Kamis, 26 Maret 2009

Pragmatisme Politik ‘09

Zaman orde baru yang penuh dengan penindasan dan pelanggaran HAM telah dilalui oleh negeri besar ini. Masa tersebut menjadi kenangan tersendiri bagi bangsa ini, ketika kediktatoran menjadi hal yang biasa dan lazim diterapkan. Sistem politik saat itu pun sangat diwarnai oleh warna-warna otoriter yang kental. bisa dilihat saat itu sistem politik hanya mengizinkan 3 partai yang mengikuti pemilu: Golkar, PPP, dan PDI. Nuansa otoriter makin terasa selama beberapa tahun terakhir dimana partai Golkar terus menerus menjadi pemenang dalam setiap pemilihan umum kala itu. Tidak hanya di bidang ekonomi ternyata kosa kata monopoli digunakan, dalam bidang politik pun monopoli dapat diimplementasikan jika melihat kasus politik orde baru tersebut.

Sejarah pun bergulir ketika melewati akhir decade 90an, tepatnya ’98. Reformasi menyeruak ke permukaan dan menjadi isu sentral dan berhasil merubah keadaan bangsa ini sepenuhnya. Demokrasi menjadi bahasan dan sistem politik secara drastis berubah sesuai dengan keinginan mahasiswa dan pegiat-pegiat reformasi kala itu, tidak terkecuali dengan sistem kepartaian yang ada. Alhasil partai-partai membengkak sampai jumlah 24 partai di pemilu pertama tahun 2004.

Sampai saat ini jumlah partai tersebut meningkat tajam, yaitu berjumlah 44 partai. Jumlah yang luar biasa memang mengingat negeri sebesar amerika notabene hanya memiliki 2 partai: democrat dan republik. Entah apa yang melatarbelakangi founding fathers partai-partai tersebut begitu bernafsu menceburkan diri mereka dalam politik dengan membuat partai. Seringkali keadaan ini membuat geli, malu atau bahkan gerah, marah, kesal para warga bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, seorang anak SD pun tahu bagaimana bobroknya kompetensi mereka ketika mereka (para kader partai) berada di sebuah acara televisi dan menjawab berbagai harapan, pertanyaan dan kegelisahan rakyat, sangat tidak berisi dan terkesan sangat tidak layak. Lalu mengenai publikasi partai, tidak perlu mengundang ahli marketing untuk mengatakan poster-poster yang mereka buat sangat tidak masuk akal, sebagai contoh: tokoh anak-anak disandingkan dengan mereka (para caleg) di atas baliho besar di pinggir jalan dan menjadikan semua orang bisa melihatnya, sungguh mengkhawatirkan. Belum lagi masalah banyak partai yang mencalonkan artis untuk menjadi caleg mereka yang akhirnya akan duduk di DPR sebagai wakil rakyat. Permasalahan yang dimunculkan di sini bukan karena mereka artis, tetapi masalah pengkaderan partai yang cenderung karbit, instan, tanpa memperhitungkan kompetensi mereka yang belum pernah mencicipi kehidupan berpolitik. Persoalan pragmatis masalah pemenangan suara menumbalkan kualitas yang seharusnya menjadi prioritas pertama. Parahnya, tindakan seperti ini dilakukan oleh hampir semua partai yang ada.

Sistem perpolitikan negeri ini masih harus dirombak bahkan secara radikal kalau perlu. Negeri ini sudah lama dan sangat lelah menunggu keadaan menuju kea rah yang lebih baik. Pertanyaan besar tersimpan dalam misteri sejarah bangsa ini, yaitu apakah demokrasi, yang telah menggeser rezim orde baru, benar-benar merupakan jawaban terbaik bagi terciptanya negeri yang sesuai dengan cita-cita para founding fathers bangsa ini. Apakah memang demokrasi sejak 1998 memang merupakan sistem yang cocok diimplementasikan dalam sebuah negeri bernama Indonesia ini. Atau jangan-jangan para pelaksana sistem yang bernama demokrasi ini yang masih tidak mengerti sepeti apa wajah demokrasi seharusnya.

Semua pertanyaan atas kegelisahan terhadap fakta-fakta di lapangan tentang pragmatism politik, inkompetensi yang ada dari caleg-caleg terusung, martabat yang terlelangkan, dan sebagainya tersebut tidak akan terjawab oleh para orang-orang tua dan veteran-veteran perang dahulu. Demokrasi sebagai produk politik hasil dari reformasi harus dianalisis dan dievaluasi oleh sosok yang penuh semangat, patriotic, dan memiliki idealisme tinggi, yaitu pemuda. Pemudalah asset yang dimiliki bangsa ini untuk meraih kejayaan sejati, kejayaan yang benar-benar diimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemudalah yang seharusnya mengerti bahwa masalah yang dihadapi oleh bangsa ini terlalu banyak dan runyam sehingga mereka harus berpikir keras dan belajar sekeras mungkin untuk membangun bangsa ini. Pemudalah satu-satunya harapan tercapainya cita-cita luhur para pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang telah mati di medan perang mengorbankan seluruh jiwa dan raganya. Pemudalah harapan negeri ini, harapan bangsa ini, harapan rakyat ini.

1 komentar: