Rabu, 17 Maret 2010

Kebenaran Toleransi atau Toleransi Kebenaran?

Toleransi memang dibutuhkan dalam kehidupan beragama. Apalagi jika konteksnya adalah Indonesia. Pengesampingan masalah toleransi akan berdampak pada bidang-bidang yang lebih luas. Sama seperti sebuah ekosistem yang saling terkait satu sama lain, dan mewajibkan adanya toleransi atas dasar saling membutuhkan.

Kebenaran yang diperoleh dari rasionalitas manusia adalah kebenaran yang semu. Artinya kebenaran ini tidak mutlak dan masih memiliki kemungkinan kesalahan. Kebenaran yang mutlak hanya kebenaran yang datang dari Pencipta Kebenaran, Yang Lebih Dahulu ada sebelum kebenaran itu sendiri ada, yaitu Allah SWT.

Toleransi kemudian diperlukan karena manusia memiliki keterbatasan dalam memahami kebenaran mutlak tersebut. Penafsiran manusia yang beragam menyebabkan perbedaan-perbedaan. Dan bahkan menjadi semakin jauh dan berseberangan  di suatu waktu tertentu. Kadangkala perbedaan ini bisa disikapi dengan sangat arif karena kapasitas masalah yang kecil. Namun tanpa toleransi yang cukup, perbedaan ini berpotensi menyebabkan gesekan hebat.

Gesekan-gesekan inilah yang akhirnya memperlancar proses disintegrasi Islam. Beberapa konflik di kelompok fasis sebagian besar disebabkan oleh sedikitnya ruang-ruang toleransi. Akibatnya, sesuai dengan kodrat manusia, ruang-ruang perbedaan memaksa untuk muncul di tengah kepungan seragam dan pemaksaan yang satu.

Akan tetapi, toleransi yang berlebihan juga mengandung masalah. Zaman yang sudah semakin maju dan kompleks membuat toleransi yang dahulu begitu mudah dilakukan saat ini menjadi cukup absurd. Seringkali kita dihadapkan pada situasi yang dilematis, bingung karena seolah kebenaran menjadi sangat subjektif dan tidak tegas. Batas-batas yang dahulu jelas saat ini memudar dan bahkan hilang sama sekali. Dan yang paling mengkhawatirkan, atas nama toleransi, suatu kesalahan dibenarkan hanya karena menjaga harmonisasi.

Keberpihakan dan sikap adalah pondasi yang seharusnya mengakar lebih dulu sebelum makna toleransi digulirkan. Alasannya karena tidak mungkin memahami perbedaan tanpa memahami diri sendiri. Ibarat sebatang rumput yang mudah meliuk tertiup angin pun memiliki batang dan akar yang tetap. Toleransi tanpa keberpihakan dan sikap yang jelas hanya akan membawa pada keterombang-ambingan dan menambah absurd permasalahan.

Yang perlu diperjelas di sini adalah mana bidang yang terbuka untuk perbedaan dan mana bidang yang pantang dilanggar. Dalam Islam sendiri, pintu ijtihad sangat terbuka lebar. Namun pintu ijtihad tersebut hanya boleh terbuka pada bidang mutaghayyirat (hal-hal non baku yang mungkin, bisa dan berpotensi untuk berubah-ubah). Bidang-bidang ini meliputi hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam Qur’an maupun Hadits. Sedangkan hal-hal yang telah diatur secara tegas, berkaitan dengan aspek yang fundamental, dan tidak boleh diubah disebut tsawabit.

Dengan adanya pembagian dan pemahaman pada kedua bidang ini, toleransi akan lebih jelas dan tidak salah ketika diaplikasikan. Toleransi hanya akan dilakukan pada bidang mutaghayyirat, bukan tsawabit. Dan dengan pembagian ini pula, impian tentang kesatuan umat menjadi lebih terang. Tiap-tiap jamaah mengerti posisinya masing-masing, memahami hal-hal yang harus sama-sama dilawan dan sekaligus memahami bagian-bagian dimana mereka bisa saling bertoleransi satu sama lain.

Seperti yang dijanjikan Allah, Islam akan menang dan menjadi pemimpin dunia. Hanya saja, impian itu mustahil teraih tanpa tercapainya kesatuan umat. Ibarat sebuah lidi yang tak punya daya dalam membersihkan sampah, namun memiliki manfaat ketika lidi-lidi tersebut disatukan. Sudah saatnya umat belajar dari awal perpecahan di zaman Ustman bin Affan, dan mulai mengintegrasikan diri layaknya persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar