Minggu, 28 Maret 2010

Izzah Keimanan

Sikap pantang menyerah dari seorang Muslim merupakan izzah bagi dirinya. Seperti tegaknya karang walau digempur ombak besar. Karang itu tetap tegar berdiri, walaupun larutan ombak kian hari makin mengikisnya.

Teringat sebuah kisah tentang Sayyid Qutbh. Seorang pejuang yang begitu sering merasakan pahit dan sakit kehidupan, karena siksaan penguasa tiran terhadap dirinya. Dia dipenjara karena dianggap menentang pemerintah Mesir saat itu. Padahal pemikirannya hanya ingin mengembalikan Islam pada esensi kebeningan dan komprehensifitasnya.

Dia disiksa dengan siksaan yang membabi-buta dari para tentara Mesir. Setiap malam, dia harus menerima tendangan, pukulan, injakan, bantingan, dan segala bentuk siksaan yang menyakitkan. Lalu beliau dikembalikan ke sel saat shubuh. Kejadian itu terus terjadi setiap malam hingga menyebabkan kedua kakinya patah dan tidak mampu lagi berdiri.

Sayyid Qutbh tak bergeming. Akhirnya karena pemerintah merasa tidak mampu menggoyah pemikirannya yang tegar, Sayyid Qutbh dijatuhi hukuman gantung. Di saat terakhir dirinya akan digantung, tiba-tiba seorang ulama mendatanginya dan bertanya, “Jika engkau berkenan untuk mengucapkan ‘LaaIllaa ha Illallah, dan berkenan mengakui kesalahanmu, pemerintah akan memaafkanmu dan kau akan dibebaskan.”

Menerima perkataan itu, serta merta Sayyid Qutbh menegakkan jari telunjuknya dan berkata, “Demi Allah, engkau wahai ulama, hidup dari ucapan Laa Illaa ha Illallah, sementara diriku hidup untuk ucapan Laa Illa ha Illallah. Tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangiku untuk sesaat lagi meninggalkan dunia fana ini dan bertemu Allah SWT.”

Dengan perkataan terakhir tersebut Sayyid Qutbh dijatuhi hukuman dan mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Begitu dahsyatnya hingga kisah tentang izzah luar biasa ini menjadi kisah penyambut dalam buku ‘Ma’alim fii Ath-Thariq’ yang fenomenal. Kehormatan dan ketegaran dari iman yang kokoh, bahkan jauh lebih kokoh dari tegapnya gunung.

Seharusnya kita malu. Keimanan segagah Sayyid Qutbh memberikan perspektif keimanan yang sebenarnya. Iman yang tidak hanya bergumul dalam hati dan lisan, namun juga langsung membekas pada ukiran realita sosial.

Sudahkah kita seperti itu? Mari berkaca dalam relung hati terdalam. Apakah keimanan kita benar-benar telah terpatri dalam bukti yang nyata, atau hanya menjadi bahasa yang berayun pasrah mengikuti arah angin?

Sepertinya saat ini, realita umat Islam tak ubahnya seperti pelangi. Indah kelihatannya, namun maya sebenarnya. Keindahan ajaran dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang berakhir tak jelas. Padahal di kanan-kirinya, ada wajah-wajah penuh harap, yang merindukan sentuhan nyata keindahan agama ini. Sekali-kali masalah ini bukan karena Islam sebagai ajaran, tetapi lebih kepada umat yang melepaskan Islam dari realita sosial.

Keimanan bukan hanya di hati, bukan hanya di lisan, tetapi langkah konkret dan tindakan nyata. Izzah keimanan kita dipertaruhkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari merenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar