Senin, 19 April 2010

Kebenaran Radikalisme Islam

Belakangan kata ‘radikalisme’ begitu sering mencuat dan menarik perhatianku. Ada kegusaran yang muncul. Kenapa begitu inginnya sekelompok pihak membendung pemikiran ini? Atau mungkin pemahaman tentang kata ini berbeda antara satu dengan yang lain?

Satu pihak menganggap bahwa radikalisme berpotensi memecah belah umat. Radikalisme dianggap tidak sesuai dengan kondisi zaman saat ini. Bahkan yang lebih parah, radikalisme dianggap sebagai embrio terorisme. Dampaknya, orang-orang menjadi alergi dan takut terhadap kata radikalisme.

Secara intuisi, hal itu bisa dibenarkan. Akan tetapi pandangan mengenai radikalisme seharusnya tidak terbatas pada intuisi yang didominasi subyektifitas. Kita harus melihat secara obyektif, apa itu radikalisme, seperti apa definisinya, dan segala hal tentangnya.

“‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”.”

Jika kita mengacu kepada pendapat ini, mungkin kita akan mendapatkan gambaran sifat yang menonjol. Radikal identik dengan sifat totalitas.

Pertanyaannya, apa yang salah? Apakah Islam mengajarkan kita untuk setengah-setengah dalam berbuat sesuatu? Apakah kemudian, sifat radikal bertentangan dengan sifat Islam? Atau jangan-jangan radikal yang berarti totalitas adalah justru merupakan inti ajaran Islam?

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (total), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah:208)

Jika kita mau obyektif, sebenarnya sifat radikal tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Islam sendiri yang mengajarkan sifat radikal itu untuk kita.

Permasalahannya di sini adalah, sifat radikal begitu berbeda ketika berimbuhan dengan –isme. Radikalisme tidak lagi dimaknai sebagai totalitas, tetapi lebih menuju pada sifat keras, drastis dan tanpa toleransi. Ini yang menjadi masalah.

Belum lagi jika kita lebih dalam membahas makna radikalisme Islam atau Islam radikal. Maknanya akan lebih jauh melenceng dari akar kata radikal.

Sejauh yang saya baca, makna Islam radikal atau radikalisme Islam lebih banyak mengarah kepada poin negatif. Makna kedua kata ini lebih banyak digunakan atau ditujukan untuk sebuah kelompok yang dianggap keras. Stigma ini kemudian digulirkan dan akhirnya kelompok-kelompok terkait dicap sebagai kelompok yang keras, tidak punya toleransi, tertutup, asing, dan beberapa sifat yang mirip.

Padahal jika kita mau berkenalan lebih jauh, kelompok-kelompok ini tidak sekeras makna radikalisme Islam yang digembar-gemborkan. Mereka punya toleransi. Yang membedakan hanyalah karakter. Sama seperti sepasang saudara yang berlainan karakter, walaupun berasal dari satu darah.

Bahwa mereka radikal, dalam pengertian dan pendapat sebelumnya, saya setuju. Mereka memang totalitas dalam mengangkat Islam dalam kehidupan. Mereka menyeluruh dalam mengimplementasikan Islam. Mereka tidak hanya toleran, tapi juga tegas menyikapi berbagai masalah umat.

Akan tetapi dalam menyamakan mereka dengan konsep radikalisme Islam, saya tidak sepakat. Makna ‘radikalisme Islam’ yang dimunculkan tidak konsekuen dengan akar kata ‘radikal’. Terlihat sekali bahwa istilah ‘radikal’ yang sebenarnya positif, di tenggelamkan dalam makna ‘radikalisme Islam’ yang cenderung negatif.

Adian husaini menyebut istilah radikalisme Islam lebih baik diganti menjadi ekstrimisme Islam. Makna ini lebih jelas karena memiliki makna berlebih-lebihan. Untuk makna ini, kita semua sepakat bahwa Rasulullah pun melarang hal yang berlebih-lebihan walaupun itu dalam konteks ibadah. Dan dalam konteks ini, saya pun sepakat bahwa ekstremisme Islam tidak seharusnya dibela, karena jelas melanggar ‘core’ ajaran Islam.

Mari merenung...

Saya sempat berpikir bahwa bisa jadi penyembulan makna ‘radikalisme Islam’ ini dilandasi oleh kepentingan perang dunia global. Kepentingan perang yang diungkapkan oleh Samuel Huttington dalam bukunya, “Clash of Civilization”.

Menhan AS, Paul Wolfowits menyatakan: “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D. (2008), yang dikutip oleh Adian husaini)

Tidak terasa kah kejanggalan, saat Menhan AS mengatakan ‘Islam’ di tengah pidato perangnya???
Kita harus lebih obyektif dalam hal ini. Secara historis bangsa Indonesia punya lubang kelemahan hasil politik ‘devide et impera’. Dan bisa jadi kelemahan ini yang sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu.

Akhirnya, saya hanya bisa berkata, manusia memang begitu lemah. Apalagi di hadapan raksasa informasi. Dewasa ini, semua begitu kompleks dan membingungkan. Kebenaran hanya diklaim secara sepihak dan menjadi sangat subyektif.

Di satu sisi kebenaran diinjak-injak atas nama toleransi yang berlebihan, dan di sisi lain kebenaran terlalu diagung-agungkan dengan membantai manusia yang tak se-benar.

Padahal tanaman secara wajar tumbuh mengikuti arah datangnya sinar matahari, begitu juga manusia. Pemikiran yang telah lama berdansa dalam waktu dan lingkungan masa kecil, pasti wajar berpengaruh di kedewasaannya.

Jika kita sadar hal ini, seharusnya kita berdebat layaknya kakak dan adik, bukan seperti malaikat dan iblis.

Kita semua bersaudara, dan seharusnya menguat dalam kesadaran kesamaan aqidah.

Ah, aku teringat saat membaca kisah terakhir kehidupan Rasulullah. Tentang kata-kata yang terucap dari bibir sucinya, “Ummati...ummati...ummati...”
 Yah, aku sadar...
Kita lupa........
Bahwa kita bersaudara.......

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Huujurat: 49)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar