Suatu hari, tepatnya 14 Juni 1928, lahirlah seorang bayi di Bolivia Utara. Bayi dengan berat normal tersebut terlahir dengan sehat dan seperti normalnya bayi-bayi lainnya terlahir. Tahun 1930, bayi yang sudah menginjak umur 2 tahun tersebut pindah dari kota kelahirannya ke sebuah kota bernama Alta Gracia, tempat indah dengan pegunungan berbanjar di sekelilingnya. Di tempat inilah bayi yang sudah tumbuh menjadi anak-anak tersebut hidup dan mulai menunjukkan bakat kepemimpinannya. Masa-masa pertumbuhan anak ini diwarnai dengan keadaan yang sangat ekstrem. Argentina saat itu sedang berada pada krisis terburuk sepanjang sejarah, dengan perebutan kekuasaan politik oleh militer. Belum lagi ditambah, masa-masa selanjutnya adalah masa-masa di mana Mussolini, Adolf Hitler, dan Fransisco Franco hidup, yang berarti era dimana perang menjadi catatan pentingnya. Anak ini terus tumbuh dan memasuki sebuah perguruan tinggi beraliran prancis, kemudian mulai belajar segala sesuatunya dan menjadi anak yang unik di universitas tersebut. Beberapa moment kemudian dia pindah ke buenos aires dan menjalani kehidupannya seperti biasa di tempat tersebut. Namun kehidupannya mulai mendekati turning point di moment ini, dia bekerja sebagai awak kapal dan berkesempatan untuk menurunkan minyak ke beberapa penjuru negara sekaligus melihat realita yang sebenarnya terjadi dalam negara itu. Tidak puas dengan itu, dia kemudian memasang mesin sederhana pada sepedanya, dan meneruskan perjalanannya ke berbagai tempat di negara tersebut dan melihat kesenjangan yang cukup tajam antara si kaya dan si miskin. Lebih dari itu, pada tanggal 29 Desember 1951 dia bersama sahabat kecilnya memutuskan untuk berpetualang ke seluruh penjuru amerika latin dengan sepeda motor milik sahabatnya tersebut. Pada moment inilah dia bisa melihat realita yang sesungguhnya, lalu menjadi titik awal kebangkitan dirinya menjadi seorang tokoh berpengaruh sampai saat ini. Dia dikenal dengan nama Che Guevarra.
Di tempat lain dan waktu yang lain, ada lagi kisah seorang dosen yang awalnya hanya seorang miskin. Dosen jurusan tata kota yang pada saat mahasiswanya ikut berperan dalam demonstrasi-demonstrasi dan aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan tersebut dulu hanyalah seorang anak yang terlahir di sudut sempit gang kota teheran, miskin, dan tidak memiliki apa-apa. Namun beberapa dekade kehidupannya memberikan arti tersendiri bagi dirinya. Teheran, kota megapolitan seluas London yang rakyatnya dua kali lebih banyak dari Jakarta, yang kaya akan korupsi di hampir seluruh bagian struktur birokratnya, yang penataan kotanya sangat amburadul dan berantakan, yang kesenjangan sosialnya sangat jomplang bahkan hampir-hampir tak bisa dipercayai ini menyisakan bentukan tersendiri bagi pribadinya, tegas, berani, dan heroik. Alhasil, orang ini berhasil menjadi presiden Iran dengan kemenangan yang sangat dramatis, dana dan popularitas yang paling sedikit ternyata menang melawan politikus-politikus dengan dana segunung dan popularitas yang tak bisa dielakkan. Masih segar di ingatan kita tentang bagaimana sosoknya menjadi orang pertama yang mengecam keras Israel ketika melakukan genosida di Gaza silam. Tak cukup hanya itu, track recordnya pun menunjukkan kepribadiannya yang sangat tegas terhadap segala pelanggaran yang merugikan rakyat. Seperti reality show, kehidupan kepresidenannya dilalui dengan kesederhanaan dan keheroikan, tak malu untuk menyapu sendiri jalanan kota yang kotor, menghilangkan sumbat yang menyumbat selokan, atau menyapa peminta-minta yang ditemuinya di jalan. Tak seorang pun yang tak tahu, nama Ahmadinejad.
