Sabtu, 26 Juni 2010

Reformasi Paradigma Pengawasan Penerimaan Negara

Pendahuluan


Isu korupsi merupakan isu yang selalu menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Isu ini awalnya merebak di sekitar tahun 1998 saat reformasi digulirkan aktivis, akademis, tokoh masyarakat dan beberapa politisi yang berkesempatan mendompleng kepentingannya. Istilah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) tercetus untuk melabeli era orde baru. Berbagai pakar hukum, psikologi, sistem ketata-negaraan, dan sebagainya bersama-sama membentuk solusi untuk mampu memberantas masalah korupsi sampai ke akarnya.

Namun setelah sepuluh tahun berlalu, isu ini masih saja belum tercerabut sampai ke akar-akarnya. Sepertinya masalah korupsi di Indonesia telah sampai pada tahap stadium-4 (parah). Beberapa analisis telah dijabarkan para ahli yang ke semuanya bersepakat bahwa masalah korupsi di Indonesia adalah masalah sistemik.

Masalah sistemik berarti virus korupsi telah mampu merusak seluruh bagian institusi bahkan hingga sistem. Sama seperti tubuh, penyakit yang berbahaya adalah penyakit yang merusak sistem, bukan hanya organ apalagi jaringan. Penyakit HIV adalah penyakit yang merusak sistem kekebalan tubuh. Sangking sistemiknya bahkan hingga sekarang obat dari penyakit ini belum ditemukan. Apalagi jika analogi ini ternyata terjadi dalam sistem kenegaraan Indonesia.

Setiap bidang harus berperan bersama-sama untuk menyembuhkan penyakit ini. Termasuk akuntansi di dalamnya. Sebagai satu-satunya ilmu yang berperan memberikan informasi keuangan suatu entitas, akuntansi memiliki peran yang sangat besar dalam penanggulangan korupsi di Indonesia.

Isu-isu akuntansi pemerintahan di Indonesia telah sampai pada kurikulum berbagai universitas besar di Indonesia. Akan tetapi pembahasan mengenai implementasi dan kekurangan yang dimilikinya ternyata mampu menjadi celah bagi merebaknya kasus korupsi belum dipelajari secara matang.

Untuk itu penulis ingin membahas satu masalah dalam akuntansi pemerintahan yang mungkin menjadikan korupsi sulit terberantas. Masalah yang ingin dibahas oleh penulis di sini adalah masalah kompleksitas pengawasan pada penerimaan negara.

Tinjauan Pustaka


“Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan suatu pekerjaan atau kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan rencana, aturan-aturan, dan tujuan yang telah ditetapkan.” (UU perbendaharaan, 30 Agustus 1970)

Di dalam buku Akuntansi Pemerintahan Indonesia, oleh Revrisond Baswir dijelaskan mengenai tingkat kompleksitas penerimaan negara,

“Perbedaan pokok antara pengawasan penerimaan dengan pengawasan pengeluaran terletak pada segi kompleksitas dan keketatannya. Dari segi kompleksitas, pengawasan pengeluaran jauh lebih kompleks dari pengawasan penerimaan.” (Revrisond Baswir, 2000)

Dari beberapa sumber, kita bisa menilik definisi korupsi sebagai berikut,

“Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.” (Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi)

Korup : busuk; palsu; suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1991)

Buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002)

Korupsi : kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary, 1978)

penyuapan; pemalsuan (Kamus Bahasa Indonesia, 1991)

Penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Kamus Hukum, 2002)

Berdasarkan Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

1)      pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

2)      pasal 3 : “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Gambaran Umum


Dari tinjauan pustaka di atas, penulis merasakan kejanggalan dari cara berpikir pengawasan khususnya dalam hal pengawasan penerimaan. Banyak materi yang membahas masalah pengawasan pengeluaran. Mulai dari penyusunan, pelaksanaan hingga pertanggung-jawaban. Namun sangat sedikit yang membahas masalah penerimaan negara. Padahal ketidak-seimbangan terhadap keandalan sistem pengawasan dan penerimaan memiliki peluang untuk terjadinya korupsi.

Di akuntansi kita mengenal istilah debet kredit yang berarti kanan dan kiri. Paradigma yang digunakan adalah keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Jika tidak ada keseimbangan maka akan salah. Di dalam paradigma ini, pengakuan penerimaan atau pemasukan bukan tidak sulit, justru yang paling kompleks.

Jika paradigma dasar akuntansi saja menetapkan paradigma seperti ini. Mengapa sistem penerimaan keuangan negara tidak?

Sedikit meloncat dalam bidang religius, pemasukan adalah bidang yang sangat diperhatikan dalam agama. Kita sering mendengar bahwa pemasukan yang halal adalah segala-galanya bagi seseorang. Lebih baik pemasukan itu sedikit tapi halal dari pada banyak tetapi haram. Pemasukan yang halal atau baik akan dimakan oleh seseorang dan menjadi bagian tubuh yang baik, digunakan untuk yang baik, dan menghasilkan sesuatu yang baik. Pemasukan itu juga akan digunakan oleh anak dan istrinya untuk sesuatu yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Begitu juga degan pemasukan yang haram.

Dalam bidang ekonomi, kita pernah mendengar tentang pembagian kue sumber daya. Konsep tersebut sebenarnya relevan untuk menjelaskan alasan kenapa sistem penerimaan yang kompleks diperlukan. Adalah janggal jika kita mengharapkan dengan kue yang sedikit akan diimplementasikan pembangunan besar-besaran. Kue yang sedikit hanya akan jadi rebutan dan saling sikut antar daerah dengan pusat. Salah satu penyebab sedikitnya kue bukan masalah pelaksanaan keuangan atau pelaksanaan APBN, ini masalah penerimaan negara yang memang masih bermasalah.

“Perbedaan pokok antara pengawasan penerimaan dengan pengawasan pengeluaran terletak pada segi kompleksitas dan keketatannya. Dari segi kompleksitas, pengawasan pengeluaran jauh lebih kompleks dari pengawasan penerimaan.” (Revrisond Baswir, 2000, hal 119)

Di sinilah penulis mengkritisi. Konsep ini dirasa perlu untuk diubah atas beberapa alasan d atas. Jika memang pengawasan digunakan untuk memastikan bahwa yang seadanya sesuai dengan yang seharusnya maka pengawasan penerimaan harus dilakukan sebaik-baiknya untuk memastikan bahwa penerimaan seadanya sesuai dengan penerimaan seharusnya.

“Modus yang saya lakukan itu biasa. Dan masih banyak orang-orang yang lainnya disini (kantor Pajak, red)," kata Gayus Tambunan seperti ditirukan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Achmad Santosa.[1]

Demikian sepatah kata yang disampaikan oleh Gayus kepada wartawan terkait kasus korupsi pajak yang menggegerkan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, jika pegawai pangkat rendahan seperti itu sampai bisa mengambil 25 Milyar dari uang pajak untuk dirinya sendiri apalagi pegawai tingkat atas?

Ada yang salah dengan sudut pandang penerimaan keuangan negara. Dan bisa jadi sudut pandang yang salah ini yang menyebabkan korupsi di bagian pajak, bea cukai dan penerimaan bukan pajak tak tersentuh serta menyebabkan kerugian negara pada sektor lain dan masyrakat akhirnya jadi korban.



Strategi Pemberantasan Korupsi


Strategi pemberantasan korupsi khususnya di bidang penerimaan negara yang mencakup pajak, bukan pajak, serta bea dan cukai seperti yang diketahui telah sampai pada tahap sistemik. Faktor-faktor yang mendasari jelas terkait dengan berbagai bidang karena memang terkait dengan masalah sistem.

Oleh karena itu, strategi penanganannya bisa dilakukan sebagai berikut:
  1. Bidang hukum, penegakan supremasi hukum yang akhirnya terkait dengan perbaikan pada penegak hukum, masyarakat, sarana, kebudayaan, dan hukum itu sendiri.[2] Tentunya hal ini adalah hal umum yang bisa dikontekskan dalam pengawasan penerimaan negara. Tidak bisa tidak. Penegakan supremasi hukum adalah cara paling efektif untuk mencerabut korupsi sampai ke akar-akarnya.
  2. Bidang psikologi, masalah punishment bagi penggelap penerimaan negara seharusnya memerlukan hukuman yang cukup berat. Penggelapan pada bidang penerimaan jelas akan mempengaruhi besar kecilnya kue yang akan dibagi dalam tahap pengeluaran. Jelas ini akan berimplikasi pada sedikitnya dana yang mengalir ke daerah, disebabkan karena memang sedari awal kue yang ada terlalu sedikit untuk dibagi.
  3. Bidang Akuntansi atau pencatatan keuangan, dalam bidang akuntansi penulis menyarankan beberapa perbaikan yang seharusnya dilakukan:
    1. Penetapan penggunaan historical value dalam pencatatan penerimaan keuangan negara. Alasannya adalah, karena di masa depan trend yang sedang berkembang adalah penggunaan IFRS yang identik dengan fair value sebagai dasar pencatatan. Di satu sisi relevansi yang dihadirkan akan lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan. Akan tetapi sisi pertanggung jawaban dan auditable akan sangat sulit karena terkait dengan judgement.
    2. Peningkatan transparansi informasi penerimaan negara kepada masyarakat. Langkah ini dimaksudkan agar para peneliti dan akademisi yang ‘bebas’ bisa secara langsung meneliti dan mengkritisi kemungkinan penggelapan pajak yang ada. Selama ini informasi ini dirasa sangat sulit didapatkan, kalaupun ada tidak secara komprehensif menjelaskan metode dan bukti-bukti yang terpercaya.
    3. Pendidikan anti korupsi sedini mungkin pada calon-calon akuntan pajak, bea cukai dan pegawai negeri yang ada di perguruan tinggi. Pendidikan ini diharapkan akan mampu menanamkan kesadaran yang cukup agar perubahan bisa tercipta karena tidak hanya dilakukan dalam sistem tetapi juga SDM.

Kesimpulan dan Saran


Pemberantasan korupsi pada bidang penerimaan negara sangat terkait dengan bagaimana pengawasannya. Jika dilihat bahwa pengawasan adalah memastikan bahwa yang seadanya berjalan sesuai dengan yang seharusnya, maka apapun caranya harus dilakukan.

Maka dari itu penulis merekomendasikan beberapa tahap pemberantasan, yaitu sebagai berikut:
  1. Hukum: penegakan supremasi hukum
  2. Psikologis: hukuman yang cukup berat bagi pelanggar
  3. Akuntansi: penetapan penggunaan historical value, peningkatan transparansi informasi penerimaan negara kepada masyarakat, pendidikan anti korupsi sedini mungkin pada calon-calon akuntan pajak, bea cukai dan pegawai negeri yang ada di perguruan tinggi.


[1] http://berita.liputan6.com/producer/201003/269907/Gayus.dan.Kolusi.Pajak

[2] http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-penegakan-hukum-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar