This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 28 Maret 2010

Izzah Keimanan

Sikap pantang menyerah dari seorang Muslim merupakan izzah bagi dirinya. Seperti tegaknya karang walau digempur ombak besar. Karang itu tetap tegar berdiri, walaupun larutan ombak kian hari makin mengikisnya.

Teringat sebuah kisah tentang Sayyid Qutbh. Seorang pejuang yang begitu sering merasakan pahit dan sakit kehidupan, karena siksaan penguasa tiran terhadap dirinya. Dia dipenjara karena dianggap menentang pemerintah Mesir saat itu. Padahal pemikirannya hanya ingin mengembalikan Islam pada esensi kebeningan dan komprehensifitasnya.

Dia disiksa dengan siksaan yang membabi-buta dari para tentara Mesir. Setiap malam, dia harus menerima tendangan, pukulan, injakan, bantingan, dan segala bentuk siksaan yang menyakitkan. Lalu beliau dikembalikan ke sel saat shubuh. Kejadian itu terus terjadi setiap malam hingga menyebabkan kedua kakinya patah dan tidak mampu lagi berdiri.

Sayyid Qutbh tak bergeming. Akhirnya karena pemerintah merasa tidak mampu menggoyah pemikirannya yang tegar, Sayyid Qutbh dijatuhi hukuman gantung. Di saat terakhir dirinya akan digantung, tiba-tiba seorang ulama mendatanginya dan bertanya, “Jika engkau berkenan untuk mengucapkan ‘LaaIllaa ha Illallah, dan berkenan mengakui kesalahanmu, pemerintah akan memaafkanmu dan kau akan dibebaskan.”

Menerima perkataan itu, serta merta Sayyid Qutbh menegakkan jari telunjuknya dan berkata, “Demi Allah, engkau wahai ulama, hidup dari ucapan Laa Illaa ha Illallah, sementara diriku hidup untuk ucapan Laa Illa ha Illallah. Tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangiku untuk sesaat lagi meninggalkan dunia fana ini dan bertemu Allah SWT.”

Dengan perkataan terakhir tersebut Sayyid Qutbh dijatuhi hukuman dan mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Begitu dahsyatnya hingga kisah tentang izzah luar biasa ini menjadi kisah penyambut dalam buku ‘Ma’alim fii Ath-Thariq’ yang fenomenal. Kehormatan dan ketegaran dari iman yang kokoh, bahkan jauh lebih kokoh dari tegapnya gunung.

Seharusnya kita malu. Keimanan segagah Sayyid Qutbh memberikan perspektif keimanan yang sebenarnya. Iman yang tidak hanya bergumul dalam hati dan lisan, namun juga langsung membekas pada ukiran realita sosial.

Sudahkah kita seperti itu? Mari berkaca dalam relung hati terdalam. Apakah keimanan kita benar-benar telah terpatri dalam bukti yang nyata, atau hanya menjadi bahasa yang berayun pasrah mengikuti arah angin?

Sepertinya saat ini, realita umat Islam tak ubahnya seperti pelangi. Indah kelihatannya, namun maya sebenarnya. Keindahan ajaran dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang berakhir tak jelas. Padahal di kanan-kirinya, ada wajah-wajah penuh harap, yang merindukan sentuhan nyata keindahan agama ini. Sekali-kali masalah ini bukan karena Islam sebagai ajaran, tetapi lebih kepada umat yang melepaskan Islam dari realita sosial.

Keimanan bukan hanya di hati, bukan hanya di lisan, tetapi langkah konkret dan tindakan nyata. Izzah keimanan kita dipertaruhkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari merenung.

Rabu, 17 Maret 2010

Kebenaran Toleransi atau Toleransi Kebenaran?

Toleransi memang dibutuhkan dalam kehidupan beragama. Apalagi jika konteksnya adalah Indonesia. Pengesampingan masalah toleransi akan berdampak pada bidang-bidang yang lebih luas. Sama seperti sebuah ekosistem yang saling terkait satu sama lain, dan mewajibkan adanya toleransi atas dasar saling membutuhkan.

Kebenaran yang diperoleh dari rasionalitas manusia adalah kebenaran yang semu. Artinya kebenaran ini tidak mutlak dan masih memiliki kemungkinan kesalahan. Kebenaran yang mutlak hanya kebenaran yang datang dari Pencipta Kebenaran, Yang Lebih Dahulu ada sebelum kebenaran itu sendiri ada, yaitu Allah SWT.

Toleransi kemudian diperlukan karena manusia memiliki keterbatasan dalam memahami kebenaran mutlak tersebut. Penafsiran manusia yang beragam menyebabkan perbedaan-perbedaan. Dan bahkan menjadi semakin jauh dan berseberangan  di suatu waktu tertentu. Kadangkala perbedaan ini bisa disikapi dengan sangat arif karena kapasitas masalah yang kecil. Namun tanpa toleransi yang cukup, perbedaan ini berpotensi menyebabkan gesekan hebat.

Gesekan-gesekan inilah yang akhirnya memperlancar proses disintegrasi Islam. Beberapa konflik di kelompok fasis sebagian besar disebabkan oleh sedikitnya ruang-ruang toleransi. Akibatnya, sesuai dengan kodrat manusia, ruang-ruang perbedaan memaksa untuk muncul di tengah kepungan seragam dan pemaksaan yang satu.

Akan tetapi, toleransi yang berlebihan juga mengandung masalah. Zaman yang sudah semakin maju dan kompleks membuat toleransi yang dahulu begitu mudah dilakukan saat ini menjadi cukup absurd. Seringkali kita dihadapkan pada situasi yang dilematis, bingung karena seolah kebenaran menjadi sangat subjektif dan tidak tegas. Batas-batas yang dahulu jelas saat ini memudar dan bahkan hilang sama sekali. Dan yang paling mengkhawatirkan, atas nama toleransi, suatu kesalahan dibenarkan hanya karena menjaga harmonisasi.

Keberpihakan dan sikap adalah pondasi yang seharusnya mengakar lebih dulu sebelum makna toleransi digulirkan. Alasannya karena tidak mungkin memahami perbedaan tanpa memahami diri sendiri. Ibarat sebatang rumput yang mudah meliuk tertiup angin pun memiliki batang dan akar yang tetap. Toleransi tanpa keberpihakan dan sikap yang jelas hanya akan membawa pada keterombang-ambingan dan menambah absurd permasalahan.

Yang perlu diperjelas di sini adalah mana bidang yang terbuka untuk perbedaan dan mana bidang yang pantang dilanggar. Dalam Islam sendiri, pintu ijtihad sangat terbuka lebar. Namun pintu ijtihad tersebut hanya boleh terbuka pada bidang mutaghayyirat (hal-hal non baku yang mungkin, bisa dan berpotensi untuk berubah-ubah). Bidang-bidang ini meliputi hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam Qur’an maupun Hadits. Sedangkan hal-hal yang telah diatur secara tegas, berkaitan dengan aspek yang fundamental, dan tidak boleh diubah disebut tsawabit.

Dengan adanya pembagian dan pemahaman pada kedua bidang ini, toleransi akan lebih jelas dan tidak salah ketika diaplikasikan. Toleransi hanya akan dilakukan pada bidang mutaghayyirat, bukan tsawabit. Dan dengan pembagian ini pula, impian tentang kesatuan umat menjadi lebih terang. Tiap-tiap jamaah mengerti posisinya masing-masing, memahami hal-hal yang harus sama-sama dilawan dan sekaligus memahami bagian-bagian dimana mereka bisa saling bertoleransi satu sama lain.

Seperti yang dijanjikan Allah, Islam akan menang dan menjadi pemimpin dunia. Hanya saja, impian itu mustahil teraih tanpa tercapainya kesatuan umat. Ibarat sebuah lidi yang tak punya daya dalam membersihkan sampah, namun memiliki manfaat ketika lidi-lidi tersebut disatukan. Sudah saatnya umat belajar dari awal perpecahan di zaman Ustman bin Affan, dan mulai mengintegrasikan diri layaknya persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar.

Senin, 08 Maret 2010

Refleksi Kata-Kata Palsu

Kata-kata palsu adalah kata-kata maya, yang hanya terucap lewat lisan manusia, lalu menguap begitu saja dalam ruang udara, tanpa manfaat, tanpa dampak. Kata-kata palsu adalah kata-kata yang sering terdengar, namun perubahan tak kunjung datang dari keberadaannya. Kata-kata palsu adalah kata-kata yang menjadi symbol kelemahan dari manusia terhadap realita sosial, karena perwujudannya hanya sampai pada wacana, dan tak mengalami metamorfosis. Kata-kata palsu hanya bergerak dalam pikiran dan imajinasi, tetapi tak mampu bertempur dalam keadaan yang sebenarnya.

Akan tetapi, ini semua bukan salah dari kata-kata, karena kata-kata hanyalah korban dari manusia yang tak bertanggung jawab, yang hanya mampu mengucapkan kata-kata tanpa berani mewujudkan dalam kehidupan nyata.


Satu langkah kongkret kita untuk memberikan semangat pada orang lain, walaupun kecil, jauh lebih berharga daripada berhari-hari waktu yang kita butuhkan untuk membaca tumpukan buku motivasi. Satu senyuman yang kita berikan langsung, seterpaksa apapun ekspresi muka yang diberikan, jauh lebih baik daripada teori-teori tentang kebahagiaan yang hanya berputar-putar dalam kepala kita. Tangan yang terulur secara nyata, jauh lebih baik daripada berlembar-lembar kertas bertuliskan ‘menolong adalah sebuah kebaikan’.

Kawan-kawan, dunia ini memang diciptakan secara nyata, apa adanya dengan perubahan yang tercipta dari benturan langsung tangan-tangan manusia dengan realita sosial, bukan dari lembar-lembar tulisan. Bukan berarti kita mesti mengesampingkan peran dari buku dan tulisan yang memang terbukti berperan besar dalam sejarah. Akan tetapi kita perlu objektif, bahwa saat ini, buku-buku tentang kebaikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan amal yang keluar dari hasil bacaan buku-buku tersebut. Lebih banyak orang yang hanya sekedar tahu daripada orang yang tahu dan mengamalkan pengetahuannya.

Negara ini mungkin bisa menjadi salah satu bukti. Berapa banyak dari pejabat pemerintah yang tahu hitam putih birokrasi dan berapa banyak dari pejabat itu yang mengamalkan ke-hitam dan putih-an tersebut dalam pekerjaannya? Kenapa begitu banyak yang mengetahui bahwa korupsi itu melanggar hukum, namun begitu banyak yang masih saja korupsi? Berapa banyak yang mengetahui bahwa mengacaukan sidang paripurna dengan teriakan-teriakan tidak terhormat adalah sebuah sikap memalukan, namun masih saja banyak yang berteriak? Berapa banyak mahasiswa yang mengetahui bahwa aksi-aksi anarkis adalah aksi yang sia-sia dan tidak mencerminkan intelektualitas dan moralitas mahasiswa, namun masih banyak juga yang melakukannya?

Dunia ini sepertinya memang makin terbelah dalam dua sisi yang berjauhan satu sama lain. Di satu sisi, kebaikan menjadi teori yang ideal, tidak terganggu gugat, terbang melayang menembus ketinggian, bebas, dan suci. Dan di sisi lainnya, keburukan menjadi rumput-rumput yang mengakar di bagian paling bawah daratan, menjadi semak belukar yang makin hari makin berkembang biak menutupi bagian-bagian kosong bumi, nyata, riil, dan begitu mudah ditemui bahkan jika kita berjalan dengan menutup mata.

Kawan, kita butuh perubahan. Pemuda memang sejatinya memikul beban perubahan yang tidak bisa dilakukan oleh generasi tua. Pemuda dengan cengkeramannya, dengan tatapannya, dengan pendengarannya, dengan pemikirannya, dengan tulisannya, dengan aksi-aksinya. Negara ini butuh perubahan dan agama ini butuh di-‘bumi’-kan. Sudah terlalu lelah telinga ini mendengar media-media menceritakan begitu bobroknya negeri dengan meyoritas muslim ini. Sudah cukup rasanya, agama ini di cap dengan cap teroris oleh sutradara yang entah siapa di belakangnya. Tidak ada yang bisa melakukannya, selain kita para pemuda. Maka bangkitlah dengan beramal kongkret dalam kehidupan kita sehari-hari, sekecil apapun itu.

Saudaraku, mungkin kita perlu mengingat kembali, berkontemplasi, bermuhasabah, dan merenungi kembali esensi kehidupan kita di bumi Allah ini. Mungkin ada baiknya kita kembali membuka buku-buku keIslaman dan mengingat bahwa seluruh diri kita, termasuk masa muda kita, akan menjadi pertanggungjawaban yang akan kita bawa di ‘hari itu’. Hari di mana mulut kita terkunci rapat, dan tinggal tangan dan kaki yang berbicara. Hari di mana penyesalan merupakan keniscayaan bagi setiap manusia, penyesalan karena dosa yang begitu banyak telah dilakukan, dan pahala yang begitu banyak terlewatkan.

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa” (Al-A’raf: 7)

Senin, 01 Maret 2010

Bertahan…

Kita pasti pernah mendengar sebuah kisah tentang seorang ibu, yang dengan susah payah berlari-lari kecil ke safa dan marwa, hanya untuk mencari setetes air untuk minum bayinya. Tidak ada yang meragukan tingkat keimanan ibu tersebut, pasti. Pernahkah ada seorang ibu di dunia ini yang begitu ikhlas rela ditinggalkan suaminya di tengah gurun pasir tandus tanpa air dan perbekalan dengan seorang bayi yang baru berumur beberapa bulan di pangkuannya, hanya karena Allah? Dan dengan sikap seteguh gunung tersebut, Allah menganugerahinya sebuah pancaran mata air sejuk yang setiap muslim di seantero dunia rindu untuk meminumnya.

Atau mungkin kita teringat tentang kisah seorang Ayyub, yang saat itu hampir memiliki segalanya. Namun Allah mengujinya dengan sebuah penyakit kulit, yang membuatnya jatuh hingga sejatuh-jatuhnya, bahkan keluarganya sampai menjauhinya. Apa yang dilakukannya? Tegar… dan bertahan dengan ujian tersebut. Begitu sabarnya hingga Allah sendiri yang memberikan keajaiban padanya, dengan nikmat yang berlipat ganda dibanding nikmatnya sebelumnya.

Membaca dan merenungi kisah-kisah inspiratif seperti itu memberikan makna yang dalam bagi kita, khususnya bagi kita yang jarang sekali bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Merah muka ini jika harus bertemu dengan seorang Hajar ataupun Ayyub, sangking tidak sanggupnya menahan malu atas ketidaksyukuran yang kita miliki.

Hidup memang seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah, selalu berputar mengikuti poros dan momentum waktunya. Seperti siang dan malam yang silih berganti mengikuti rotasi perputaran bumi. Seperti cerah dan mendung, yang menimbulkan pelangi indah di antaranya. Seperti air dan tanah, hitam dan putih, baik dan jahat, pria dan wanita, kanan dan kiri, kesetiaan dan pengkhianatan, kesamaan dan perlawanannya, yang menunjukkan bahwa selalu ada penyeimbang di dunia ini, yang membuat hidup ini begitu dinamis dan berarti.

Mungkin tidak banyak yang bisa terbagi dari tulisan ini, hanya sebuah refleksi dan curhat, dari seorang yang sedang galau hatinya. Berusaha untuk bertahan di tengah debu-debu beterbangan. Berusaha untuk tetap membuka mata di teriknya matahari siang. Berusaha untuk tetap tersenyum di tengah tekanan dan kehilangan. Berusaha untuk terus berlari di tengah kepenatan dan kelelahan. Berusaha untuk tenang dalam gaduhnya suara-suara dalam diri. Berusaha untuk menghayati dan memahami bahwa Allah memang memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya, walaupun seringkali itu merupakan sesuatu yang kita benci.

Yang kita bisa cuma bertahan, dan sabar… bertahan dan sabar… bertahan dan sabar….

“Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (Al-Mu’minun: 111)