Dua cerita di atas mungkin belum cukup mewakili sosok seluruh hero yang terlahir di dunia ini. Tetapi setidaknya dua sampel di atas tak berbeda jauh dengan para revolusi yang telah merubah keadaan daerah atau minimal tempat mereka tinggal. Kesamaan diantara mereka adalah, mereka sama-sama memiliki sebuah turning point dalam kehidupannya, sebuah lekukan kecil dari grafik kehidupannya, yang kemudian berhasil mengubah total arah kehidupannya menjadi seorang yang luar biasa. Paradigma mereka mulia, menjadikan orang lain yang mereka rasa tertindas menjadi mampu mendapatkan keadilan.
Ada sebuah catatan penting yang terpikirkan ketika sekilas membayangkan kedua kisah dari sosok luar biasa tersebut, yaitu refleksi. Dada yang berdebar-debar ketika membaca sebuah penggalan kisah kehidupan mereka seolah harus redup sedih ketika menyadari bahwa ternyata mereka hanyalah sejarah, yang reinkarnasinya tak mampu ditemukan dalam sosok-sosok para generasi saat ini. Ini bukan asumsi, tetapi kenyataan yang harus diterima secara lapang dada. Faktanya bisa dilihat dari bagaimana pendidikan yang diterapkan dalam kurikulum universitas di indonesia. Kesuksesan dari Universitas diukur dari seberapa cepat para lulusan-lulusan universitas tersebut mendapatkan pekerjaan, atau seberapa banyak alumni universitas yang akhirnya menjadi pimpinan-pimpinan di tempat mereka tinggal, atau lebih parah lagi kesuksesan universitas diukur dari seberapa banyak lulusan yang berhasil mendapatkan Ipk di atas 3,00. Universitas tidak pernah menilai kesuksesannya berdasarkan seberapa berhasil kah universitas mampu menanamkan nilai-nilai Universitas kepada mahasiswanya. Semuanya harus dikuantifikasi dan bisa dihitung.
Memang hal ini bukanlah sesuatu yang patut untuk disalahkan karena sistem yang dterapkan di Universitas memang menuntut untuk menilai kesuksesan berdasarkan hasil kuntifikasi, di samping kesulitan yang akan dihadapi jika penilaian kesuksesan dilakukan berdasarkan hasil kualitatif yang abstrak. Akan tetapi bukan berarti, nilai-nilai yang telah dicanangkan oleh Universitas tersebut menjadi kabur dan tanpa makna dalam proses belajar mengajar yang diterapkan universitas. Kedua sosok luar biasa dalam paragraf pertama diakui kemampuannya bukan karena semata-mata kompetensi, tetapi juga nilai-nilai dan visi misi yang dianutnya dan diyakininya secara kuat. Seorang Ahmadinejad dan Che Guevarra diakui tidak hanya karena kemampuan mereka memimpin, tetapi lebih dari itu, setiap orang kagum bahkan meneteskan air mata karena visi misi dan nilai-nilai yang diyakininya dianutnya dengan sangat kuat dan bahkan terimplementasi secara berani dalam kehidupan nyata walaupun hal itu melanggar kebiasaan dan budaya bersama.
Pernahkah hal itu kita temui dalam kehidupan kita di kelas? Pernahkah kita melihat sosok-sosok bakal calon dari che atau pun ahmadinejad di dalam waktu-waktu perkuliahan? Jika boleh menjawab jujur, kita tak akan bisa melihat sosok-sosok seperti mereka berdua di dalam kelas ber-AC dengan viewer di depan panggung serta ruangan nyaman. Sosok-sosok tersebut hanya akan kita temui di dalam ruang-ruang diskusi, di dalam ruang-ruang organisasi mahasiswa idealis, atau mungkin di tengah-tengah masyarakat tertindas yang mulutnya terbungkam oleh gedung-gedung tinggi menjulang. Sedih rasanya melihat kelas yang seharusnya menjadi sarana pencetak para bakal-bakal calon pemimpin negeri ternyata hanya merupakan sarana pencetak bakal calon robot pekerja. Sayang rasanya ketika mengetahui bahwa kelas-kelas yang dahulu merupakan ruangan dengan impian-impian, idealisme-ideaslisme, dan harapan-harapan terbang ke sana ke mari tanpa ada yang menangkap dan memenjarakannya ternyata sekarang menjadi ruangan tanpa rasa, hambar, dan tak beridealisme. Yang dibicarakan hanya seputar angka, angka, dan angka, tanpa memperhatikan tujuan kontribusi yang bisa diberikan dari kemampuan kita mengetahui angka tersebut.
Proses perubahan fungsi dan core sejati dari proses pembelajaran universitas mungkin masih membumbung tinggi nun jauh di sana. Dan bisa dikatakan perjalanan panjang dengan kerikil and duri di jalannya, yang ujungnya pun hampir tak terlihat dari posisi kita sekarang sehingga akan cukup membuat harapan dan impian kita sirna. Namun yang patut diyakini adalah, seorang ahmadinejad dan che guevarra lebih memilih resiko untuk mati dengan mengimplementasikan impiannya, daripada menyerah pada keadaan.
This is default featured post 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Kamis, 14 Mei 2009
Kamis, 07 Mei 2009
Internasionalisasi dan Research University
Research university, sebuah gaungan indah dan sangat idealis ini terpatri dalam visi Universitas Gajah Mada. Universitas ndeso tapi mendunia ini cukup membuat semua mata terbelalak ketika cantuman visinya benar-benar serius direncanakan. Lihat saja sekolah vokasi yang menjadi bukti keganasan UGM mengejar targetnya. Sekolah yang dibentuk untuk memisahkan D3 UGM dengan S1nya sehingga memudahkan UGM dalam mencapai visinya, menjadi research university dan melahirkan researcher-researcher handal di tengah sesak pergulatan kehidupan bangsa Indonesia.
Tak jauh jaraknya dari gedung pusat UGM, fakultas ekonomi yang berada di sebelah Graha Sabha Pramana pun dengan sangat berani menuliskan visinya secara tegas, Meet the Global Challenge yang akhirnya tercanang dalam visinya. Yap, tak salah lagi, Meet the global challenge berarti tatapan strategis FEB UGM tak hanya terbatas pada lingkungan internal negeri, tetapi juga telah berani melangkah keluar menembus dinding negara dan menyapa seluruh penduduk dunia. FEB secara khusus membenahi berbagai macam organnya, dari struktural sampai kepada tataran paling bawah, yaitu kegiatan mahasiswanya agar setiap bagian dari BEM FEB UGM bisa bergerak searah menuju internasionalisasi fakultas. Publikasi-publikasi terpampang glamour di banyak papan pengumuman dengan tema seragam, yaitu internasionalisasi, kegiatan-kegiatan mahasiswa mendapatkan stimulus cukup baik terkait dengan prestasi mereka di lingkup internasional dan akses-akses terbuka sangat luas bagi mahasiswa yang ingin melaksanakan student exchange.
Diperhatikan sekilas, progresifitas fakultas dan universitas bisa diacungi dua jempol ditilik dari visi misi dan proses langkah geraknya. Namun ada sesuatu yang dirasa masih janggal, masih aneh, dan masih butuh pembenahan lebih penting. Entah bagaimana menjelaskan hal tersebut, tetapi yang pasti idealisme para birokrat UGM memiliki sudut pandang yang agak berbeda dengan sudut pandang aktivis-aktivis gerakan sosial kampus. Aktivis-aktivis gerakan sosial kampus jelas akan memandang visi misi ini dengan dampaknya di bidang sosial yang bakal terjadi. Akibatnya, muncul beberapa pertanyaan dari kalangan-kalangan gerakan sosial terkait impian UGM ini, mendongkrak kah?? Atau malah mengeroposkan??
UGM sudah dikenal sebagai universitas ndeso yang mendunia, yang punya sejarah berdiri di atas keresahan rakyat, yang peduli akan nasib bangsa dan negara, dan mendengungkan keotentikan dan keaslian pribadi Indonesia. Bukan berarti UGM tidak boleh berbenah diri melakukan manuver-manuver perubahan seperti Globalisasi dan modernisasi untuk kemajuan, tetapi masalahnya muncul ketika UGM dengan citra kerakyatan yang sangat kental ini akhirnya pun berubah mengikuti trend, meninggalkan keotentikan dan menjadi homogen dengan universitas lainnya di indonesia.
Fakta bahwa trend globalisasi dan kebarat-baratan telah mewarnai universitas-universitas besar indonesia kini jelas tak terbantahkan. Kita bisa melihat secara kasat mata, bagaimana budaya yang terbentuk di tengah mahasiswa dalam kehidupannya. Kita pun bisa melihat bagaimana dosen-dosen saat ini seperti tak henti-hentinya mencekoki otak dan pendengaran kita dengan kata “modern”. Skeptis, tetapi penting dikatakan, karena sebenarnya indonesia tidak membutuhkan aksi modernisasi sempit untuk mencapai tujuan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Ada hal yang perlu digarisbawahi lebih tebal di sini, bahwa sesungguhnya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat tidak hanya sempit dipandang pada masalah struktur, fasilitas, kurikulum dsb, tetapi juga pembentukan mental, pribadi dan mindset dari mahasiswa itu sendiri. Percuma mengatakan bahwa universitas UGM adalah universitas besar yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan dengan kemampuan bahasa canggih dan kompetensi melangit, tetapi akhirnya pemimpin-pemimpin tersebut diam melihat realita yang ada dan bahkan lari ke Singapura, Australia, Amerika, Brunei Darussalam, Singapura, dll karena merasa di sana memiliki prospek kehidupan yang lebih baik.
Banyak perbedaan pendapat pasti terkait masalah pembangunan untuk menjadikan UGM lebih baik, dan semuanya pasti memiliki argumen dan sudut pandang logis. Walau pun tidak bisa ekstrem pula memandang pembangunan mental, mindset, dan pribadi berarti mengacuhkan struktur, kurikulum, dan sebagainya, begitu pun sebaliknya. Semuanya terkait satu sama lain, dan berhubungan layaknya simbiosis mutualisme. Hanya saja perlu jujur pada diri sendiri dengan bertanya pada hati nurani terdalam dengan menjawab, “Apakah kondisi mahasiswa saat ini sudah cukup siap menerima sistem yang mengarah kepada internasionalisasi atau pun Research university?”. “Apakah permasalahan mahasiswa UGM sebenarnya adalah permasalahan kualitas intelektual yang tidak bisa menandingi pemikiran-pemikiran cerdas mahasiswa-mahasiswa luar negeri, atau jangan-jangan permasalahan utama justru terletak pada permasalahan jiwa, kepribadian, mindset, sikap, perilaku, dan kepedulian mahasiswa UGM kepada lingkungan, kampus, dan bangsanya??”
Perlu jujur dan obyektif menjawab beberapa pertanyaan di atas. Memang berat dan sama-sama memiliki alasan logis, tetapi ketika dihadapkan dengan perasaan, feelings, dan intuisi, bisa dipastikan bahwa permasalahan utama yang terdengar dari nurani adalah permasalahan mental, sikap, dan mindset hal yang kadang terlupakan di tengah gegap gempita ide-ide besar mencuat dalam imajiinasi-imajinasi sang intelektual. Kita semua berperan dalam perubahan ini. Akankah kita diam saja melihat kondisi dan realita yang terjadi seraya hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri saja, lalu kondisi diri kita menular pada saudara kita, teman-teman kuta, masyarakat kita, dan akhirnya negeri ini tak bergerak selangkah pun dari tempat semula, karena bangsanya apatis terhadap masalah yang terjadi. Mari bersama, kita pastikan diri kita, akan berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan negeri ini.
Tak jauh jaraknya dari gedung pusat UGM, fakultas ekonomi yang berada di sebelah Graha Sabha Pramana pun dengan sangat berani menuliskan visinya secara tegas, Meet the Global Challenge yang akhirnya tercanang dalam visinya. Yap, tak salah lagi, Meet the global challenge berarti tatapan strategis FEB UGM tak hanya terbatas pada lingkungan internal negeri, tetapi juga telah berani melangkah keluar menembus dinding negara dan menyapa seluruh penduduk dunia. FEB secara khusus membenahi berbagai macam organnya, dari struktural sampai kepada tataran paling bawah, yaitu kegiatan mahasiswanya agar setiap bagian dari BEM FEB UGM bisa bergerak searah menuju internasionalisasi fakultas. Publikasi-publikasi terpampang glamour di banyak papan pengumuman dengan tema seragam, yaitu internasionalisasi, kegiatan-kegiatan mahasiswa mendapatkan stimulus cukup baik terkait dengan prestasi mereka di lingkup internasional dan akses-akses terbuka sangat luas bagi mahasiswa yang ingin melaksanakan student exchange.
Diperhatikan sekilas, progresifitas fakultas dan universitas bisa diacungi dua jempol ditilik dari visi misi dan proses langkah geraknya. Namun ada sesuatu yang dirasa masih janggal, masih aneh, dan masih butuh pembenahan lebih penting. Entah bagaimana menjelaskan hal tersebut, tetapi yang pasti idealisme para birokrat UGM memiliki sudut pandang yang agak berbeda dengan sudut pandang aktivis-aktivis gerakan sosial kampus. Aktivis-aktivis gerakan sosial kampus jelas akan memandang visi misi ini dengan dampaknya di bidang sosial yang bakal terjadi. Akibatnya, muncul beberapa pertanyaan dari kalangan-kalangan gerakan sosial terkait impian UGM ini, mendongkrak kah?? Atau malah mengeroposkan??
UGM sudah dikenal sebagai universitas ndeso yang mendunia, yang punya sejarah berdiri di atas keresahan rakyat, yang peduli akan nasib bangsa dan negara, dan mendengungkan keotentikan dan keaslian pribadi Indonesia. Bukan berarti UGM tidak boleh berbenah diri melakukan manuver-manuver perubahan seperti Globalisasi dan modernisasi untuk kemajuan, tetapi masalahnya muncul ketika UGM dengan citra kerakyatan yang sangat kental ini akhirnya pun berubah mengikuti trend, meninggalkan keotentikan dan menjadi homogen dengan universitas lainnya di indonesia.
Fakta bahwa trend globalisasi dan kebarat-baratan telah mewarnai universitas-universitas besar indonesia kini jelas tak terbantahkan. Kita bisa melihat secara kasat mata, bagaimana budaya yang terbentuk di tengah mahasiswa dalam kehidupannya. Kita pun bisa melihat bagaimana dosen-dosen saat ini seperti tak henti-hentinya mencekoki otak dan pendengaran kita dengan kata “modern”. Skeptis, tetapi penting dikatakan, karena sebenarnya indonesia tidak membutuhkan aksi modernisasi sempit untuk mencapai tujuan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Ada hal yang perlu digarisbawahi lebih tebal di sini, bahwa sesungguhnya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat tidak hanya sempit dipandang pada masalah struktur, fasilitas, kurikulum dsb, tetapi juga pembentukan mental, pribadi dan mindset dari mahasiswa itu sendiri. Percuma mengatakan bahwa universitas UGM adalah universitas besar yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan dengan kemampuan bahasa canggih dan kompetensi melangit, tetapi akhirnya pemimpin-pemimpin tersebut diam melihat realita yang ada dan bahkan lari ke Singapura, Australia, Amerika, Brunei Darussalam, Singapura, dll karena merasa di sana memiliki prospek kehidupan yang lebih baik.
Banyak perbedaan pendapat pasti terkait masalah pembangunan untuk menjadikan UGM lebih baik, dan semuanya pasti memiliki argumen dan sudut pandang logis. Walau pun tidak bisa ekstrem pula memandang pembangunan mental, mindset, dan pribadi berarti mengacuhkan struktur, kurikulum, dan sebagainya, begitu pun sebaliknya. Semuanya terkait satu sama lain, dan berhubungan layaknya simbiosis mutualisme. Hanya saja perlu jujur pada diri sendiri dengan bertanya pada hati nurani terdalam dengan menjawab, “Apakah kondisi mahasiswa saat ini sudah cukup siap menerima sistem yang mengarah kepada internasionalisasi atau pun Research university?”. “Apakah permasalahan mahasiswa UGM sebenarnya adalah permasalahan kualitas intelektual yang tidak bisa menandingi pemikiran-pemikiran cerdas mahasiswa-mahasiswa luar negeri, atau jangan-jangan permasalahan utama justru terletak pada permasalahan jiwa, kepribadian, mindset, sikap, perilaku, dan kepedulian mahasiswa UGM kepada lingkungan, kampus, dan bangsanya??”
Perlu jujur dan obyektif menjawab beberapa pertanyaan di atas. Memang berat dan sama-sama memiliki alasan logis, tetapi ketika dihadapkan dengan perasaan, feelings, dan intuisi, bisa dipastikan bahwa permasalahan utama yang terdengar dari nurani adalah permasalahan mental, sikap, dan mindset hal yang kadang terlupakan di tengah gegap gempita ide-ide besar mencuat dalam imajiinasi-imajinasi sang intelektual. Kita semua berperan dalam perubahan ini. Akankah kita diam saja melihat kondisi dan realita yang terjadi seraya hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri saja, lalu kondisi diri kita menular pada saudara kita, teman-teman kuta, masyarakat kita, dan akhirnya negeri ini tak bergerak selangkah pun dari tempat semula, karena bangsanya apatis terhadap masalah yang terjadi. Mari bersama, kita pastikan diri kita, akan berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan negeri ini.
Kamis, 26 Maret 2009
Pragmatisme Politik ‘09
Zaman orde baru yang penuh dengan penindasan dan pelanggaran HAM telah dilalui oleh negeri besar ini. Masa tersebut menjadi kenangan tersendiri bagi bangsa ini, ketika kediktatoran menjadi hal yang biasa dan lazim diterapkan. Sistem politik saat itu pun sangat diwarnai oleh warna-warna otoriter yang kental. bisa dilihat saat itu sistem politik hanya mengizinkan 3 partai yang mengikuti pemilu: Golkar, PPP, dan PDI. Nuansa otoriter makin terasa selama beberapa tahun terakhir dimana partai Golkar terus menerus menjadi pemenang dalam setiap pemilihan umum kala itu. Tidak hanya di bidang ekonomi ternyata kosa kata monopoli digunakan, dalam bidang politik pun monopoli dapat diimplementasikan jika melihat kasus politik orde baru tersebut.
Sejarah pun bergulir ketika melewati akhir decade 90an, tepatnya ’98. Reformasi menyeruak ke permukaan dan menjadi isu sentral dan berhasil merubah keadaan bangsa ini sepenuhnya. Demokrasi menjadi bahasan dan sistem politik secara drastis berubah sesuai dengan keinginan mahasiswa dan pegiat-pegiat reformasi kala itu, tidak terkecuali dengan sistem kepartaian yang ada. Alhasil partai-partai membengkak sampai jumlah 24 partai di pemilu pertama tahun 2004.
Sampai saat ini jumlah partai tersebut meningkat tajam, yaitu berjumlah 44 partai. Jumlah yang luar biasa memang mengingat negeri sebesar amerika notabene hanya memiliki 2 partai: democrat dan republik. Entah apa yang melatarbelakangi founding fathers partai-partai tersebut begitu bernafsu menceburkan diri mereka dalam politik dengan membuat partai. Seringkali keadaan ini membuat geli, malu atau bahkan gerah, marah, kesal para warga bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, seorang anak SD pun tahu bagaimana bobroknya kompetensi mereka ketika mereka (para kader partai) berada di sebuah acara televisi dan menjawab berbagai harapan, pertanyaan dan kegelisahan rakyat, sangat tidak berisi dan terkesan sangat tidak layak. Lalu mengenai publikasi partai, tidak perlu mengundang ahli marketing untuk mengatakan poster-poster yang mereka buat sangat tidak masuk akal, sebagai contoh: tokoh anak-anak disandingkan dengan mereka (para caleg) di atas baliho besar di pinggir jalan dan menjadikan semua orang bisa melihatnya, sungguh mengkhawatirkan. Belum lagi masalah banyak partai yang mencalonkan artis untuk menjadi caleg mereka yang akhirnya akan duduk di DPR sebagai wakil rakyat. Permasalahan yang dimunculkan di sini bukan karena mereka artis, tetapi masalah pengkaderan partai yang cenderung karbit, instan, tanpa memperhitungkan kompetensi mereka yang belum pernah mencicipi kehidupan berpolitik. Persoalan pragmatis masalah pemenangan suara menumbalkan kualitas yang seharusnya menjadi prioritas pertama. Parahnya, tindakan seperti ini dilakukan oleh hampir semua partai yang ada.
Sistem perpolitikan negeri ini masih harus dirombak bahkan secara radikal kalau perlu. Negeri ini sudah lama dan sangat lelah menunggu keadaan menuju kea rah yang lebih baik. Pertanyaan besar tersimpan dalam misteri sejarah bangsa ini, yaitu apakah demokrasi, yang telah menggeser rezim orde baru, benar-benar merupakan jawaban terbaik bagi terciptanya negeri yang sesuai dengan cita-cita para founding fathers bangsa ini. Apakah memang demokrasi sejak 1998 memang merupakan sistem yang cocok diimplementasikan dalam sebuah negeri bernama Indonesia ini. Atau jangan-jangan para pelaksana sistem yang bernama demokrasi ini yang masih tidak mengerti sepeti apa wajah demokrasi seharusnya.
Semua pertanyaan atas kegelisahan terhadap fakta-fakta di lapangan tentang pragmatism politik, inkompetensi yang ada dari caleg-caleg terusung, martabat yang terlelangkan, dan sebagainya tersebut tidak akan terjawab oleh para orang-orang tua dan veteran-veteran perang dahulu. Demokrasi sebagai produk politik hasil dari reformasi harus dianalisis dan dievaluasi oleh sosok yang penuh semangat, patriotic, dan memiliki idealisme tinggi, yaitu pemuda. Pemudalah asset yang dimiliki bangsa ini untuk meraih kejayaan sejati, kejayaan yang benar-benar diimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemudalah yang seharusnya mengerti bahwa masalah yang dihadapi oleh bangsa ini terlalu banyak dan runyam sehingga mereka harus berpikir keras dan belajar sekeras mungkin untuk membangun bangsa ini. Pemudalah satu-satunya harapan tercapainya cita-cita luhur para pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang telah mati di medan perang mengorbankan seluruh jiwa dan raganya. Pemudalah harapan negeri ini, harapan bangsa ini, harapan rakyat ini.
Selasa, 24 Maret 2009
Konkret
Lamunan akan kehidupan yang lebih baik bagi negeri ini masih bergelayut dalam pikiran setiap generasinya. Kisah kehebatan para founding fathers bangsa, yang sempat menjadikan bangsa ini terkenal di dunia, sampai sekarang masih menjadi kenangan manis yang belum menemukan sosok modernnya. Bangsa ini belum bisa memunculkan sosok seperti Hatta, yang berusaha mengaitkan antara ilmu Ekonomi yang dipelajarinya dengan keprihatinan masyarakat dan bangsanya yang miskin dan terjajah, yang berjerih lelah membagikan waktu dan tenaganya untuk kuliah dan organisasi di Perhimpunan Indonesia yang baginya merupakan sumber pengetahuan, yang menyelesaikan masa studinya di Rotterdam dan menjadikannya pejuang tangguh, lalu kemudian menghantarkan Bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Bangsa ini belum mampu pula melahirkan kembali tokoh sekaliber W.R Soepratman, yang dengan bakat musiknya mampu menciptakan lagu-lagu perjuangan yang memberi andil besar bagi persatuan dan semangat juang bangsa Indonesia, yang bahkan kemudian usaha itu harus dibayar dengan mengorbankan kepentingan pribadi dan kesehatannya. Bangsa ini belum mampu mencetak penerus sosok Syutan Syahrir, yang dengan kematangan pribadinya mampu memberikan teladan bahwa dalam sepak terjangnya beliau selalu memperhitungkan untung-ruginya bagi kemanusiaan dengan teliti sebelum menjatuhkan keputusan dan pilihan politiknya, sehingga ketegaran sikapnya itu telah mampu memberikan andil besar kepada republik Indonesia, negara yang dicintainya.[1] Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh luar biasa pendiri bangsa ini yang sampai sekarang belum memiliki penerus jiwa dan semangat mereka.
Entah apa yang sebenarnya salah ada pada diri bangsa ini, sehingga sampai saat ini generasi-generasi penerus sekaliber tokoh-tokoh Indonesia tersebut hilang lenyap, sehingga begitu banyak masalah mencuat tanpa henti ke permukaan-permukaan media massa, menjadi bukti bahwa bangsa ini memang masih sakit, bahkan hampir sekarat. Jati diri yang seharusnya dimiliki oleh bangsa sebesar Indonesia seolah tergerus arus peradaban demokrasi dan globalisasi. Pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi yang terimplementasi dalam angka-angka hanya menjadi pajangan omong-kosong ketika melihat fakta riilnya, masih banyak rakyat kekurangan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan paling mendasar manusia dan penggusuran di banyak wilayah pun seakan menjadi sarapan biasa bagi penikmat berita negeri ini. Belum lagi masalah-masalah sosial, birokrasi, ketata-negaraan, ekonomi, pendidikan dan lainnya yang jika dijabarkan satu-persatu mungkin membuat kepala pening dan harapan-harapan akan terciptanya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat menjadi musnah.
Kenyataan pahit tersebut tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa terdapat perbedaan sosok tokoh-tokoh nasional tersebut jika dibandingkan dengan para generasi saat ini, padahal mungkin kepandaian generasi-generasi saat ini menyamai atau bahkan melebihi tokoh-tokoh terdahulu. Aneh bin ajaib jika memandang bahwa ternyata banyak sekali fakta-fakta yang sangat tidak bisa diterima dengan akal sehat dan membuat kening manusia normal berkerut: universitas-universitas berjamuran tetapi tak diimbangi dengan pertumbuhan peradaban negeri menjadi lebih baik, professor-professor terlahir berkejaran tetapi tidak ada produk konkret yang bisa menjadikan kehidupan masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik, kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah matang direncanakan ternyata gagal dalam implementasi, dan ternyata hukum tersebut berlaku juga pada tataran agak ke bawah seperti mahasiswa, siswa atau bahkan yang lebih dibawahnya lagi yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa ini.
Terjadi kesenjangan yang cukup besar antara generasi saat ini dengan tokoh-tokoh negeri ini dahulu. Tokoh-tokoh negeri ini dahulu berada pada kondisi dimana mereka harus berbuat sekecil apapun untuk bangsanya. Keadaan saat itu kritis dan memaksa mereka untuk memfokuskan perhatian dan tenaga mereka pada implementasi atau produk konkret. Penimbaan ilmu yang mereka lakukan sehingga menjadikan mereka garda-garda intelektual dengan segudang ilmu dimaksudkan dengan jelas untuk membuat bangsa ini lebih baik. Hal tersebut berbeda dengan saat ini, keadaan seperti saat ini sangat bebas, seolah damai padahal serabutan, seolah lepas dan merdeka padahal masih terjajah, sehingga generasi-generasi penerus saat ini tidak memiliki visi dan maksud yang jelas dalam menjawab pertanyaan, “untuk apa saya menimba ilmu sebanyak-banyaknya?”. Pertanyaan tersebut tidak mampu dijawab secara pasti oleh mayoritas generasi-generasi terdidik negeri ini. Kalau pun ada, bisa dipastikan bahwa jawabannya tidak akan jauh dari materialistis, individualistis, arogan, duniawi, dan semacamnya. Hampir pasti jawaban mayoritas dari pertanyaan tersebut adalah “mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga bisa hidup damai”, “kaya”, “punya suami atau istri yang cantik dengan keluarga yang baik”, dan sebagainya. Sangat jarang terdengar jawaban yang tegas dan mantap seperti, “untuk membangun masyarakat dan bangsa ini meraih kejayaan dan keadaan yang lebih baik!”. Jarang….. jarang sekali….. hampir mustahil…….
Mind set bangsa ini sekarang benar-benar berbeda dengan mindset yang dimiliki oleh para founding fathers negeri ini dahulu. Pendidikan tak ubahnya seperti pencetak robot-robot ahli dalam bidangnya masing-masing, dengan melupakan hakikat dari ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu ilmu pengetahuan ada untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Hakikat tersebut seharusnya tertanam pada mind set pembelajar-pembelajar negeri ini, bahwa mereka belajar untuk menjadikan negeri ini lebih baik dan bermartabat, sehingga di mana pun mereka berada mereka akan berusaha untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki untuk kebaikan negeri ini. Pembenahan fungsi dan peranan semua elemen pendidikan dari keluarga sampai ke lembaga formal tingkat tinggi dalam menanamkan mind set sepenuhnya menjadi sarana pembentukan generasi-generasi penerus bangsa yang konkret dan berguna bagi nusa dan bangsa. Berantas penyakit-penyakit yang ada pada sistem pendidikan negeri ini, perbaiki sebagian atau bahkan seluruhnya dengan menyuntikkan nilai-nilai luhur di dalamnya. Dengan langkah demikian akan tercetak generasi-generasi baru, yang memiliki semangat, mind set, keahlian, kemampuan mengimplementasikan ilmu yang sama atau bahkan melebihi apa yang dimiliki oleh para founding fathers negeri ini.
[1] Seluruh biografi tokoh-tokoh nasional tersebut diambil dari buku “Jejak-Jejak Pahlawan” oleh J.B. Soedarmanta
Langganan:
Postingan (Atom)