Selasa, 24 Maret 2009

Konkret

Lamunan akan kehidupan yang lebih baik bagi negeri ini masih bergelayut dalam pikiran setiap generasinya. Kisah kehebatan para founding fathers bangsa, yang sempat menjadikan bangsa ini terkenal di dunia, sampai sekarang masih menjadi kenangan manis yang belum menemukan sosok modernnya. Bangsa ini belum bisa memunculkan sosok seperti Hatta, yang berusaha mengaitkan antara ilmu Ekonomi yang dipelajarinya dengan keprihatinan masyarakat dan bangsanya yang miskin dan terjajah, yang berjerih lelah membagikan waktu dan tenaganya untuk kuliah dan organisasi di Perhimpunan Indonesia yang baginya merupakan sumber pengetahuan, yang menyelesaikan masa studinya di Rotterdam dan menjadikannya pejuang tangguh, lalu kemudian menghantarkan Bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Bangsa ini belum mampu pula melahirkan kembali tokoh sekaliber W.R Soepratman, yang dengan bakat musiknya mampu menciptakan lagu-lagu perjuangan yang memberi andil besar bagi persatuan dan semangat juang bangsa Indonesia, yang bahkan kemudian usaha itu harus dibayar dengan mengorbankan kepentingan pribadi dan kesehatannya. Bangsa ini belum mampu mencetak penerus sosok Syutan Syahrir, yang dengan kematangan pribadinya mampu memberikan teladan bahwa dalam sepak terjangnya beliau selalu memperhitungkan untung-ruginya bagi kemanusiaan dengan teliti sebelum menjatuhkan keputusan dan pilihan politiknya, sehingga ketegaran sikapnya itu telah mampu memberikan andil besar kepada republik Indonesia, negara yang dicintainya.[1] Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh luar biasa pendiri bangsa ini yang sampai sekarang belum memiliki penerus jiwa dan semangat mereka.

Entah apa yang sebenarnya salah ada pada diri bangsa ini, sehingga sampai saat ini generasi-generasi penerus sekaliber tokoh-tokoh Indonesia tersebut hilang lenyap, sehingga begitu banyak masalah mencuat tanpa henti ke permukaan-permukaan media massa, menjadi bukti bahwa bangsa ini memang masih sakit, bahkan hampir sekarat. Jati diri yang seharusnya dimiliki oleh bangsa sebesar Indonesia seolah tergerus arus peradaban demokrasi dan globalisasi. Pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi yang terimplementasi dalam angka-angka hanya menjadi pajangan omong-kosong ketika melihat fakta riilnya, masih banyak rakyat kekurangan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan paling mendasar manusia dan penggusuran di banyak wilayah pun seakan menjadi sarapan biasa bagi penikmat berita negeri ini. Belum lagi masalah-masalah sosial, birokrasi, ketata-negaraan, ekonomi, pendidikan dan lainnya yang jika dijabarkan satu-persatu mungkin membuat kepala pening dan harapan-harapan akan terciptanya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat menjadi musnah.

Kenyataan pahit tersebut tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa terdapat perbedaan sosok tokoh-tokoh nasional tersebut jika dibandingkan dengan para generasi saat ini, padahal mungkin kepandaian generasi-generasi saat ini menyamai atau bahkan melebihi tokoh-tokoh terdahulu. Aneh bin ajaib jika memandang bahwa ternyata banyak sekali fakta-fakta yang sangat tidak bisa diterima dengan akal sehat dan membuat kening manusia normal berkerut: universitas-universitas berjamuran tetapi tak diimbangi dengan pertumbuhan peradaban negeri menjadi lebih baik, professor-professor terlahir berkejaran tetapi tidak ada produk konkret yang bisa menjadikan kehidupan masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik, kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah matang direncanakan ternyata gagal dalam implementasi, dan ternyata hukum tersebut berlaku juga pada tataran agak ke bawah seperti mahasiswa, siswa atau bahkan yang lebih dibawahnya lagi yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa ini.

Terjadi kesenjangan yang cukup besar antara generasi saat ini dengan tokoh-tokoh negeri ini dahulu. Tokoh-tokoh negeri ini dahulu berada pada kondisi dimana mereka harus berbuat sekecil apapun untuk bangsanya. Keadaan saat itu kritis dan memaksa mereka untuk memfokuskan perhatian dan tenaga mereka pada implementasi atau produk konkret. Penimbaan ilmu yang mereka lakukan sehingga menjadikan mereka garda-garda intelektual dengan segudang ilmu dimaksudkan dengan jelas untuk membuat bangsa ini lebih baik. Hal tersebut berbeda dengan saat ini, keadaan seperti saat ini sangat bebas, seolah damai padahal serabutan, seolah lepas dan merdeka padahal masih terjajah, sehingga generasi-generasi penerus saat ini tidak memiliki visi dan maksud yang jelas dalam menjawab pertanyaan, “untuk apa saya menimba ilmu sebanyak-banyaknya?”. Pertanyaan tersebut tidak mampu dijawab secara pasti oleh mayoritas generasi-generasi terdidik negeri ini. Kalau pun ada, bisa dipastikan bahwa jawabannya tidak akan jauh dari materialistis, individualistis, arogan, duniawi, dan semacamnya. Hampir pasti jawaban mayoritas dari pertanyaan tersebut adalah “mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga bisa hidup damai”, “kaya”, “punya suami atau istri yang cantik dengan keluarga yang baik”, dan sebagainya. Sangat jarang terdengar jawaban yang tegas dan mantap seperti, “untuk membangun masyarakat dan bangsa ini meraih kejayaan dan keadaan yang lebih baik!”. Jarang….. jarang sekali….. hampir mustahil…….

Mind set bangsa ini sekarang benar-benar berbeda dengan mindset yang dimiliki oleh para founding fathers negeri ini dahulu. Pendidikan tak ubahnya seperti pencetak robot-robot ahli dalam bidangnya masing-masing, dengan melupakan hakikat dari ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu ilmu pengetahuan ada untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Hakikat tersebut seharusnya tertanam pada mind set pembelajar-pembelajar negeri ini, bahwa mereka belajar untuk menjadikan negeri ini lebih baik dan bermartabat, sehingga di mana pun mereka berada mereka akan berusaha untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki untuk kebaikan negeri ini. Pembenahan fungsi dan peranan semua elemen pendidikan dari keluarga sampai ke lembaga formal tingkat tinggi dalam menanamkan mind set sepenuhnya menjadi sarana pembentukan generasi-generasi penerus bangsa yang konkret dan berguna bagi nusa dan bangsa. Berantas penyakit-penyakit yang ada pada sistem pendidikan negeri ini, perbaiki sebagian atau bahkan seluruhnya dengan menyuntikkan nilai-nilai luhur di dalamnya. Dengan langkah demikian akan tercetak generasi-generasi baru, yang memiliki semangat, mind set, keahlian, kemampuan mengimplementasikan ilmu yang sama atau bahkan melebihi apa yang dimiliki oleh para founding fathers negeri ini.









[1] Seluruh biografi tokoh-tokoh nasional tersebut diambil dari buku “Jejak-Jejak Pahlawan” oleh J.B. Soedarmanta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar