Rabu, 30 Juni 2010

Adaptasi

Masih teringat masa-masa awal perkuliahan. Tidak semudah seperti yang dibayangkan. Perbedaan budaya dan kebiasaan mengungkung pribadiku, sempat membuatku kehilangan jati diri, namun alhamdulillah hanya efek sesaat.

Bayangin aja, seorang anak kaltim yang sangat ‘bontang’ tiba-tiba nyemplung di lingkungan yang mayoritas jawa-betawi. Langsung aja nie lidah klepek-klepek ama lidah-lidah gua elo2 khas jakarta atau lidah-lidah “po’o” khas Yogyakarta.

Saat itu rasanya pingin lari dan keluar dari lingkungan kampus. Aku ngerasa kampus bukan tempat yang menyenangkan. Tidak ada tempat bagi seorang kaltim’ers yang memegang teguh budaya dan kebiasaan kaltim, kecuali mereka mau mengikis sedikit demi sedikit sisa pembelajaran yang telah mereka dapatkan dari kecil.

Namun lama-lama aku akhirnya terbiasa. Bukan terbiasa untuk mengucapkan ‘gue-eloe’ cara mereka, tetapi lebih kepada terbiasa menanggapi bagaimana orang lain memandang ‘aneh’ pada diriku. Kalo bisa dibilang, udah kapalan nie hati, dah tebel dan ga kerasa lagi, sangking seringnya merasakan ketidak-nyamanan yang semodel.

Aku memang termasuk seorang yang ‘no tolerance’ bagi hal-hal yang aku anggap ‘value’ dan ‘core’. Bagiku, pembelajaran dan pendidikan yang diberikan oleh lingkungan bontang adalah jati diriku. Aneh? Mungkin aneh bagi sebagian besar, tapi tidak bagi beberapa orang yang mengerti bagaimana berartinya kota asal bagi diri kita.

Sekarang aku menemui kesulitan itu lagi. Hanya bedanya, saat ini aku diberikan waktu dua bulan untuk menyelesaikan masalah ini, ditambah lagi sistem memaksaku mengikuti budaya yang ada. Seperti pepatah, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Sedikit banyak aku mengerti dan setuju dengan peribahasa tersebut. Akan tetapi dengan catatan bahwa budaya yang ada tak mengganggu ‘value’ dan ‘core’ yang telah kumiliki.

Tidak mudah kawan, mengganti kebiasaan untuk berterus-terang dan ‘debat di awal’ dengan sebuah ‘kulonuwun’ yang bagiku cukup berlebihan. Tidak mudah membiasakan diri untuk menenggelamkan muka hanya untuk menunduk padahal kita sudah sangat terbiasa dengan lingkungan yang egaliter dan demokratis. Tidak mudah untuk mengubah persepsi kepercayaan kita kepada sebuah lingkungan yang sungguh plin-plan dan penuh dengan topeng.

Entah, aku yang salah memandang atau memang Allah ingin aku menyelesaikan masalah ini dengan penerimaan yang baik dari orang lain.

Aku bisa saja menyelesaikan masalah ini dengan berbuat selatah mungkin terhadap lingkungan. Akan tetapi itu bukan diriku. Aku terbiasa untuk ‘fight’ habis-habisan dengan lingkungan yang aku anggap tidak ‘benar’. Kalaupun aku kalah dengan pertarungan itu, pantang bagiku untuk sengaja mengikuti kebudayaan sang pemenang. Masalah kita mengikutinya tanpa sadar aku tak peduli, asalkan jelas niat di hati adalah mempertahankan idealisme yang kita miliki.

Tiba-tiba aku teringat tentang sebuah ‘quote’ yang bagus sekali dari buku ‘dunia kata’. “Jika engkau berbuat sesuatu untuk sebuah pengakuan, maka jalan yang akan engkau lalui akan sangat panjang....”

Yah, pengakuan. Lagi-lagi kata itu kuncinya. Begitu banyak manusia mati-matian berusaha untuk sebuah pengakuan. Dampaknya adalah kejatuhan yang dalam bagi mereka yang akhirnya gagal.

Akan tetapi bagi manusia yang mati-matian berusaha untuk sebuah kualitas dan ridho dari-Nya, tidak ada kata kalah. Yang ada hanyalah menang, menang, menang, bahagia, bahagia, bahagia.

Ubah cara pandang, agar kita mampu memandang kesulitan dalam beradaptasi sebagai ridho-Nya. Pemuda memang bukan kayu lapuk, tetapi besi yang makin tajam setelah beberapa tempaan dan rendaman. Keep Fight!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar