman pada para hati yang sangat berharap semakin banyak ‘aisyah-aisyah’ baru yang terlahir secara benar-benar terlahir.


Penggambaran semburat kekaguman terdalam terhadap sikap yang dimunculkan olehnya tidak cukup kutuliskan dalam selembar kertas ini. Sikapnya,…. sebuah sikap yang sangat jarang ditemui dari seorang gadis manapun saat ini, sikapnya yang sangat bersemangat ketika menyampaikan kehendaknya yang ingin mencari jati dirinya dan arah hidupnya. Ucapan-ucapannya,….. dia ucapkan keinginannya untuk bergerak secara lebih visioner dan ingin bergerak di jalan Islam secara jama’I, Kata-kata yang teruntai darinya menyiratkan bagaimana tujuannya dengan jelas, Tujuan dari memilih jalan dakwah di antara jalan yang lain, padahal dengan kecantikan parasnya dan kepandaian intelektualnya dia bisa bahagia seandainya dia memilih jalan kehidupan normal dengan segala ketenangan dan kedamaiannya. Serta tindakan-tindakannya,…. aku mengetahui bagaimana gencarnya ibadahnya, bagaimana bersemangatnya dia ingin menjaga Habluminallahnya.


Itu semua sempat membuatku tergetar karena ingatan tentang diriku kembali, aku sadar akan betapa beruntungnya aku telah memiliki visi hidup yang cukup jelas, memiliki wadah pergerakan yang cukup kuat, dan memiliki ikatan ukhuwah dengan sahabat-sahabat semuslim yang mampu menjagaku. Dan itu semua membuatku sadar bahwa aku yang telah memiliki semua itu harusnya bisa lebih baik darinya, aku tidak mau kalah darinya.


Saat ini hanya kata syukur dan malu yang cukup mewakili perasaanku, syukur yang mewakili kekaguman sekaligus perasaan malu yang mewakili kekecewaan. Syukur karena kesadaranku mengatakan bahwa lingkungan saat ini, baik kecil maupun besar, membutuhkan seseorang seperti itu. Dan hadirnya akhwat-akhwat seperti itu seperti sebuah muncratan air sejuk di tengah oase padang pasir gersang dan tandus yang Insya Allah akan membawa peran dalam gerakan perubahan ini, perubahan ke arah yang lebih baik tentunya. Tapi juga, malu, malu karena risihnya jiwaku menyadari betapa lemahnya kekuatan ruhiyahku dibandingkan dengannya. Keakuanku akan kelebihan dalam semangat ber-Islamnya seolah tidak bisa kusanggah. Aku yang seperti telah lama berjalan di jalan dakwah dan telah jelas memiliki visi, kalah olehnya yang sedang mencari jati diri dan arah.


Kutuliskan kata sapaan ini dengan “nya”, bukan “mereka”. Karena sejujurnya aku tujukan kaitan huruf-huruf ini untuk “kau”. Sahabatku.


Mungkin ini bukan sebuah solusi yang bisa mengentaskan masalah pencarian jati dirimu secara total. Mungkin ini hanya sebuah kata-kata dan huruf-huruf tanpa makna yang bisa saja hilang dan lenyap seketika. Tapi untukmu sahabatku …. If There’s a will, There’s a way. Kemauan dan niatmu yang tumbuh seiring dengan berjalannya waktu akan menuntunmu ke jalan terbaik yang diketahui-Nya. Sebuah proses pembelajaran menuju pendewasaan memang akan sangat berkaitan erat dengan kesedihan, kebahagiaan, rasa sakit, rasa bangga, cinta, dsb. Namun yakinlah bahwa masalah-masalah yang hadir untukmu saat ini adalah sebuah pembinaan dari yang Maha Tahu untuk membinamu menjadi akhwat sejati, sebagai kunci pembuka gerbang jalan barumu yang terbaik yang akan kau jalani.


Tetaplah…..


Jaga niat dan kemauanmu…. jadilah lebih baik….. jadilah inspirasi bagi orang-orang sekitarmu….. dan jadilah pusat dari perubahan yang akan membawa manfaat bagi lingkunganmu…….


La Tahzan Innallaha Ma’ana…….

Jumat, 18 Juli 2008

Penantianku....... awal dari jalanku......

huaaaaaaahhhh...... akhirnya penantian panjang menunggu hasil pengumuman seleksi beasiswa PPSDMS berakhir sudah.... alhamdulillah aku keterima...

yaaahhh.... kayak ga' yangka nih kayak mimpi aje... he3x...

tapi..... aku sempet mikir negatif.... fiuuuuhhh.... ga'tau napa nih.... sempet mikir... kuat ga' ya aku???

di asrama tuh bakal banyak banget training-training yang mungkin cukup ngebuat aku kewalahan.... mungkin loh yaaaa.....

yah tapi....

aku sendiri ga'tau, ada sebuah semangat dalam diriku yang ga'bisa kubantah... yang bilang bahwa aku harus ngelwatin ini, yang bilang bahwa sudah saatnya aku belajar apa itu yang namanya susah dan sakit, karena itu sangat diperlukan nanti waktu udah lulus.... sudah terlalu lama aku hidup dalam sebuah kenyamanan, 18 tahun aku hidup di bontang dengan segala kenyamanan dan fasilitas yang ada.... udah cukup... semangatku bilang.... udah saatnya aku yang sebentar lagi berkepala 2 ini belajar apa yang belum pernah aku pelajari....

lagipula sebenernya.... ada 2 hal yang ngebuat aku ga'mau mundur dari ini...

1. aku ingin orang tuaku bangga udah punya anak seperti aku... udah terlalu banyak mereka berkorban buatku...... dan aku pingin banget gantian aku yang berkorban buat mereka... di Asrama pasti aku bisa sedikit ngurangin beban mereka yang setiap bulan harus ngeluarin dana buatku.......... aku pingin dalam hati mereka berkata walaupun lisan mereka ga'berkata.... bahwa aku adalah anak yang berbakti.... bukan anak yang mereka sesali telah melahirkanku....... ='>

2. untuk my Inspires.... Dwina, Detha, Lendi, Azizah, Inun, julia dan semuanya...... aku janji ma diriku sendiri, aku ga' mau kalah dari kalian............ aku ga' mau kalah dari kalian.......... ='>

thanx for all......

Rabu, 16 Juli 2008

Bergaul atau Menjaga Diri

Masih tersimpan diingatan kita bagaimana cerita tentang seorang Bill Gates yang dahulu berhasil menjual Operating System yang tidak diketahui sama sekali menjadi sebuah Operating system yang mendunia saat ini. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa inti keberhasilan Bill Gates sebenarnya adalah kemahirannya bergaul dengan orang lain. Pendapat tersebut ada benarnya, sebuah buku berjudul “Bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi orang lain” karya Dale Carnegie menyebutkan bahwa keberhasilan bisnis seseorang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mempengaruhi lawan ataupun kawan. Buku yang mulai terbit sejak tahun 1953 dan terus naik cetak sampai sekarang tersebut jelas tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya, apalagi buku tersebut sudah sering mendapat penghargaan best seller. Ada lagi sebuah buku “Cash Flow Quadrant” karya Robert T. Kiyosaki yang menyebutkan bahwa kepandaian pebisnis sebenarnya terletak pada kemampuannya mengendalikan system dan orang, lagi-lagi berhubungan dengan orang. Ada banyak buku-buku lain yang menyebutkan bahwa kemampuan bergaul, mempengaruhi, & bernegosiasi memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbisnis. Banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa hal ini memang terjadi, salah satu contoh kisah: Perusahaan Kodak, dahulu perusahaan Kodak ketika awal berdiri melakukan taktik negosiasi dan mempengaruhi market leader dan customer ketika ingin memasuki pertama kali pasar Jepang yang sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Kodak saat itu berpikir bahwa tidak mungkin menyerang market share secara frontal dan menantang para market leader dengan amunisi yang terbatas. Dengan dasar pemikiran dan sudut pandang seperti itu Kodak melakukan pendekatan lain untuk menyerangnya dengan taktik diplomasi. Hasilnya bisa dilihat saat ini Kodak mempunyai posisi yang setara di mata customer dengan perusahaan besar yang sudah ada di Jepang.


Masih banyak sebenarnya kisah yang bisa dijadikan contoh bahwa memang kemampuan bergaul sangat dibutuhkan dalam kehidupan bisnis. Dalam lingkup yang lebih luas perlu diingat bahwa tidak hanya dalam kehidupan berbisnis sebenarnya kemampuan ini diperlukan. Di setiap lini kehidupan kemampuan ini sangat diperlukan. Contohnya dalam lingkup keluarga, sebuah keluarga akan berjalan dengan baik ketika terjadi ikatan dan hubungan yang terjalin antara setiap anggota keluarga. Jalinan hubungan ini hanya bisa terbentuk ketika seorang orang tua bisa bergaul dengan anak-anak mereka dan sebaliknya anak-anak mampu bergaul dengan orang tua mereka. Contoh lain, sebuah Negara akan bersatu, tenteram dan damai ketika setiap warga bangsa yang ada di dalamnya mampu bergaul dengan baik antar sesamanya. Kemampuan ini secara mutlak seharusnya dimiliki oleh manusia dalam tujuannya menuju kesuksesan. Manusia adalah makhluk social yang kodratnya sangat memerlukan orang lain dalam kehidupannya.


Namun semangat untuk belajar bergaul dan berkawan tersebut sepertinya untuk saat ini harus dikaji lebih mendalam. Jika dilihat saat ini pergaulan-pergaulan yang ada sangat rentan untuk membuat seseorang kehilangan impian-impiannya dan tujuan-tujuannya. Alih-alih ingin kemampuan berbisnisnya berjalan lancar tapi ternyata malah menghancurkan impiannya. Mungkin tidak semua dari pergaulan yang ada saat ini bisa disimpulkan seperti itu. Masih banyak pergaulan-pergaulan yang sebenarnya mampu menjadikan kita lebih baik. Akan tetapi sayangnya pergaulan seperti itu masih kalah banyak dari pergaulan yang kurang baik. Banyak di antara kita terjebak di dalam sebuah lingkungan yang membuat kita jadi lebih buruk dari sebelumnya. Kita terpengaruh dan ikut arus dalam keadaan lingkungan seperti itu. Karena itulah seharusnya kita perlu sebuah pemikiran waspada dan menjaga diri agar tidak terpengaruh hal tersebut. Seharusnya kita sadar bahwa kita harus menjaga impian-impian kita, dan tujuan-tujuan kita dari segala hal yang bisa merusaknya.


Sebagai ilustrasi, ada seorang mahasiswa yang jauh-jauh datang dari luar kota untuk belajar dan menuntut ilmu. Pada awalnya ketika dia masih berada di daerah asalnya dia mempunyai mimpi-mimpi dan semangat yang membara untuk menjadi orang yang sukses. Dia mengatakan pada semua orang bahwa dia akan berjuang dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Namun ketika dia sudah menjalaninya, dia berada pada sebuah lingkungan yang membuatnya melupakan mimpi-mimpinya. Dia menjadi semakin buruk dan akhirnya mengecewakan orang tua yang sudah membiayainya dan sangat berharap kepadanya. Hati seorang manusia sangat mudah terbolak-balik. Oleh sebab itu sangat diperlukan adanya upaya untuk menjaga diri ini dan waspada terhadap segala hal yang mampu mempengaruhi kita ke arah yang buruk.


Seorang manusia sudah seharusnya memiliki visi dan misi yang dia pegang untuk menjadikan segala tindakannya memiliki tujuan. Seorang manusia sudah sepantasnya terus memiliki semangat untuk menjadi lebih baik. Pada suatu saat saya sempat terenyuh ketika diberi pertanyaan tentang, Mengapa Allah masih menghidupkan kita sampai sekarang. Jawabannya menurut saya adalah karena Allah percaya pada kita bahwa kita mampu menjadi lebih baik dari sekarang dan mampu menjadikan lingkungan kita menjadi baik. Jika kita tidak mampu menjadikan lingkungan kita menjadi lebih baik atau minimal membuat diri kita menjadi lebih baik, kenapa Allah masih menghidupkan kita juga. Se-sayang itukah Allah pada kita?? Apakah kita tidak malu sudah membohongi-Nya?? Bergaul memang penting karena kemampuan itu sangat menentukan apakah kita bisa mencapai tujuan kita atau tidak, tetapi menjaga diri agar tujuan dan impian kita tidak rusak jauh lebih penting. Percuma jika kita mempunyai kemampuan bergaul yang cukup baik tetapi dengan tumbal impian-impian kita yang hilang. Memang ada trade off antara bergaul dengan menjaga diri. Akan tetapi dengan semangat untuk menjaga impian itu, sebenarnya sikap menjaga diri dari segala pengaruh-pengaruh yang buruk tidak akan ber-trade off dengan semangat kita untuk bergaul dengan orang lain. Tinggal bagaimana kita bersikap dan memegang teguh prinsip, tujuan, dan impian yang telah kita tulis di sanubari kita.

Kamis, 03 Juli 2008

Sahabatku.....

Suatu malam sendirian, aku melamun di depan beranda kamar kosku, halah... he3x... yah agak puitis dikit napa... malam yang cukup sepi itu aku sendirian di kos soalnya temen-temen kos yang lain pulang ke daerah masing-masing, waktu liburan gituh. Yah di saat yang dikasih ma ALLAH buat sendirian itu aku ,manfaatkan buat ngerenung, apa-apa aja yang udah aku lakukan, apa-apa aja yang udah terjadi. Apa-apa aja yang bakal aku lakukan.

jadi inget dulu sama temen-temen SMA seperjuangan sama-sama berjuang buat event-event Islami, ngebuat mading-mading Islami, ngebuat semua hal yang ada di SMA berkaitan dengan Islam, mulai dari MOS, Makrab, dll... yah walaupun ga'semua bisa terwujud, tapi seenggaknya ada kenangan-kenangan yang indah banget sama temen-temen semua.

hoooo... tapi sekarang semua udah nyebar semua, ada yang di Malang, Bandung, Semarang, Yogya, samarinda, dll... gimana yah kabar mereka semua sekarang??? mudah-mudahan baik deh...

cuma... aku kangen ma mereka semua... sahabat-sahabat yang hebat, yang sangat susah untuk ditemukan di manapun aku berada. Sahabat yang sudah lama banget kenal, bertahun-tahun ampe dalem-dalemnya (maksudnya???) udah kenal... he3x...
mudah-mudahan ikatan persahabatan ini ga'lekang dimaem ma waktu. mudah-mudahan ikatan persahabatan ini bakal jadi ikatan yang abadi. ga' cuma di dunia tapi juga di akhirat... amien..

kalo sahabat-sahabatku baca nih blog, aku ada kata-kata yang kuambil dari buku Parlindungan Marpaung, judulnya setengah isi setengah kosong. Beliau bilang bahwa, setiap organisasi, atau kelompok, atau
apapun itu ketika mereka menyatu dan membentuk suatu satuan, satuan itu akan menjadi kuat dan sangat solid, ketika setiap orang didalamnya mau memberi tanpa mengharap balas, dan aku pikir kita sudah mencapai hal itu sahabatku. pertahankanlah, dan arahkan ke arah yang lebih baik....

SEMANGAT!!!

Minggu, 15 Juni 2008

Aku, Kepemimpinan, dan Perubahan Sosial

Sering kita mendengar ungkapan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini karena setiap sesuatu pasti berubah, sesuatu yang abadi di dunia ini hanyalah kata perubahan itu sendiri. Ungkapan itu jika dipikir benar-benar memang ada benarnya juga. Begitu pentingnya arti dari perubahan itu dalam kehidupan sehingga ada ungkapan yang mengatakan bahwa arti dari hidup ini adalah perubahan, dapat disimpulkan bahwa ketika kita tidak berubah berarti kita tidak hidup. Sebagai manusia, kita berawal dari bayi, lalu tumbuh menjadi balita, kemudian anak SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi, hingga mungkin nanti kita berkeluarga, tua, dan kembali ke haribaan-Nya, itu semua adalah bukti dari ungkapan hidup adalah perubahan. Dalam ranah yang lebih besar seperti negara dan masyarakat pun juga sama, Indonesia sebagai sebuah negara-pun telah melalui dan akan melalui fase-fase perubahan dalam bukti kehidupannya. Setiap fase-fase kehidupan itu adalah perubahan yang saya, kita, negara, dan semua yang ada di dunia ini telah dan akan jalani (Insya ALLAH). Kondisi masyarakat yang telah ada inipun adalah hasil dari perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian masa lalu. Akan tetapi sayangnya kondisi masyarakat sebagai hasil dari perubahan dan penyesuaian tersebut belum mampu menghasilkan sebuah produk konkret yang berkualitas. Perubahan yang telah dilakukan masih memerlukan perubahan-perubahan lanjutan sebagai finishing dalam proses tersebut. Hal ini diperlukan karena menurut saya perubahan-perubahan yang terjadi masih belum mampu mencapai dan menyelesaikan tujuan utama dari perubahan itu sendiri.


Lalu pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi hal seperti itu. Merujuk kepada sejarah, dimana perubahan itu terjadi, banyak sekali kisah yang menceritakan bahwa sebuah perubahan yang diinginkan benar-benar terkait dengan kepemimpinan. Bagaimana kisah tentang Adolf Hitler yang mampu mengubah kondisi Jerman yang porak poranda akibat perang dunia ke-1 menjadi sebuah negara yang sangat kuat pada perang dunia ke-2 sehingga hanya bisa dikalahkan oleh negara sekutu secara bersama-sama, bagaimana kisah seorang Napoleon Bonaparte yang dengan kemampuan kepemimpinannya berhasil mempelopori revolusi di Perancis, bagaimana kisah seorang Umar Bin Abdul Azis yang mampu membalik kondisi perekonomian negaranya yang bobrok dan diwarnai aksi korupsi pejabat saat itu menjadi sebuah Negara yang kaya raya, dan tentunya bagaimana kisah seorang Rasulullah yang dengan segala kelebihan kepemimpinannya berhasil mengubah kondisi masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab dan bermartabat. Masih banyak lagi sebenarnya kisah-kisah pembuktian bahwa seorang pemimpin sangat dibutuhkan dalam proses perubahan. Hal ini disebabkan karena seorang pemimpin ibarat otak dalam tubuh, ketika otak itu salah mengintrepetasikan sesuatu maka akan salah pula anggota badan yang lainnya untuk bergerak sesuai dengan tujuan awalnya. Begitupula dalam sebuah pergerakan, ketika seorang pemimpin salah dalam berbuat dan bertindak, maka sebuah organisasi pergerakan akan berpeluang untuk berbuat salah dalam berbuat dan bertindak. Lebih jauh dari itu kenyataannya seorang pemimpin tidak hanya dipandang sempit sebagai sebuah otak yang memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak. Seorang pemimpin tidak hanya sekedar otak, tetapi juga adalah jiwa yang mengilhami dan merasuki idealisme, prinsip, dan semangat dari sebuah pergerakan. Sebuah contoh kisah, tidak mungkin seorang Adolf Hitler yang dulunya seorang pelukis mampu memimpin Jerman untuk bangkit dari keterpurukan hanya dengan modal sebagai Decision Maker. Lebih jauh dari itu, seorang Adolf Hitler pasti memiliki kemampuan untuk menjiwai dan merasuki Jerman sesuai dengan idealisme, prinsip, dan semangat yang dia miliki sehingga semua warga bangsa Jerman mau tunduk dan patuh terhadapnya. Keluarbiasaan pemimpin itu pulalah yang mengilhami para nenek moyang bangsa Cina dulu merumuskan strategi-strategi perang yang berfokus kepada melumpuhkan pemimpin lawan. Mereka bangsa Cina itu sadar bahwa ketika mereka ingin mengalahkan sebuah kekuasaan atau gerombolan mereka tidak perlu secara boros mengeluarkan tenaga menghabisi mereka semua. Mereka hanya perlu merencanakan taktik untuk mengalahkan atau melumpuhkan pemimpinnya saja sehingga hasilnya musuh pun kalah dengan sendirinya. Dari semua penjelasan dalam paragraph ini bisa disimpulkan bahwa mungkin saja perubahan yang terjadi di Indonesia masih belum mampu mencapai tujuan awalnya karena masih belum memiliki seorang pemimpin yang memiliki kemampuan untuk memimpin Negara yang besar ini. Negara ini masih belum memiliki seorang pemimpin yang memiliki kemampuan sebagai perasuk dan penjiwa seluruh warga bangsa Indonesia. Para tokoh-tokoh besar Negara ini terlalu sibuk bersandiwara dalam politik kekuasaan sampai-sampai melupakan tujuan utama berdirinya Negara ini seperti yang terkandung dalam pembukaan UUD’45.


Lalu pertanyaan yang muncul kembali adalah apakah kita tidak bisa berbuat sesuatu dalam membantu Negara ini untuk berubah. Dalam ideology saya dikatakan bahwa, “ketika engkau melihat sebuah kedzholiman cegahlah dengan tanganmu, jika engkau tidak sanggup cegahlah dengan lisanmu, jika pun engkau tidak sanggup lakukanlah dengan hatimu, dan yang terakhir adalah selemah-lemahnya iman.” Tidak ada alasan apakah kita seorang pelajar, bapak, pejabat, atau apapun, kita tetap diwajibkan untuk melakukan sesuatu walau dengan hati sekalipun. Contoh konkretnya adalah kepedulian, maksudnya adalah kita sebagai mahasiswa bukan sebagai siswa lagi seharusnya sudah bisa mengerti dan melek terhadap apa yang terjadi di sekitar kita dan dalam konteks yang lebih besar kita seharusnya sudah bisa melek terhadap permasalahan bangsa. Mahasiswa tidak seharusnya memiliki paradigma berpikir lulus cepat, menikah, tua, dan mati tanpa berusaha mengerti dan memahami bahwa kehidupannya harus memberi arti kepada orang lain. Namun kondisi persaingan yang semakin ketat dalam lapangan pekerjaan dan mencari uang menyebabkan mahasiswa saat ini tidak lagi peduli kepada lingkungan sekitar, yang penting gue selamat, begitu pikir mereka. Tidak ada yang perlu dipersalahkan dalam hal ini. Yang lebih penting adalah bagaimana kita secara bersama-sama mau menularkan paradigma berpikir dan idealisme kepedulian kepada mahasiswa lain. Ketika kita mau berniat tulus untuk berbuat hal itu dengan tujuan semata-mata Lillahita’ala dan semata-mata untuk bangsa ini Insya ALLAH jalan menuju terang untuk bangsa ini akan muncul. Impian-impian bahwa Negara ini akan menuju ke kebangkitan nasional yang sebenarnya akan menjadi lebih nyata. Kita semua baik mahasiswa, pekerja, ibu rumah tangga, pejabat, menteri, dan sebagainya mempunyai peran masing-masing dalam perubahan. Akan tetapi sebagai mahasiswa saat ini perubahan itu harus dimulai dari diri kita dan lingkungan sekitar kita terlebih dahulu. Kita mahasiswa dan mahasiswa adalah bakal-bakal dan tunas-tunas yang pada saatnya tumbuh menjadi pohon besar yang mampu menaungi dan merindangi Negara ini dengan segala kemampuan dan keahliannya. Amien.

Ketua BEM sebagai Ketua BAM

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga Negara yang menjadi wadah aspirasi rakyat kepada pemerintah. Di lembaga tersebut terdapat orang-orang yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili suara rakyat kepada pemerintah. Namun faktanya lagi-lagi tidak sesuai dengan teorinya, Dewan Perwakilan Rakyat saat ini lebih tepat dikatakan sebagai Dewan Pertidakwakilan Rakyat. Statement ini bisa dibuktikan oleh masih banyaknya demonstrasi yang terjadi sebagai jalan satu-satunya mengungkapkan aspirasi kepada pemerintah. Seharusnya berawal dari teori, ketika dewan perwakilan tersebut dibuat maka rakyat menyampaikan aspirasinya kepada Dewan tersebut bukan kepada jalanan (turun ke jalan). Dalam hal ini saya menghubungkan kesamaan antara DPR dengan BEM. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah Induk organisasi dari organisasi-organisasi lain. Seorang ketua BEM adalah orang yang telah dipilih oleh seluruh mahasiswa dalam suatu lingkungan akademik untuk mewakili mereka memimpin BEM dan menjadikan organisasi-organisasi dan kehidupan berakademik sesuai dengan aspirasi mereka. Sehingga menurut saya tepat bila Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) itu dikatakan sebagai Badan Aspirasi Mahasiswa (BAM). Sebuah badan yang mampu mewakili suara mahasiswa. Sebuah badan yang seharusnya bergerak dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan aspirasi dari seluruh mahasiswa.


Namun berdasarkan pengamatan saya, saat ini BEM-BEM yang ada tidak seperti yang seharusnya. Dalam hal ini saya tidak membenarkan diri saya sendiri tetapi saya mempunyai alasan untuk menuliskannya. Badan Eksekutif Mahasiswa lebih tepat dikatakan sebagai Badan Eksklusif Mahasiswa. Menurut saya banyak sekali mahasiswa yang tidak tahu dan tidak mengerti tentang apa itu BEM, tentang apa yang dilakukan oleh BEM, ataupun apa yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa dari BEM itu sendiri. Sama dengan fenomena dari DPR, banyak sekali rakyat yang tidak mengerti akan fungsi dari DPR. Mungkin ada yang mengerti tentang hal itu, tetapi justru yang mengerti itu adalah rakyat yang terdidik dan mapan. Padahal yang sangat membutuhkan fungsi dari DPR adalah mereka masyarakat-masyarakat kecil yang sangat rentan menderita ketika ada kebijakan yang tidak sesuai. Begitu pula menurut saya tentang keadaan BEM saat ini, banyak mahasiswa yang tidak tahu dan tidak mengerti akan fungsi dari BEM. Kalaupun tahu, biasanya para mahasiswa tersebut hanya mengetahui sedikit saja dari BEM. Biasanya yang mengetahui itu adalah orang-orang yang memang orang-orang yang care terhadap lingkungan. Nah disinilah peran dari BEM selaku wadah aspirasi mahasiswa untuk merangkul semua mahasiswa dari yang pintar samapai yang kurang pintar, dari yang aktif organisasi sampai yang tidak aktif organisasi, dari yang cuek sampai yang tidak cuek.


Namun tidak sepantasnya pula memang ketika BEM sepenuhnya dipersalahkan menjadi sedikit eksklusif terhadap mahasiswa. Ada banyak variable yang menyebabkan keadaan seperti ini. Menurut saya variabel yang paling berperan adalah mindset kebanyakan mahasiswa yang semestinya dirubah. Mindset yang berkeinginan ketika bayi ditimang-timang, ketika balita dimanja, ketika remaja foya-foya, ketika tua kaya raya, ketika mati masuk surga. Atau seperti yang dikatakan mas Budiyanto, “sekolah, belajar, dapet kerja, nikah terus mati, tanpa mengerti esensi dari kehidupan”. Mindset adalah inti dari diri seseorang yang melatarbelakangi seseorang tersebut bertindak. Menurut saya mindset ini yang paling berperan dalam memunculkan keadaan seperti ini. Nah, tugas BEM lah bersama organisasi-organisasi lain untuk menularkan mindset yang benar kepada mahasiswa yang lain. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh BEM untuk mengubah paradigma berpikir tersebut seperti menggecarkan sosialisasi BEM, menggencarkan promosi acara-acara BEM, atau membuat para mahasiswa itu aktif dan tidak cuek terhadap keadaan lingkungan yang terjadi. BEM bersama organisasi-organisasi lain harus mampu mengedukasi mahasiswa yang lain untuk memiliki mindset yang selaras dengan mindset para anggota BEM. Keuntungan yang bisa di dapat antara lain ketika BEM akan bertindak sesuatu maka mahasiswa yang lain pun akan ikut mendukung hal tersebut. Imej BEM sebagai Badan Ekslusif Mahasiswa pun akan berganti menjadi Badan Aspirasi Mahasiswa karena pikiran mahasiswa yang sejalan terhadap BEM. Memang untuk hal ini diperlukan kerja keras dan niat yang tulus untuk membangun lingkungan yang ideal. Untuk hal ini diperlukan kemauan memberi tanpa mengharap menerima, kemauan memberikan terbaik dari apa yang kita punya kepada orang lain tanpa mengharap balasan pujian atau feedback kebaikan dari orang lain. Seperti yang tertulis dalam buku, Setengah Isi Setengah Kosong, karya Parlindungan Marpaung, organisasi akan menjadi sangat kuat dan solid, ketika setiap orang di dalamnya mau memberi tanpa mengharap menerima.