Senin, 20 September 2010

Kemiskinan, Shadaqah, dan Takdir

Pagi yang dingin menyelimuti. Di depanku orang-orang berseliweran bak kuda-kuda liar yang berlomba-lomba memasuki finish. Ada yang membawa koper, tas, dan tak jarang membawa troly dengan dus-dus di atasnya. Mereka semua necis, kebanyakan gaul dan glamour. Pemandangan yang sangat yang tak lazim kutemui di stasiun tugu atau terminal jombor Yogyakarta. Jelas saja, di sini di bandara. Tempat manusia-manusia mapan datang dan pergi dengan sayapnya, terbang menembus ketinggian.

Sistem kehidupan seolah tak adil. Aku sering membayangkan bagaimana jika aku yang jadi mereka. Melihat ke dalam bandara, memandang tinggi pada pesawat yang terbang, tanpa bisa merasakan keadaan itu. Hanya bisa membeli tiket kereta, itupun ekonomi. Ketika di dalam gerbong para penjual lewat, bukannya membeli, mereka malah saling sapa. ‘sederajat’, mungkin itu pikir mereka.

Hmph.. apakah kodrat dunia memang seperti ini? Ada yang kaya ada yang miskin. Ada yang baik ada yang jahat. Ada yang buruk ada pula yang rupawan. Semua serba kebalikan, paradoks, dan berlawanan. Jika Tuhan menciptakan dunia memang seperti ini buat apa mengusahakan untuk memeratakannya. Toh, Sunnatullah mengatakan bahwa dunia ini memang diciptakan berbeda-beda. Wajar.

Hati kecilku berontak. Apa benar Tuhan begitu tega membiarkan seorang hamba lapar tanpa makan tiga hari. Atau berjalan lalu lalang tanpa pakaian yang pantas. Dan bahkan harus tinggal di kolong-kolong jembatan, kepanasan di perempatan jalan, atau tumbuh dalam pendidikan yang terputus hanya karena masalah biaya. Sebenarnya itu takdir Tuhan atau kesalahan sistem? Ini ukiran tangan Tuhan atau jeleknya gambar manusia???

Entah kenapa, aku percaya Tuhan tak mungkin sejahat itu. Aku selalu yakin, manusia yang menghancurkan. Dunia tersusun dalam keseimbangan yang sempurna. Manusialah yang memberatkan salah satu timbangannya. Manusialah yang berdosa karena telah tega membiarkan keadilan dan rezeki Tuhan termobilisasi pada satu orang dan orang lain tak mendapatkannya. Walaupun aku juga yakin, sunnatullahnya dunia memang tercipta untuk cenderung kepada keadaan itu.

Aku teringat indahnya shadaqah. Banyak orang menganggap shadaqah adalah amal biasa, tak begitu berat dan hebat dibanding shalat malam atau puasa senin kamis. Padahal dalam kehidupan sosial, shadaqah punya peran besar dalam pemerataan.

Ini dilakukan dengan luar biasa di zaman Rasul dan para sahabatnya. Satu contoh luar biasa dilakukan oleh kaum anshar terhadap kaum muhajirin ketika kaum muhajirin baru sampai di Madinah. Begitu kuatnya semangat shadaqah mereka, hingga seluruh yang mereka miliki dibagi dua untuk kaum muhajirin. Dan lebih luar biasanya, kehormatan yang dimiliki kaum muhajirin membuat mereka menolak tawaran kaum anshor kecuali informasi tempat pasar berada, dan mereka hidup darinya.

Contoh lain kisah seorang Umar bin Khattab, yang merelakan seluruh pohon kurma miliknya untuk dishadaqahkan hanya karena ketinggalan takbiratul ihram shalat berjamaah di masjid. Jika hanya ketinggalan takbir saja mengakibatkan sebuah ladang kurma dishadaqahkan, bagaimana jika ada kasus-kasus yang lain?? Pasti jauh lebih tak terbayangkan besarnya. Sayangnya saya belum menemukan kisah-kisah luar biasa yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasul selain Abu-bakar, Umar, Ali, dan Ustman. Padahal jika ada, mungkin standard shadaqah mereka jauh melebihi standard yang saat ini ada di masyarakat.

Dalam ilmu ekonomi, shadaqah yang besar dan intens membuat perputaran uang menjadi semakin cepat. Akibatnya, uang yang biasanya hanya tersimpan di Bank atau tempat penyimpanan lain menjadi aktif dan bisa dinikmati oleh orang yang  bermacam-macam. Faktor ini akan berpengaruh meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam perhitungannya, investasi akan meningkat dan menyebabkan pendapatan nasional pun meningkat dalam kualitas peningkatan yang baik.

Setidak-tidaknya walaupun tak ilmiah, mungkin ini jawabannya. Tuhan memang menciptakan dunia cenderung pada segala perbedaan di dalamnya. Namun Tuhan juga menciptakan solusi untuk mengatasi dampak buruk dari perbedaan-perbedaan itu. Sama halnya Tuhan menciptakan warna hitam dan putih, tapi Dia juga menciptakan cara mengkombinasikan agar kedua warna itu harmonis. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, menumbuhkan nafsu di antara mereka, lalu melarang mereka berhubungan. Namun ternyata Tuhan juga menciptakan solusi bagi kehalalan hubungan keduanya, pernikahan.

Jelas sekali, Tuhan tak pernah salah. Karena Dia sengaja menciptakan keadaan dunia seperti ini, dinamis, agar jelas mana manusia yang bersyukur mana yang tidak. Mana yang taat mana yang tidak. Mana ahli surga dan mana yang tidak. Memutuskan ‘iya’ dan ‘tidak’ mudah bagi-Nya. Tapi Dia sengaja membuat sistem untuk mengajarkan apa pentingnya sistem, dan hikmah tersembunyi lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar