Minggu, 18 April 2010

Pengakuan Keberadaan

Suatu saat aku melihat tulisan yang begitu baik dari seorang sahabat. Tulisannya dalam dan sangat megah. Dari dulu memang ciri khasnya seperti itu. Gaya penulisan yang melayang-layang dan membuai seperti penyihir. Membuat orang terkesima dan segera ingin mengucapkan kata-kata pujian. Aku ingin memiliki tulisan itu. Aku ingin...

Di Bontang, aku memiliki sahabat yang kharismatik. Hanya duduk, diam, mendengarkan, dan berbicara sedikit saja bisa membuat dirinya menjadi seorang ketua. Dia diakui semua orang. Aku menginginkannya. Bukan posisi ketua itu, tapi naluriah kepemimpinan itu. Aku ingin...

Aku bertemu dan berkenalan dengan beberapa aktivis kampus yang luar biasa. Aku kagum ketika mereka mengenakan ikat kepala dan almamater lalu berteriak dengan megaphone. Aksi-aksi dan retorika mereka membius. Orang bisa mengangguk-anggukkan kepala, menatap lama, meneteskan air mata, bahkan sampai begitu terbakar hanya dengan mendengar teriakan-teriakannya. Aku ingin seperti itu. Lagi-lagi... aku ingin....

Di asrama, semuanya begitu hebat. Manusia-manusia super dengan Ipk nyaris 4, penulis-penulis yang namanya sering tercatat dalam media massa dan piagam kompetisi, ustadz-ustadz teladan dengan hafalan hampir di atas 2 juz dan pengetahuan Islam yang mendalam, mahasiswa-mahasiswa hasil pertukaran pelajar ke Singapura, Korea, dan Australia, asisten-asisten dosen, ketua-ketua organisasi, dan segala kelebihan yang mereka miliki... hmph...

Aku ingin semua itu.... Aku ingin menjadi seperti mereka....

Aku ingin... diakui... keberadaannya....

Lelah rasanya hanya menjadi seorang pecundang di kampus besar. Teringat pesan seorang guru, “lebih baik menjadi pemenang di kampus pecundang, daripada menjadi seorang pecundang di kampus pemenang”. Lihat aku... ada di mana sekarang diri ini??

Ah!!! Ingin rasanya kuhembuskan nafas ini sekuatnya.

Ketika aku menuliskannya, pasti banyak yang mengatakan aku tidak bersyukur. Mungkin ada benarnya. Aku sendiri sadar, aku memang bukan seorang yang pandai bersyukur. Aku ambisius. Tapi bukan ambisius dalam makna positif, lebih kepada makna negatif.

Aku sadar aku latah dan cenderung instan. Ketika aku melihat begitu banyak kelebihan dari orang lain, aku begitu ingin memilikinya. Aku lupa bahwa di balik kesuksesan mereka, ada kisah-kisah menyakitkan dan perjuangan membanting tulang. Aku terlalu terbius dengan hasil. Aku lupa bahwa ada proses di baliknya. Yang bisa jadi, proses itu begitu panjang dan sulit.

Berarti aku harus berlatih sekuat tenaga menjadi seperti mereka? Faktanya, sampai saat ini aku berlatih, aku belum mampu menyamai mereka..... Aku masih saja seorang pecundang....

Apa yang salah?? Kenapa begitu berat menjadi seperti mereka?? Apakah kurang lama aku berlatih? Atau kurang keras? Atau jangan-jangan aku salah kaprah? Mengambil jalan yang seharusnya tidak aku ambil?

Aku pikir aku sudah mengikuti apa yang mereka lakukan (setidaknya yang terlihat). Aku sudah mengikuti bagaimana mereka bekerja, berlatih, dan menuangkan ekspresinya. Tapi yang terjadi tidak seperti yang kubayangkan. Aku terjebak menjadi alat foto copy. Aku melihat diriku seperti ‘ban serep’ yang digunakan sebagai cadangan. Alih-alih menyamai mereka semua, aku terjerembab dalam kejatuhan harga diri yang lebih dalam. Memang perlahan aku mulai diakui karena punya ‘sesuatu’. Tapi jujur ini tidak seperti yang aku bayangkan. Aku menginginkan kualitas itu. Bukan hanya pengakuan.

Alhamdulillah suatu saat aku membaca sebuah tulisan dan menemukan petikan kalimat ini,

“Good works will be recognized-ultimately. But if you work for the recognition alone, you may be in for a long wait.” (Lorraine Monroe)

Subhanallah, ternyata....

Aku salah karena bergerak atas dasar pengakuan. Aku terlalu terpaku dengan penghargaan. Aku lupa bahwa kualitas akan melahirkan pengakuan. Dan oleh sebab itu, kualitas adalah satu-satunya yang harus kita kejar. Berusaha keras karena pengakuan membuatku terjebak pada perjalanan melelahkan mencapai kesuksesan.

Caraku pun salah. Aku salah kaprah. Aku mengambil jalan yang seharusnya tidak aku ambil. Aku salah ketika ingin menjadi orang lain. Aku lupa bahwa setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan perannya masing-masing.

Aku memang ingin menjadi penulis itu, aktivis itu, sahabatku itu, mahasiswa-mahasiswa itu. Tapi seharusnya dengan caraku sendiri. Aku diciptakan di lingkunganku sendiri dan pendidikanku sendiri. Aku hidup dengan takdirku sendiri. Dan seharusnya aku berjalan di jalanku sendiri. Menemukan jati diriku sendiri.

Aku percaya mereka yang berhasil dan kukagumi memiliki cara mereka sendiri. Mereka berjalan di jalan yang tepat, karena mereka berjalan dengan cara mereka berjalan. Mereka bisa karena mereka percaya dengan kekuatan mereka sendiri.

Dan seharusnya aku begitu...

Bagaimana dengan kalian???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar