Minggu, 12 Juni 2011

Penerapan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam Upaya Pencegahan Korupsi di Indonesia

 

Latar Belakang

Reformasi 1998 bangsa Indonesia berada di persimpangan jalan. Waktu bergulir hingga 10 tahun lebih sejak munculnya gerakan untuk menggulingkan pemerintahan orde baru yang otoriter dan korup. Namun impian-impian mengenai tata kelola pemerintahan yang bersih dari KKN sepertinya masih membutuhkan usaha yang keras dalam mewujudkannya.

Transparancy International sebagai lembaga yang memetakan aktivitas korupsi di dunia pada tahun 2010 memberikan laporan bahwa Indonesia dengan metode CPI berada pada urutan 110 dengan score 2,8. Hal ini sangat buruk jika mengingat bahwa negara ASEAN lain seperti Thailand mampu menduduki urutan 78 dengan score 3,5 dan Malaysia di urutan 56 dengan score 4,4. Mirisnya di urutan 110, Indonesia ternyata memiliki score yang hampir sama dengan negara-negara miskin seperti Gabon, Ethiopia, Guyana dan Mali.

Hasil yang dilansir dengan metode BPI tidak terlalu berbeda. Sebanyak 60% eksekutif bisnis di negara berkembang seperti Indonesia mengaku melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga publik. Nilai transaksi suap yang dilakukan mencapai US$ 20-40 Milliar setiap tahunnya, dimana nilai tersebut setara dengan 20-40% bantuan pembangunan.

Dengan fakta tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa korupsi masih menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi bagian pokok yang harus dibenahi karena terkait erat dengan kompleksitas masalah pendidikan, politik, sosial dan spiritual masyarakat Indonesia.

ICW melansir data yang mencengangkan terkait dengan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat korupsi di Indonesia. Pada semester satu tahun 2010, sebanyak 176 kasus korupsi pusat dan daerah berpotensi memberikan kerugian sebesar 2 Trilliun lebih pada negara. Angka itu dihasilkan dari 596 Milliar korupsi di sektor keuangan, 420 Milliar di sektor perizinan, 365,5 Milliar di sektor pertambangan dan 140,8 Milliar di sektor energi atau listrik.

Berdasarkan fakta ini, Indonesia harus melakukan upaya pemberantasan korupsi secara serius. Semua pihak harus berkomitmen untuk melawan korupsi dari berbagai sudut pandang. Fakta menunjukkan, sektor keuangan adalah sektor pemerintahan yang berpotensi merugikan negara dengan jumlah kerugian terbesar. Oleh sebab itulah akuntansi yang notabene selalu membahas masalah sistem keuangan dianggap sangat vital perannya dalam penanggulangan korupsi.

Salah satu pendekatan dalam akuntansi yang bisa dilakukan dalam menanggulangi korupsi berada pada bidang audit dan sistem pengendalian manajemen. Kedua bidang ini memiliki karakter pengendalian internal yang khas dan dapat diadopsi dalam praktek penanggulangan korupsi di Indonesia.

Ferraz dan Finan (2007) menyatakan bahwa laporan audit sangat berpengaruh terhadap tingkat korupsi yang terjadi. Penelitian ini dilakukan kepada institusi negara di Brazil dengan melihat kecenderungan korupsi yang dilakukan oleh calon politisi yang akan maju dalam pemilihan umum.

Sementara Kayrak (2008) menjelaskan pentingnya audit dalam penanggulangan korupsi yang terjadi. Dalam makalahnya, Kayrak memfokuskan pemisahan wewenang, bukti audit, transparansi, investigasi kekuasaan dan akuntabilitas sebagai cara yang dapat dilakukan dalam memerangi korupsi.

Sudut pandang dalam melihat korupsi sebagai sebuah bencana membuat beberapa peneliti berlatar-belakang akuntansi memberikan penanganan yang mirip antara bencana dengan korupsi. Penanganan tersebut dilakukan dengan menggunakan konsep ‘Sistem Peringatan Dini’.

Konsep sistem peringatan dini banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia dalam menghadapi berbagai hal yang tidak bisa diprediksi secara tepat namun memiliki dampak yang sangat besar bagi institusi. Contoh yang sering dipakai dalam penanganan bencana adalah sistem penanganan dini berupa informasi tsunami yang muncul seketika ketika gempa terjadi di daerah laut. Dengan informasi ini, potensi tsunami yang timbul bisa segera dihindari.

Konsep ini kemudian diadopsi dalam sistem penanggulangan dini berupa informasi kemungkinan terjadinya krisis yang diterapkan dalam sistem kementrian keuangan. Dengan sistem ini, potensi krisis yang akan datang bisa diprediksi dan dihindari lebih cepat. Dampak yang timbul akibat krisis yang terjadi pun dapat diminimalisir.

Dengan latar belakang tersebut, penulis merasa sistem penanggulangan dini ini bisa menjadi solusi alternatif dalam melawan aktivitas korupsi yang terjadi di Indonesia.

Tinjauan Pustaka

Korupsi

Korupsi berasal dari kata dasar ‘korup’ yang didefinisikan oleh KBBI (1991) sebagai busuk; palsu; suap. Sementara Kamus Hukum (2002) mendefinisikan korupsi sebagai Buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.

Aktifitas korupsi adalah aktifitas yang melanggar hukum. Tindak pidana korupsi tercantum dalam UU No. 31 tahun 2009, yaitu:

1)      Pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

2)      Pasal 3 : “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Korupsi memiliki dampak negatif bagi negara. Tanzi dan Davoodi (2000) menyatakan bahwa korupsi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yag terjadi dalam suatu negara. Semakin tinggi tingkat korupsi semakin rendah pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara.

Penelitian Seligson (2002) juga menghasilkan kesimpulan bahwa korupsi memiliki peran signifikan dalam meningkatkan biaya penyelenggaraan negara. Hal ini kemudian menjadi beban yang besar bagi anggaran negara. Sementara Lambsdorff (2003) menyatakan bahwa korupsi memiliki dampak pada menurunnya produktivitas dalam suatu negara.

Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)

Edison (2000) mendefinisikan sistem peringatan dini sebagai sistem yang terdiri dari definisi akurat mengenai suatu hal, dan mekanisme mengenai prediksi yang tepat pada hal tersebut. Seperti yang telah disebutkan pada bagian latar belakang, sistem peringatan dini ini digunakan pada hal-hal yang tidak bisa diprediksi namun memiliki dampak yang signifikan terhadap institusi.

Kementrian keuangan adalah salah satu institusi di Indonesia yang mengadopsi sistem ini. Penggunaan sistem peringatan dini pada kementerian keuangan lebih diarahkan kepada antisipasi terjadinya krisis yang bisa datang dengan tiba-tiba. Dengan implementasi sistem ini diharapkan krisis yang terjadi bisa diminimalisir resikonya dan dampaknya.

Dalam konteks korupsi, sistem ini juga bisa digunakan. Guo dan Zheng (2011) memberikan ulasan tentang penerapan sistem peringatan dini pada konteks penanggulangan korupsi. Penelitian ini mencoba membedah dan menganalisis informasi tentang korupsi dan memfokuskan pada skenario yang pernah dilakukan sebelumnya. Bidang-bidang yang diteliti dalam mendesain sistem peringatan dini ini adalah organisasi, dasar informasi, metode operasi dan sistem index.

Sementara lebih khusus, Walker, Alpert dan Kenney (2001) membuat sebuah desain mengenai penerapan sistem peringatan dini pada kasus korupsi yang terjadi di kepolisian. Hasilnya sangat mengejutkan. Setahun setelah penerapan sistem tersebut dilakukan, komplain masyarakat mengenai pungutan liar yang dilakukan oleh kepolisian berkurang sebanyak 67% di Minneapolis dan 62% di New Orleans.

Pembahasan

Dalam konteks akuntansi pemerintahan siklus APBN memiliki 4 tahapan, yaitu penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggung-jawaban. Dalam realita yang terjadi korupsi tidak hanya terjadi pada masa pelaksanaan, tetapi juga terjadi pada tahap penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban. Hal ini bisa dilihat sejak tahap penyusunan di mana terjadi proses tawar-menawar bahkan hingga suap menyuap. Hal ini juga bisa terjadi pada tahap pengesahan dan pertanggung-jawaban.

Oleh sebab itu, sistem pengendalian dini sebaiknya tidak hanya digunakan pada tahap pelaksanaan saja, melainkan juga pada ke semua tahapan siklus APBN. Dengan cara ini maka korupsi bisa diminimalisir dan dideteksi lebih cepat serta dihindari dampak negatifnya.

Sistem peringatan dini pada tahap penyusunan, pengesahan dan pertanggung-jawaban

Tahap penyusunan, pengesahan dan pertanggung-jawaban memiliki karakter korupsi yang khas dan berbeda dari tahap pelaksanaan. Karakter yang sering muncul pada ketiga tahapan ini adalah korupsi yang bertipe kolusi. Aktifitas tawar-menawar dan adu kepentingan membuat ketiga tahapan ini kehilangan efektifitasnya.

Grimaud, Laffont dan Martimort (2001) dalam penelitiannya menjelaskan proses terjadinya kolusi antara principal, supervisor, dan agents serta memberikan solusi pencegahan yang diambil dari sudut pandang tersebut.

Dalam penelitian tersebut pencegahan kolusi dapat dilakukan dengan:
  1. Mengetahui tingkah laku kolusif. Tingkah laku kolusif dapat diprediksi dengan mengetahui apa saja hasil atau keuntungan yang akan didapatkan dari hasil kolusi. Kolusi akan terjadi jika pihak 1 yakin bahwa dengan berkolusi dengan pihak 2 akan memberikan dia keuntungan sebesar α1 dan pihak 2 juga akan menerima keuntungan sebesar α2. Dengan mengetahui berapa keuntungan yang didapatkan kita bisa mendesain sebuah sistem di mana keuntungan kolusi akan berkurang atau menjadi trade off dengan biaya yang harus dibayarkan.
  2. Mengidentifikasi biaya kolusi yang terjadi. Biaya kolusi yang dimaksud adalah biaya kolusi yang muncul dan harus dikeluarkan oleh setiap pihak yang berkolusi. Dengan mengetahui berapa jumlah biaya kolusi yang terjadi, maka kita bisa membuat desain struktur dan insentif yang tepat agar pihak-pihak yang berkolusi memikirkan ulang keuntungan dan kerugian dalam berkolusi.

Selain solusi pencegahan tersebut, Lawarree dan Kofman (1996) mengatakan bahwa pencegahan kolusi harus dilakukan dengan melibatkan supervisor kedua dalam organisasi. Dalam konteks kenegaraan, jika principal adalah masyarakat, supervisor pertama adalah legislatif, dan agents adalah eksekutif, maka supervisor kedua ini bisa dianalogikan dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada wakil rakyat rakyat selain DPR (Media, LSM, Pendidik, Tokoh Agama, dan sebagainya) untuk ikut turut serta langsung menjadi pengawas dalam proses penyusunan, pengesahan dan pertanggung-jawaban APBN.

Dengan memahami proses kolusi tersebut kemudian kita bisa mendesain sebuah sistem peringatan dini yang akan memberikan informasi mengenai adanya potensi kolusi dan berapa dampak yang ditimbulkan oleh aktifitas kolusi tersebut.

Sistem peringatan dini pada tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan adalah tahap terpanjang dari seluruh siklus APBN. Tahap ini mencakup 1 tahun sejak pengesahan APBN dilaksanakan. Berbeda dengan tahap lainnya, pada tahap ini karakteristik korupsi dalam artian penyelewengan dana lebih banyak terjadi dibanding dengan aktifitas kolusi. Oleh sebab itu pencegahan dan sistem peringatan dini yang didesain juga seharusnya sedikit berbeda dibanding ketiga tahap lainnya.

Dalam pelaksanaan anggaran, ada dua sisi yang harus diperhatikan, penerimaan dan pengeluaran. Kedua sisi ini seharusnya diperhatikan secara seimbang. Dalam realita sisi pengeluaran lebih mendapatkan fungsi kontrol yang kuat dibanding sisi penerimaan. Hal ini disebutkan oleh Baswir (1988) yang mengatakan bahwa sisi penerimaan pada prinsipnya dilakukan secara lebih longgar dibanding sisi pengeluaran. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena pada dasarnya sisi pengeluaran dibiayai dari sisi penerimaan. Dengan kata lain, sisi pengeluaran tidak akan efektif berjalan jika sisi penerimaan juga tidak baik.

Dalam sisi pengeluaran, proses pengadaan barang dan jasa merupakan proses yang paling rentan terjadinya korupsi. Chandra Hamzah selaku wakil ketua KPK dalam kuliah umum di Universitas Indonesia mengatakan bahwa proses pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui penunjukan langsung, rawan mark up serta banyak kepentingan yang bermain.

Sementara dalam proporsi penerimaan, korupsi pada bidang pajak adalah yang paling merugikan negara. Hal ini mengingat pajak merupakan bidang penerimaan terbesar bagi negara yang proses penarikannya sangat rawan terjadi konflik kepentingan. Bahkan dalam realita, konsultan pajak yang secara legal diakui oleh hukum sebenarnya bertugas dalam membantu perusahaan untuk mengurangi pajak yang harus perusahaan bayarkan.

Sistem peringatan dini yang bisa dibentuk dalam bidang penerimaan dan pengeluaran dapat dibedah menggunakan teori permainan, khususnya pada tipe permainan inspeksi. Dalam pembedahan proses korupsi menggunakan teori ini, Kautsar dan Handoyo (2009) menyimpulkan dalam penelitian mereka, bahwa pelaku korupsi akan memaksimalkan pay off, sehingga terjadi pola interaksi di antara pelaku.

Dengan kata lain, solusi yang bisa ditanamkan dalam sistem terkait dengan berapa biaya yang harus mereka pertaruhkan untuk sebuah korupsi yang mereka lakukan. Jika keuntungan dari korupsi yang koruptor lakukan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, maka tindak pidana korupsi akan terus menerus terjadi.

Dalam makalah mereka, trade off yang menjadi lawan dari keuntungan aktifitas korupsi yang dilakukan adalah disutilitas hukuman dan utilitas reputasi yang dipertaruhkan dibandingkan dengan keuntungan yang diharapkan. Oleh sebab itu sistem peringatan dini dapat didesain dengan mempertimbangkan berapa jumlah disutilitas hukuman dan utilitas reputasi dibandingkan dengan keuntungan yang berpotensi terjadi. Jika disutilitas hukuman dan utilitas reputasi lebih kecil dari potensi keuntungan korupsi, maka sistem peringatan dini bisa memberikan informasi bahwa potensi korupsi rawan terjadi sehingga harus dilakukan penanganan serius.

Selain dari telaah teoritis dari teori permainan, sistem peringatan dini ini juga bisa dijabarkan secara administratif dengan menilai opini laporan keuangan, dokumentasi sumber penerimaan, potensi penerimaan dan realita penerimaan, fungsi penerimaan dan fungsi pencatatan, pembukuan termasuk laporan, budaya kerja instansi dan lain sebagainya.

Dengan mengkombinasikan telaah teori permainan dan adiminstrasi, maka desain sistem peringatan dini diharapkan mampu memberikan sinyal jika potensi korupsi rawan terjadi.

Kesimpulan

Penanganan korupsi harus dilakukan secara menyeluruh, baik pencegahan maupun koreksinya. Penanganan korupsi dalam hal pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan pengendalian internal dalam organisasi ataupun institusi. Salah satu alternatif pencegahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan sistem peringatan dini (early warning system).

Sistem peringatan dini akan memberikan informasi bagi kemungkinan terjadinya korupsi. Dengan kata lain, sistem peringatan dini akan meminimalisir dampak dari korupsi atau bahkan menghindarinya secara penuh.

Referensi

Baswir, Revrisond. 1988. Akuntansi Pemerintahan Indonesia. BPFE, Yogyakarta.

Edison, Hali J. 2000. Do Indicators of Financial Crises Work? An Evaluation of Early Warning System. International Finance Discussion Paper. No. 657.

Ferraz, Claudio & Finan Frederico. 2007. Electoral Accountability and Corruption in Local Governments: Evidence from Audit Reports.  Discussion Paper No. 2843.

Grimaud, Antoine Fraure; Laffont, Jean-Jacques; Martimort, David. 2001. Transaction Cost of Collusion and Organizational Design. USC CLEO Research Paper No. C01-17.

Guo, Qiu Jun; Zheng, You De. 2011. Construction of Corruption Early Warning Mechanism. Advanced Material Research. Vol. 204-210

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1991. Depdikbud: Jakarta.

Kautsar, Iqbal & Handoyo, Felix Wisnu. 2009. Penerapan Game Theory dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia. Makalah dalam acara Ekonomi Bebas Korupsi. Yogyakarta.

Lambsdorff, Johan Graff. 2003. How Corruption Affects Productivity. Kyklos, 56: 457–474.

Lawarree, Jacques & Kofman, Fred. 1996. A prisoner's dilemma model of collusion deterrence. Journal of Public Economics. Volume 59, Issue 1.

Musa Kayrak. 2008. Evolving challenges for supreme audit institutions in struggling with corruption. Journal of Financial Crime. Vol. 15 Iss: 1, pp.60 – 70.

Seligson, Mitchell A. 2002. The Impact of Corruption on Regime Legitimacy: A Comparative Study of Four Latin American Countries. Journal of Politics. Volume 64, Issue 02.

Tanzi, Vito & Davoodi, Hamid Reza. 2000. Corruption, growth, and public finances. Working Paper No. 00/182

Termoshuizen, Marjanne. 2002. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Transparancy International. 2008. “Bribe Payers Index 2008”.

Transparancy International. 2010. “Corruption Perception Index 2010

Tribun News. 2010. “Potensi Kerugian Negara Akibat Korupsi Capai Rp 2 Triliun”.

UU No. 31 tahun 2009. Tindak Pidana Korupsi.

Walker, S; Alpert, G.P; and D. J kenney. 2001. Early Warnings Systems: Responding to the Problem Police Officer. Research in Brief, U.S. Department of Justice. Washington DC.

Yuriandi, Agung. 2011. Kolusi Suap antara Pejabat Indonesia dan Perusahaan Asing.

4 komentar:

  1. kenapa sa? wkwkwk

    BalasHapus
  2. ini yang buat GMAD itu Nova? yang trio ama iqbul, mas yoga ya? atau bukan? haha, cuman nanya :) tadi ketemu blog-mu dari wall Didin :)
    eh, tapi kalo emang paper ini mau buat semacam GMAD gitu apa gag lebih oke lagi pembahasannya pake metode kualitatif semacam interview dengan pihak terkait yang oke gitu ya, pak? petinggi-petinggi pemerintahan mungkin :P tapi aku gag tahu juga ding, hahaha~
    aniwey, it's great! (secara aku gag tau apa-apa soal akun pemerintahan)

    BalasHapus
  3. Kagak wi, ini paper cuma buat tugas akuntansi pemerintahannya Pak Revrisond, kalo paper yang buat GMAD tu ribet banget, hahaha, nanti tak posting terus tak kasih tau kamu...

    BalasHapus