Jumat, 10 Juni 2011

Janji pasir

"Aku mengenal dikau

tlah cukup lama separuh usiaku
namun begitu banyak
pelajaran yang aku terima

segala kebaikan
takkan terhapus oleh kepahitan
ku lapangkan resah jiwa
karna ku percaya kan berujung indah


kau membuatku mengerti hidup ini
kita terlahir bagai selembar kertas putih
tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai
dan terwujud harmoni”


(padi, harmoni)



Berdendang dalam kehampaan yang fana. Memutih dalam cerah yang berkelabutan. Membiru seperti langit yang tak menemukan ujungnya. Menghampar bebas dalam lautan imajinasi liar. Seolah jejeran batang dan daun memekik tajam, pada kabut tipis yang terlihat dari atas ‘bukit menangis’.

Di jalan aku bertemu pasir, yang berbeda dari pasir di sana. Pasir pantai yang menjadi saksi injakan-injakan kita. Di kala kejenuhan dan peluh itu menyerang. Pasir-pasir yang menjadi saksi tawa riang kita. Di saat kita bertemu dan bercengkerama dekat. Pasir-pasir yang tersisa lekat akibat gulat canda yang kita lakukan.

Sekarang aku di sini. Pasir-pasir itu tak ada. Pasir di sini berbeda. Pasir-pasir di sini berserakan. Tak indah sama sekali. Pasir-pasir di sini kejam, tak berperasaan, dan jahat. Mereka beterbangan dan menyakiti. Kadang hingga menyelinap ke mata dan membuatku menangis.

Aku rindu pasir ini. Pasir-pasir yang tersenyum. Seolah menyambutku dengan hangat. Membawaku melayang dalam lautan canda dan tawa bersamamu. Menghadirkan masa-masa indah yang entah kapan kan kutemui lagi. Seputih abu-abu, biru bahkan merah itu.

Tujuh tahun yang lalu, di saat penerbangan itu, hingga saat ini di penerbangan ini. Keduanya sama. Keduanya berpisah. Bedanya saat itu kita janji kan bertemu lagi di sini. Namun saat ini, janji kita tuk kan bertemu di atas sana, di area kesuksesan.

Beberapa tahun lagi kan kutagih janji kita. Janji pada pasir, yang telah kita injak bersama. Dalam tawa, canda, kehangatan, kasih, dan tangis. Janji yang tertulis indah dalam setiap doa dan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar