Rabu, 10 November 2010

Liburan?? Ga kerasa liburan...

Sudah beberapa hari aku tinggal di sini. Sragen pinggir dan Solo ambang batas. Tempat di pertengahan Solo-Sragen. Tempat simbah. Daerah hijau dengan suasana ‘desa’ yang kental dan hamparan padi yang luas.

Aku mengungsi dari terjangan abu vulkanik merapi. Abu hasil luncuran awan panas merapi yang membuat mata dan hidung perih. Beberapa sahabatku juga pergi dan menghindar dari keadaan itu. Ada yang ke Semarang, Jakarta, Bontang, dan daerah lainnya.

Entah keadaan mereka seperti apa sekarang. Libur UGM ditetapkan sampai tanggal 13. Pasti ini kesempatan bagi kami mahasiswa untuk sekedar mengendurkan tekanan di otak. Mayoritas pulang ke kampung halamannya masing-masing. Bertemu dengan orang tua dan saudara yang mereka rindukan. Intinya mereka bahagia.

Tapi aku berbeda. Tulisan ini bukan hasil keluhan. Hanya sekedar tuangan renungan. Sekaligus mengisi beberapa hariku yang terlewat dari tulisan.

Entah apa sebabnya. Perasaan tak nyaman dan ingin cepat kembali ke Jogja mempengaruhi moodku berhari-hari di sini. Mungkin ada beberapa alasan. Pertama, sahabat-sahabatku sedang berjuang menjadi relawan, tetapi aku sendiri menganggur tanpa ada kerjaan. Kedua, di sini aku menumpang. Ketiga, hampir komunikasiku dengan orang-orang sekitar tak ada yang lancar, kecuali dengan adikku dan ibuku (I don’t understand javanese well).

Keadaan ini memunculkan pengaruh kuat yang membuatku begitu sensitif. Sebutir debu bisa terasa seperti hantaman batu besar. Telaga hati ini mendangkal. Tak sedalam dulu yang siap menerima cukup banyak garam. Aku ingin sendirian, menjauh dari tatapan sinis dan cibiran yang muncul di belakangku.

Bukannya aku sombong. Bukannya aku angkuh. Justru aku malu untuk bisa mencair dengan orang-orang sekitarku. Aku yang terbiasa spontan dan terbuka mengungkapkan rasa seolah harus bungkam menghadapi keadaan ini. Aku menemukan diriku yang tidak semestinya di sini. Aku harus bersikap sebaik mungkin seperti bukan diriku.

Masalah bahasa, aku sering jengkel. Masa’ iya bahasa Indonesia yang sudah jadi patern bahasa nasional sama sekali tidak dikuasai? Warga Indonesia bukan??

Yang bikin aku tambah jengkel, mereka ga mau ngerti kalo aku ga ngerti bahasa jawa. Sehingga ketika terjadi miskomunikasi, mereka marah. Dalam hati aku dongkol. Kenapa marah? Harusnya aku yang marah karena mereka menggunakan bahasa jawa kepada orang selain jawa, padahal ini tanah Indonesia. Mereka tidak menghargai bahasa nasional yang telah dibaiatkan pada sumpah pemuda.

Tapi apa daya, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Peribahasa yang sebagiannya kusetujui dan sebagian lainnya tidak. Aku bisa setuju kalo hal-hal yang harus dijunjung adalah nilai dan tata krama. Tapi tidak untuk sebuah bahasa. Peribahasa ini juga akhirnya membuat pendatang selalu jadi bulan-bulanan dan pihak yang harus selalu mengalah pada pribumi. Wajar sih, tapi terkadang jadi dzholim karena berlebihan.

Tidak banyak yang bisa aku sampaikan. Hanya curahan kesal dan lelah yang aku terima. Mungkin juga bisa menjadi hikmah bagi siapapun yang membacanya.

Intinya adalah, adaptasi tak selalu mudah, malah seringkali sulit. Apalagi jika budaya dan nilai yang ada di lingkungan baru bertentangan dengan budaya dan nilai yang kita anut.

Mungkin ini juga sebabnya banyak orang nyaman mau meninggalkan wilayah nyaman (comfortable zone) mereka. Karena adaptasi memang sulit. Dan membutuhkan energi yang tak sedikit.

6 komentar:

  1. Novaaaa aku juga nangis bombay sebelum pulang ke jakarta :( konflik batin "masa sementara orang pada jadi relawan, aku kabur gitu aja?" trus aku dinasihatin sama ibuku, untuk membantu itu caranya banyak. gak cuma pas bencana ini tapi juga pas recovery nya. jadi kamu gak perlu merasa bersalah karena pasti ada cara untuk berkontribusi. kalo ga sekarang, mungkin nanti. :)

    sabar ya nova, orang jawa emang gitu :(

    BalasHapus
  2. Hahaha, iya sha... betewe, mang orang jawa kenapa? wkwkwk

    BalasHapus
  3. yoi mamen... hehehe

    BalasHapus
  4. mantab bro.. dsni aq jg kadang gt...

    BalasHapus
  5. Mungkin orang2 itu tidak terbiasa dengan apa yang disebut 'perbedaan'.. Beda sama kita yang tumbuh besar di Bontang, udah biasa kan ketemu orang yang beda2, dengan bahasa yang beda2 juga.. Ada Jawa, Bugis, Sunda, Banjar, macem2.. Jadi toleransi terhadap perbedaan juga lebih besar.. (*Jadi kangen Bontang..)

    Sabar ya Nov.. Aku paham kok rasanya teralienasi smacem itu..
    Berharap semoga musibah Merapi cepat reda, jadi kita bisa cepat balik dan beraktivitas tidak berdiam diri seperti skrg..
    Amin!

    BalasHapus
  6. Thank U udah berkunjung fi, sering2 yak, hehehe, iya amien, mudah2an cepet reda, btw alienasi itu apa?

    BalasHapus