Senin, 08 Maret 2010

Refleksi Kata-Kata Palsu

Kata-kata palsu adalah kata-kata maya, yang hanya terucap lewat lisan manusia, lalu menguap begitu saja dalam ruang udara, tanpa manfaat, tanpa dampak. Kata-kata palsu adalah kata-kata yang sering terdengar, namun perubahan tak kunjung datang dari keberadaannya. Kata-kata palsu adalah kata-kata yang menjadi symbol kelemahan dari manusia terhadap realita sosial, karena perwujudannya hanya sampai pada wacana, dan tak mengalami metamorfosis. Kata-kata palsu hanya bergerak dalam pikiran dan imajinasi, tetapi tak mampu bertempur dalam keadaan yang sebenarnya.

Akan tetapi, ini semua bukan salah dari kata-kata, karena kata-kata hanyalah korban dari manusia yang tak bertanggung jawab, yang hanya mampu mengucapkan kata-kata tanpa berani mewujudkan dalam kehidupan nyata.


Satu langkah kongkret kita untuk memberikan semangat pada orang lain, walaupun kecil, jauh lebih berharga daripada berhari-hari waktu yang kita butuhkan untuk membaca tumpukan buku motivasi. Satu senyuman yang kita berikan langsung, seterpaksa apapun ekspresi muka yang diberikan, jauh lebih baik daripada teori-teori tentang kebahagiaan yang hanya berputar-putar dalam kepala kita. Tangan yang terulur secara nyata, jauh lebih baik daripada berlembar-lembar kertas bertuliskan ‘menolong adalah sebuah kebaikan’.

Kawan-kawan, dunia ini memang diciptakan secara nyata, apa adanya dengan perubahan yang tercipta dari benturan langsung tangan-tangan manusia dengan realita sosial, bukan dari lembar-lembar tulisan. Bukan berarti kita mesti mengesampingkan peran dari buku dan tulisan yang memang terbukti berperan besar dalam sejarah. Akan tetapi kita perlu objektif, bahwa saat ini, buku-buku tentang kebaikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan amal yang keluar dari hasil bacaan buku-buku tersebut. Lebih banyak orang yang hanya sekedar tahu daripada orang yang tahu dan mengamalkan pengetahuannya.

Negara ini mungkin bisa menjadi salah satu bukti. Berapa banyak dari pejabat pemerintah yang tahu hitam putih birokrasi dan berapa banyak dari pejabat itu yang mengamalkan ke-hitam dan putih-an tersebut dalam pekerjaannya? Kenapa begitu banyak yang mengetahui bahwa korupsi itu melanggar hukum, namun begitu banyak yang masih saja korupsi? Berapa banyak yang mengetahui bahwa mengacaukan sidang paripurna dengan teriakan-teriakan tidak terhormat adalah sebuah sikap memalukan, namun masih saja banyak yang berteriak? Berapa banyak mahasiswa yang mengetahui bahwa aksi-aksi anarkis adalah aksi yang sia-sia dan tidak mencerminkan intelektualitas dan moralitas mahasiswa, namun masih banyak juga yang melakukannya?

Dunia ini sepertinya memang makin terbelah dalam dua sisi yang berjauhan satu sama lain. Di satu sisi, kebaikan menjadi teori yang ideal, tidak terganggu gugat, terbang melayang menembus ketinggian, bebas, dan suci. Dan di sisi lainnya, keburukan menjadi rumput-rumput yang mengakar di bagian paling bawah daratan, menjadi semak belukar yang makin hari makin berkembang biak menutupi bagian-bagian kosong bumi, nyata, riil, dan begitu mudah ditemui bahkan jika kita berjalan dengan menutup mata.

Kawan, kita butuh perubahan. Pemuda memang sejatinya memikul beban perubahan yang tidak bisa dilakukan oleh generasi tua. Pemuda dengan cengkeramannya, dengan tatapannya, dengan pendengarannya, dengan pemikirannya, dengan tulisannya, dengan aksi-aksinya. Negara ini butuh perubahan dan agama ini butuh di-‘bumi’-kan. Sudah terlalu lelah telinga ini mendengar media-media menceritakan begitu bobroknya negeri dengan meyoritas muslim ini. Sudah cukup rasanya, agama ini di cap dengan cap teroris oleh sutradara yang entah siapa di belakangnya. Tidak ada yang bisa melakukannya, selain kita para pemuda. Maka bangkitlah dengan beramal kongkret dalam kehidupan kita sehari-hari, sekecil apapun itu.

Saudaraku, mungkin kita perlu mengingat kembali, berkontemplasi, bermuhasabah, dan merenungi kembali esensi kehidupan kita di bumi Allah ini. Mungkin ada baiknya kita kembali membuka buku-buku keIslaman dan mengingat bahwa seluruh diri kita, termasuk masa muda kita, akan menjadi pertanggungjawaban yang akan kita bawa di ‘hari itu’. Hari di mana mulut kita terkunci rapat, dan tinggal tangan dan kaki yang berbicara. Hari di mana penyesalan merupakan keniscayaan bagi setiap manusia, penyesalan karena dosa yang begitu banyak telah dilakukan, dan pahala yang begitu banyak terlewatkan.

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa” (Al-A’raf: 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar