Jumat, 15 Mei 2009

Era Turbulance, Paradigma Turbulance

Banyak orang mengatakan bahwa dunia telah memasuki era yang disebut era informasi. Era dimana informasi menjadi kekuatan utama yang tak terbantahkan dan tak terelakkan jika ingin memenangkan pertarungan. Lihat saja Hilton Hotel yang berinvestasi triliunan rupiah  dalam pengembangan sistem customer servicenya. Dengan sistem tersebut Hilton memiliki informasi customernya secara lengkap dan detail, jauh meninggalkan competitor-competitornya dan menjadi satu pemain teratas untuk kompetisi bisnis perhotelan. Contoh lain bisa dilihat pada perusahaan Coca Cola, yang juga menginvestasikan triliunan rupiah hanya demi informasi customer, melakukan survey untuk mengetahui informasi selera customer sebelum launching produk barunya, zero sugar, yang walaupun tidak seperti yang diharapkan ternyata mampu memberikan kesimpulan pada Coca Cola bahwa customernya sangat fanatik dengan Coca Cola Classicnya. Di bidang politik, kita bisa melihat beberapa partai yang cukup keberatan dengan aktivitas Quick Count dengan alasan informasinya mampu mempengaruhi suara pemilih jika di publish ketika proses pencoblosan dilakukan. Alhasil dibuatlah peraturan dalam mekanisme Quick Count oleh negara agar jalannya pemilu tidak timpang ke arah satu pihak. Informasi memang telah menjadi harta karun berharga bagi setiap orang yang hidup di masa sekarang.

Tidak hanya era informasi ternyata, banyak orang yang mengatakan bahwa era saat ini telah memasuki era velocity (kecepatan). Kecepatan menjadi modal utama setiap orang menghadapi zaman yang semakin turbulance dan bergolak. Krisis ekonomi beberapa saat lalu yang dipicu oleh subprime mortgage di Amerika begitu mencengangkan dunia karena peristiwa tersebut begitu tidak bisa diduganya. Pada masa-masa itu dunia berada pada keadaan yang tenang dan seolah tanpa bahaya, namun seketika itu pula semua orang takjub melihat perubahan kondisi ekonomi dunia yang tiba-tiba berubah. Investor-investor dunia tiba-tiba berada pada kondisi ekstrem dan selangkah menuju kebangkrutan saham yang baru kemarin nilainya melambung tinggi. Salah satu contoh ini adalah bukti bahwa setiap negara dan orang yang tidak memiliki kemampuan beradaptasi dan bereaksi secara cepat pastilah akan tergusur di era velocity ini.

Kedua trend ini harus dipahami oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan potensi sumber daya alam luar biasa. Di zaman yang sangat kompetitif bangsa Indonesia harus faham bahwa uang ataupun sumber daya alam bukanlah satu-satunya kekuatan dalam memenangkan pertarungan. Kekuatan utama yang menjadi kunci kemenangan ada pada knowledge. Banyak bangsa besar yang memiliki potensi sumber daya alam berlimpah tetapi berada pada urutan cukup bawah dalam hal kekayaan dan kesejahteraan. Sebaliknya banyak bangsa yang jika dipandang kasat mata hanya memiliki daerah sempit dan tanah yang gersang, tetapi mampu menempati posisi cukup atas dalam hal kesejahteraan. Fenomena ini bukanlah hal yang ajaib jika cara berpikir di mulai dari trend era yang saat ini terjadi. Seperti kata seorang tokoh: Money is what fueled the industrial society. But in informational society, the fuel, the power, is knowledge[1].

Latar belakang tersebut menjadi dasar pemikiran bahwa bangsa Indonesia harus merubah tindakannya ke arah yang lebih radikal. Era baru yang telah dijelaskan di awal tulisan jelas tidak bisa dihadapi dengan sikap dan aktivitas zaman kuno, dimana sikap dan tindakan muncul dari keadaan lingkungan yang stabil dan tidak kompetitif. Era baru yang menjadi trend saat ini mensyaratkan setiap bangsa mampu bersikap terhadap kondisi lingkungan yang turbulance dan kompetitif. Jika Bangsa Indonesia tidak mampu bersikap dan mengantisipasi kondisi lingkungan modern yang ada sekarang, bisa dipastikan nasib bangsa ini akan stagnan tanpa kemajuan.

Salah satu langkah kongkret yang bisa dilakukan oleh bangsa ini untuk menghadapi berbagai kondisi lingkungan modern adalah meningkatkan secara signifikan kualitas perencanaan di tingkat strategik[2]. Perencanaan di tingkat strategik memiliki arti perencanaan yang didasarkan pada informasi masa depan bukan informasi masa lalu. Perencanaan di tingkat strategik memfokuskan diri pada hal-hal yang bersifat strategis dan jangka panjang, bukan hal-hal yang bersifat tactical dan operational.

Hal inilah yang menjadi kelemahan utama bangsa Indonesia dalam menetapkan perencanaan. Bangsa Indonesia masih menetapkan perencanaan bukan di tingkat atau tataran strategik, melainkan masih berkutat pada perencanaan di tingkat atau tataran tactical dan operational semata. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah sama sekali tidak diambil berdasarkan informasi atau kondisi yang diperkirakan terjadi di masa depan, tetapi diambil berdasarkan informasi atau kondisi yang ada saat ini atau bahkan telah berlalu. Setiap orang bisa melihat bagaimana kebijakan BLT diambil sebagai akibat perencanaan yang buruk pada tahun-tahun sebelumnya karena tidak memasukkan unsur inflasi minyak bumi dunia. Akibatnya saat harga minyak bumi dunia benar-benar melambung bangsa ini kewalahan dan menetapkan kebijakan yang sangat pragmatis, BLT. Terlepas dari setuju atau tidak, penilaian obyektif harus dilakukan pada perencanaan kebijakan tersebut. Seandainya perencanaan pemerintah beberapa tahun sebelumnya matang dan berkualitas bisa dipastikan kebijakan yang dikeluarkan pun akan bersifat lebih strategik, solutif, dan jangka panjang. Era Informasi atau beberapa orang menyebutnya dengan nama era kecepatan seperti yang saat ini terjadi diprediksi akan tetap seperti ini dalam beberapa dekade ke depan. Oleh karena itu bangsa ini harus cepat merubah perencanaannya ke arah yang lebih strategis sebagai modal utama menghadapi tantangan masa depan.

Salah satu perencanaan kongkret yang bisa dilakukan oleh bangsa ini untuk menghadapi kondisi lingkungan masa depan adalah pengembangan di bidang IPTEK. Era informasi dan kecepatan mau tidak mau pasti akan sangat dekat dengan teknologi dan ilmu pengetahuan di dalamnya. Kedua hal tersebut terkait erat bahkan bisa diibaratkan sebuah mata koin yang memiliki dua sisi. Sebuah bangsa yang telah menyiapkan IPTEK sebagai senjata untuk menanggulangi masa depan yang turbulance, lebih dari yang saat ini terjadi, akan menjadi bangsa yang besar dan siap dengan perubahan. Sebaliknya bangsa yang tidak menyiapkan kemampuan IPTEKnya dan hanya memfokuskan kebijakan pada hal-hal yang bersifat tactical dan operational hanya akan menjadi korban dari ganasnya perubahan.

Hal ini bisa dipahami karena dari masa ke masa Ilmu pengetahuan dan Teknologi pada era informasi menjadi pilar utama penyangga kemajuan suatu bangsa. Jepang misalnya, yang dengan IPTEKnya berhasil memajukan sektor kelautan mereka jauh melebihi Indonesia sebagai negara maritim dengan cara memanggil ikan-ikan di perairan indonesia mendekat ke daerahnya; Amerika yang dikenal dengan Negeri Paman Sam, berhasil menguasai ekonomi dunia dengan berbagai-macam kelebihannya di bidang teknologi informasi, industri, dan bisnis; Korea Utara yang selalu berselisih dengan Korea Selatan, sekarang ditakuti bahkan oleh negara superpower sekelas Amerika hanya karena teknologi Nuklir yang dirintisnya; dan masih banyak lagi kisah-kisah negara besar yang diakui kekuatannya dengan bermodalkan sebuah IPTEK.

Penting rasanya untuk merefleksi dan mengikuti beberapa jejak negara maju tersebut dalam langkah Indonesia berikutnya. Namun ada hal penting yang harus digaris bawahi secara tebal jika membandingkannya dengan Indonesia. Negara besar yang memiliki berbagai macam potensi ini ternyata memiliki berbagai permasalahan yang mendasari pengembangan IPTEKnya. Salah satu penyebabnya adalah investasi yang lemah dari pemerintah dalam upayanya mengembangkan IPTEK dan menjadikannya investasi jangka panjang di masa depan.

Investasi yang lemah tersebut sebenarnya memiliki turunan penyebab-penyebab lain yang mendasari sikap pemerintah tidak memilih investasi dalam bidang IPTEK sebagai kebijakan utama. Salah satu penyebabnya adalah persoalan dana, yang biasanya juga menjadi alasan pertama yang mendasari. Pengembangan IPTEK seperti yang dilakukan oleh Korea Utara untuk Nuklirnya tidak membutuhkan dana yang sedikit, menurut sebuah sumber, dana yang dipakai oleh Korea Utara dalam mengembangkan teknologi Nuklirnya berkisar sekitar USD 25 juta[3]. Hal ini juga yang terjadi dalam pengembangan IPTEK beberapa negara maju dunia, rata-rata mereka menghabiskan banyak sekali dana untuk pengembangannya. Indonesia sempat mencoba untuk melangkah dengan pengembangan IPTEK anak bangsanya dalam hal alternatif bahan bakar non migas beberapa waktu lalu. Ketika itu pemerintah memberikan harapan dan apresiasi kepada seorang Joko Soeprapto[4] yang bahkan oleh UMY telah diberikan dana 1 Milyar untuk menemukan alternatif bahan bakar tersebut,  namun sayang, penelitian itu tidak seperti yang diharapkan dan akhirnya uang 1 Milyar tersebut habis tanpa memberikan arti.

Pengembangan IPTEK memang membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dana yang sangat besar dan juga waktu yang cukup lama. Bayangkan, dana 1 Milyar bukanlah dana yang sedikit. Dana sebesar itu akan sangat berguna jika diposkan ke pos-pos yang lebih membutuhkan dan memiliki turn over lebih cepat, apalagi jika dibenturkan dengan realita bahwa Indonesia saat ini tengah berada dalam kondisi yang tidak begitu baik dan membutuhkan suntikan dana di beberapa posnya.

Permasalahan lain yang menyebabkan pengembangan IPTEK cukup terhambat adalah tingkat kepopuleran kebijakan pengembangan IPTEK di negeri ini yang cukup rendah dibanding kebijakan seperti BLT, swasembada beras, atau yang lainnya. Hal ini wajar jika melihat alur kepemimpinan Indonesia tidak memiliki tongkat estafet kebijakan yang jelas. Di negeri ini, pergantian kepemimpinan berarti juga pergantian kebijakan secara frontal, tanpa estafet kebijakan dan tanpa planning pewarisan yang jelas. Di awal dikatakan bahwa kebijakan di Indonesia masih berada pada tingkatan tactical dan operational, dan mungkin saja masalah kepemimpinan ini adalah masalah yang dominan mendasarinya.

Akibat dari estafet kebijakan yang tidak berjalan, kebijakan yang diambil di negeri ini tidak diarahkan ke arah yang strategis dan jangka panjang. Pengambilan keputusan yang bersifat strategis dan jangka panjang memiliki resiko besar untuk ditentang beberapa pihak dan rakyat utamanya, karena memang dampak dan hasil yang didapatkan dari proses pengembangan IPTEK tersebut baru bisa dirasakan dalam waktu yang lama. Sementara selagi menunggu dampak dan hasil dari investasi pemerintah terhadap pengembangan IPTEK masalah terus bermunculan dan rakyat serta semua pihak menuntut hak dan kemajuan negeri bisa dirasakan secepatnya.

Permasalahan inilah yang menjadi tantangan besar di negeri ini terkait dengan pengembangan IPTEK yang ingin dilakukan. Pemimpin negeri ini harus berani berpikir dan bersikap radikal dalam membuat kebijakan, yaitu dengan mempertimbangkan keadaan yang akan terjadi di masa depan, bukan hanya mendasarkan perencanaan pada informasi masa lalu. Perencanaan harus diangkat ke tingkatan dan tataran yang lebih strategik yang kongkretnya bisa diwujudkan dengan pengembangan IPTEK.

Change is the law of life. And those who look only to the past or present are certain to miss the future[5]. Bangsa ini harus secepat mungkin mengganti cara merencanakan kebijakan yang berbasis informasi masa lalu karena era masa depan sangat berbeda dibanding dengan era sekarang atau masa lalu. Oleh karena itu, perubahan paradigma secara radikal penting ditanamkan sehingga bangsa ini akan siap dengan perubahan yang akan terjadi di masa depan.


[1] John Kenneth Galbraith

[2] Diambil dari slide presentasi Mulyadi yang berjudul “Strategic management Accounting”

[3]http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9421&coid=3&caid=31&gid=3

[4]http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/18/19100611/joko.soeprapto.demonstrasikan.temuannya.

[5] J.F. Kennedy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar