Kamis, 14 Mei 2009

Paradigma Nyata Intelektual-Intelektual Tepilih

Suatu hari, tepatnya 14 Juni 1928, lahirlah seorang bayi di Bolivia Utara. Bayi dengan berat normal tersebut terlahir dengan sehat dan seperti normalnya bayi-bayi lainnya terlahir. Tahun 1930, bayi yang sudah menginjak umur 2 tahun tersebut pindah dari kota kelahirannya ke sebuah kota bernama Alta Gracia, tempat indah dengan pegunungan berbanjar di sekelilingnya. Di tempat inilah bayi yang sudah tumbuh menjadi anak-anak tersebut hidup dan mulai menunjukkan bakat kepemimpinannya. Masa-masa pertumbuhan anak ini diwarnai dengan keadaan yang sangat ekstrem. Argentina saat itu sedang berada pada krisis terburuk sepanjang sejarah, dengan perebutan kekuasaan politik oleh militer. Belum lagi ditambah, masa-masa selanjutnya adalah masa-masa di mana Mussolini, Adolf Hitler, dan Fransisco Franco hidup, yang berarti era dimana perang menjadi catatan pentingnya. Anak ini terus tumbuh dan memasuki sebuah perguruan tinggi beraliran prancis, kemudian mulai belajar segala sesuatunya dan menjadi anak yang unik di universitas tersebut. Beberapa moment kemudian dia pindah ke buenos aires dan menjalani kehidupannya seperti biasa di tempat tersebut. Namun kehidupannya mulai mendekati turning point di moment ini, dia bekerja sebagai awak kapal dan berkesempatan untuk menurunkan minyak ke beberapa penjuru negara sekaligus melihat realita yang sebenarnya terjadi dalam negara itu. Tidak puas dengan itu, dia kemudian memasang mesin sederhana pada sepedanya, dan meneruskan perjalanannya ke berbagai tempat di negara tersebut dan melihat kesenjangan yang cukup tajam antara si kaya dan si miskin. Lebih dari itu, pada tanggal 29 Desember 1951 dia bersama sahabat kecilnya memutuskan untuk berpetualang ke seluruh penjuru amerika latin dengan sepeda motor milik sahabatnya tersebut. Pada moment inilah dia bisa melihat realita yang sesungguhnya, lalu menjadi titik awal kebangkitan dirinya menjadi seorang tokoh berpengaruh sampai saat ini. Dia dikenal dengan nama Che Guevarra.

Di tempat lain dan waktu yang lain, ada lagi kisah seorang dosen yang awalnya hanya seorang miskin. Dosen jurusan tata kota yang pada saat mahasiswanya ikut berperan dalam demonstrasi-demonstrasi dan aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan tersebut dulu hanyalah seorang anak yang terlahir di sudut sempit gang kota teheran, miskin, dan tidak memiliki apa-apa. Namun beberapa dekade kehidupannya memberikan arti tersendiri bagi dirinya. Teheran, kota megapolitan seluas London yang rakyatnya dua kali lebih banyak dari Jakarta, yang kaya akan korupsi di hampir seluruh bagian struktur birokratnya, yang penataan kotanya sangat amburadul dan berantakan, yang kesenjangan sosialnya sangat jomplang bahkan hampir-hampir tak bisa dipercayai ini menyisakan bentukan tersendiri bagi pribadinya, tegas, berani, dan heroik. Alhasil, orang ini berhasil menjadi presiden Iran dengan kemenangan yang sangat dramatis, dana dan popularitas yang paling sedikit ternyata menang melawan politikus-politikus dengan dana segunung dan popularitas yang tak bisa dielakkan. Masih segar di ingatan kita tentang bagaimana sosoknya menjadi orang pertama yang mengecam keras Israel ketika melakukan genosida di Gaza silam. Tak cukup hanya itu, track recordnya pun menunjukkan kepribadiannya yang sangat tegas terhadap segala pelanggaran yang merugikan rakyat. Seperti reality show, kehidupan kepresidenannya dilalui dengan kesederhanaan dan keheroikan, tak malu untuk menyapu sendiri jalanan kota yang kotor, menghilangkan sumbat yang menyumbat selokan, atau menyapa peminta-minta yang ditemuinya di jalan. Tak seorang pun yang tak tahu, nama Ahmadinejad.

Dua cerita di atas mungkin belum cukup mewakili sosok seluruh hero yang terlahir di dunia ini. Tetapi setidaknya dua sampel di atas tak berbeda jauh dengan para revolusi yang telah merubah keadaan daerah atau minimal tempat mereka tinggal. Kesamaan diantara mereka adalah, mereka sama-sama memiliki sebuah turning point dalam kehidupannya, sebuah lekukan kecil dari grafik kehidupannya, yang kemudian berhasil mengubah total arah kehidupannya menjadi seorang yang luar biasa. Paradigma mereka mulia, menjadikan orang lain yang mereka rasa tertindas menjadi mampu mendapatkan keadilan.

Ada sebuah catatan penting yang terpikirkan ketika sekilas membayangkan kedua kisah dari sosok luar biasa tersebut, yaitu refleksi. Dada yang berdebar-debar ketika membaca sebuah penggalan kisah kehidupan mereka seolah harus redup sedih ketika menyadari bahwa ternyata mereka hanyalah sejarah, yang reinkarnasinya tak mampu ditemukan dalam sosok-sosok para generasi saat ini. Ini bukan asumsi, tetapi kenyataan yang harus diterima secara lapang dada. Faktanya bisa dilihat dari bagaimana pendidikan yang diterapkan dalam kurikulum universitas di indonesia. Kesuksesan dari Universitas diukur dari seberapa cepat para lulusan-lulusan universitas tersebut mendapatkan pekerjaan, atau seberapa banyak alumni universitas yang akhirnya menjadi pimpinan-pimpinan di tempat mereka tinggal, atau lebih parah lagi kesuksesan universitas diukur dari seberapa banyak lulusan yang berhasil mendapatkan Ipk di atas 3,00. Universitas tidak pernah menilai kesuksesannya berdasarkan seberapa berhasil kah universitas mampu menanamkan nilai-nilai Universitas kepada mahasiswanya. Semuanya harus dikuantifikasi dan bisa dihitung.

Memang hal ini bukanlah sesuatu yang patut untuk disalahkan karena sistem yang dterapkan di Universitas memang menuntut untuk menilai kesuksesan berdasarkan hasil kuntifikasi, di samping kesulitan yang akan dihadapi jika penilaian kesuksesan dilakukan berdasarkan hasil kualitatif yang abstrak. Akan tetapi bukan berarti, nilai-nilai yang telah dicanangkan oleh Universitas tersebut menjadi kabur dan tanpa makna dalam proses belajar mengajar yang diterapkan universitas. Kedua sosok luar biasa dalam paragraf pertama diakui kemampuannya bukan karena semata-mata kompetensi, tetapi juga nilai-nilai dan visi misi yang dianutnya dan diyakininya secara kuat. Seorang Ahmadinejad dan Che Guevarra diakui tidak hanya karena kemampuan mereka memimpin, tetapi lebih dari itu, setiap orang kagum bahkan meneteskan air mata karena visi misi dan nilai-nilai yang diyakininya dianutnya dengan sangat kuat dan bahkan terimplementasi secara berani dalam kehidupan nyata walaupun hal itu melanggar kebiasaan dan budaya bersama.

Pernahkah hal itu kita temui dalam kehidupan kita di kelas? Pernahkah kita melihat sosok-sosok bakal calon dari che atau pun ahmadinejad di dalam waktu-waktu perkuliahan? Jika boleh menjawab jujur, kita tak akan bisa melihat sosok-sosok seperti mereka berdua di dalam kelas ber-AC dengan viewer di depan panggung serta ruangan nyaman. Sosok-sosok tersebut hanya akan kita temui di dalam ruang-ruang diskusi, di dalam ruang-ruang organisasi mahasiswa idealis, atau mungkin di tengah-tengah masyarakat tertindas yang mulutnya terbungkam oleh gedung-gedung tinggi menjulang. Sedih rasanya melihat kelas yang seharusnya menjadi sarana pencetak para bakal-bakal calon pemimpin negeri ternyata hanya merupakan sarana pencetak bakal calon robot pekerja. Sayang rasanya ketika mengetahui bahwa kelas-kelas yang dahulu merupakan ruangan dengan impian-impian, idealisme-ideaslisme, dan harapan-harapan terbang ke sana ke mari tanpa ada yang menangkap dan memenjarakannya ternyata sekarang menjadi ruangan tanpa rasa, hambar, dan tak beridealisme. Yang dibicarakan hanya seputar angka, angka, dan angka, tanpa memperhatikan tujuan kontribusi yang bisa diberikan dari kemampuan kita mengetahui angka tersebut.

Proses perubahan fungsi dan core sejati dari proses pembelajaran universitas mungkin masih membumbung tinggi nun jauh di sana. Dan bisa dikatakan perjalanan panjang dengan kerikil and duri di jalannya, yang ujungnya pun hampir tak terlihat dari posisi kita sekarang sehingga akan cukup membuat harapan dan impian kita sirna. Namun yang patut diyakini adalah, seorang ahmadinejad dan che guevarra lebih memilih resiko untuk mati dengan mengimplementasikan impiannya, daripada menyerah pada keadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar