Kamis, 29 Juli 2010

Publik vs Private

Sulit rasanya memilah ranah publik dengan ranah private dalam kehidupan kita. Padahal parameter itu digunakan untuk menentukan seberapa dewasa diri kita. Tanpa pemilahan yang tepat, tugas dan amanah yang kita panggul tak akan terlaksana dengan baik. Bayangkan jika sebuah organisasi yang terbagi dalam beberapa fungsi tak mampu melakukan aktivitasnya hanya karena konflik pribadi yang terjadi dalam internal masing-masing anggota.

Dalam budaya asing, hal seperti itu sulit ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bisa saja semalaman suntuk mabuk-mabukan dan tak tidur. Akan tetapi di waktu pagi tiba-tiba mereka bangkit dan menghadiri rapat penting dengan jas, kemeja dan celana kain rapi serta paras bersih dan rambut yang tersusun rapi. Hampir tak ada bekas bahwa mereka semalaman mabuk-mabukan.

Budaya professional. Mungkin banyak orang menyebutnya seperti itu. Totalitas dalam melakukan amanah dan rencana yang telah ditetapkan. Adil dalam setiap keputusan berdasarkan pertimbangan rasionalitas, bukan perasaan dan kecemburuan pribadi.

Mungkin disitulah kita semua harus belajar. Seorang pemimpin terbaik adalah seorang yang mampu mengalahkan dirinya sendiri sebaik mungkin, karena musuh terbesar dari seorang pemimpin adalah dirinya sendiri, bukan orang lain.

Alangkah kasihan tim yang diketuai seorang pemimpin yang tak mampu menempatkan dirinya dalam benturan emosional dan desakan keinginan pribadi.

Namun kita pun harus mengerti, tak ada manusia sempurna. Selama kita tak bisa menjadi sempurna, jangan pernah menuntut orang lain untuk sempurna. Hukum kepantasan berlaku. Ibarat seorang guru yang tak kan mampu mengajari muridnya suatu hal sebelum dia mampu melakukan hal yang dia ajarkan.

Teringat kisah professionalitas Umar Bin Abdul Azis yang melegenda dengan sebuah lampunya. Suatu saat Umar Bin Abdul Azis bekerja hingga larut dalam kantornya. Tiba-tiba datang seseorang yang ingin berkonsultasi kepada beliau terkait masalah pribadi. Kontan seorang Umar saat itu melepaskan lampunya dan menggantinya dengan lampu yang lebih redup. Ketika ditanya oleh tamuya, mengapa menggantinya dengan lampu yang lebih redup, Umar menjawab, “lampu terang tadi adalah milik negara, aku hanya menggunakannya untuk kepentingan negara, karena sekarang kita membicarakan urusan pribadi, maka selayaknya lampu yang kita gunakan adalah lampu pribadi.” Subhanallah...

Sungguh, dalam teori begitu mudah mengatakan bahwa ranah publik harus terpisah dengan ranah privat. Ada kalanya kita harus menempatkan diri sebagai diri sendiri dan ada kalanya kita harus menempatkan diri sebagai pemegang amanah dan tempat bertumpu kepercayaan orang lain. Namun implementasi tak semudah rencana. Lebih mudah melukiskan konsep besar dalam goresan tulisan dibandingkan mengukirnya dengan pahatan palu dan paku.

Yah... di situlah tarbiyahnya... dan di situlah indahnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar