This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 13 Februari 2009

Universitas Peradaban

Dalam setiap lukisan indah sejarah peradaban suatu negeri, tercantum pula di kutipan-kutipannya, peran besar universitas bagi kemunculan dan perkembangan peradaban di suatu daerah. Universitas yang dalam aktivitasnya selalu mencanangkan tentang sebuah idealisme menjadi seolah-olah tempat kelahiran bagi pemimpin-pemimpin besar peradaban. Oleh karena itu tidak salah ketika nabi-nabi pun dalam langkah-langkah da’wahnya mengedepankan penekanan ilmu pengetahuan pada universitas, bukan pada pendidikan menengah.

Peran besar universitas dalam membangun peradaban tidak bisa diragukan lagi. Fakta sejarah menunjukkan bahwa hampir semua peradaban besar dunia memiliki universitas atau pendidikan yang setara dengan itu, meskipun tidak menggunakan istilah universitas. Di zaman kuno yunani menggunakan istilah akademi plato, di Cina terdapat universitas Shang-Hsiang, yang kemudian menjadi universitas Taixue dan Guozijian, di Persia terdapat akademi Gundishapur dan Harran, di India terdapat universitas Nalanda dan Ratnagiri, di Syria Utara terdapat Edessa dan monastri-monastri. Di zaman klasik Vietnam terdapat universitas Quoc Tu Giam (universitas nasional). Universitas tertua dan pertama di Eropa adalah Mag-naura yang berdiri tahun 849 di Konstantinonpel, disusul oleh universitas Preslav dan Ohrid di Bulgaria. Universitas Bolgona di Italia, Universitas Paris di Perancis yang kemudian digabung dengan Sorbone.[1]

Oleh karena itu jelas mahasiswa sebagai produk dari aktivitas di universitas idealnya adalah pioneer-pioneer peradaban dalam perannya memperbaiki peradaban yang rusak. Mahasiswa seolah seharusnya menjadi pejuang-pejuang peradaban, pahlawan-pahlawan tidak dikenal, yang berjuang dengan kemampuan kecerdasannya dan berusaha tanpa harap balas dan jasa dalam perbaikan peradaban. Mahasiswa idealnya memiliki gambaran riil dan langkah jelas tentang perbaikan-perbaikan yang akan dilakukan. Mahasiswa adalah pemuda-pemuda pilihan, yang mempunyai impian-impian besar dan keyakinan kuat akan segala sesuatu.

Namun beberapa decade belakangan ini universitas seperti mengalami pergeseran peran, berbeda dengan beberapa decade-dekade awal sebelum revolusi industry, dimana universitas mengarah kepada ilmu-ilmu yang cenderung elitis. Universitas saat ini tak ubahnya seperti mesin pencetak robot-robot pekerja. Universitas telah kehilangan kemampuan dan arahnya dalm mencetak pejuang-pejuang peradaban, yang olehnya terpanggul impian-impian besar para orang tertindas, para rakyat jelata, para buruh yang terzalimi, dan sebagainya. Bahkan lebih parah lagi, universitas hampir tidak pernah mengajarkan pembangunan moral dan kepedulian di tengah kemegahan kurikulumnya. Adopsi penuh terhadap ilmu-ilmu barat sepenuhnya oleh universitas dengan meninggalkan sifat kedaerahan menyebabkan kebutaan nurani budaya tradisional generasi-generasi muda khususnya mahasiswa sebagai produk-produk sistem tersebut. Ilmu-ilmu barat cenderung sangat materialistic dan intelektualistik mengesampingkan moral dan nilai-nilai luhur dan bahkan hampir mengesampingkan ketuhanan dalam setiap kajiannya, lalu kemudian mempengaruhi paradigm yang digunakan dan berimbas kepada peradaban dan sistem tata hidup manusia di dalamnya. Hal ini terjadi di setiap daerah yang menggunakan sistem tersebut, tidak terkecuali Indonesia salah satunya.

Indonesia sebagai negara mayoritas muslim dunia seharusnya mengerti bahwa sifat kedaerahan yang digunakan dalam acuan sistem tata hidupnya berasal dari Islam, yang dalam Islam sistem tata hidupnya sangat bertentangan dengan barat. Paradigm dasar dalam Islam sangat menjunjung tinggi nilai dan moral dalam setiap sistem pengaturannya, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam Islam berangkat dari keyakinan bahwa di atas segala-galanya ada Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Pandangan dasar dalam Islam tentang ilmu pengetahuan memiliki perbedaan pada ada tidaknya moral dan nilai-nilai kebaikan di dalamnya.

Perubahan terhadap peradaban yang sudah sangat mapan tersebut sudah pasti tidak mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang cepat. Terlebih lagi, pembangunan peradaban tersebut tidak bisa dilakukan secara parsial dari gerakan bawah saja atau dari kebijakan atas saja. Harus ada gerakan dari setiap elemen untuk menjadikan tujuan pembangunan peradaban baru tersebut tercapai secepatnya.

Di situlah peran gerakan sosial yang ada, khususnya KAMMI. Kenyataan bahwa universitas tidak lagi berada pada relnya, yaitu pusat dari peradaban, membutuhkan gerakan perbaikan pada mahasiswa-mahasiswa hasil produk dari universitas tersebut. KAMMI berperan besar untuk mengisi kekosongan bahkan memperbaiki paradigm yang dibangun oleh kurikulum universitas, sehingga mampu terbentuk mahasiswa-mahasiswa yang ideal sesuai sejarah awal keberadaan universitas di tengah peradaban. Mahasiswa-mahasiswa tangguh yang berpikir tentang masa depan bangsa, yang peduli terhadap tantangan-tantangan bangsa, dan memiliki paradigm Islam yang syumul, yang rahmatan lil ‘alamin, yang merupakan jawaban atas segala persoalan yang terjadi.







[1] ISLAMIA, Volume III No. 3, 2008.



Selasa, 20 Januari 2009

Diam atau Bergerak untuk Bumi yang Lebih Baik

Selayang bayangan lamunanku terbang membayangkan keindahan surga dimana Adam dan Hawa menjalani awal-awal kehidupannya. Ya,….. sungguh mungkin saat-saat itu adalah saat kehidupan terindah yang pernah ada dalam kehidupan manusia. Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kolam madu dan susu, kesejukan dan kedamaian tiada tara, dan semua kenyamanan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia yang berada pada zaman setelahnya. Adam dan Hawa menjalani kebahagiaan tiada tara itu, bahkan mendapatkan semua keinginan tanpa harus berusaha keras meraihnya, namun sayang, suatu ketika mereka melakukan kesalahan fatal memakan buah khuldi yang terlarang. Buah yang seharusnya tidak dimakan oleh penduduk surga itu mereka makan dan menjadikan Allah membuat keputusan atas ketidaksyukuran mereka, yaitu akhirnya Allah mengasingkan mereka di di tempat baru karena kesalahan mereka, tempat baru yang sangat berbeda dengan surga, tempat baru yang kemudian menjadi tempat ukiran batu sejarah kehidupan manusia.

Sekelumit kisah tertua tersebut menjadi mukaddimah awal perenungan urgensi jati diri manusia dan hubungannya dengan bumi. Dalam gambaran selayang pandang di atas manusia tergambar sebagai ‘makhluk asing’, alien-alien yang datang ke bumi karena diasingkan akibat dari kesalahan mereka melanggar peraturan surga. Bisa disimpulkan bahwa manusia dalam perspektif tersebut seharusnya mengerti posisi dan sejarah jati diri mereka sebagai pendatang, bukan sebagai bangsa ‘pribumi’.

There’s not coincidence in this universe, tidak ada yang kebetulan di jagat raya ini, dalam refleksinya terhadap kejadian sejarah perpindahan manusia dari surga ke bumi kata-kata ini menjadi kata-kata yang seharusnya dipegang teguh sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang keliru. Keyakinan yang kuat muncul dari dalam hati saya dan mengatakan bahwa Allah sudah mendesign semua ini, Allah sudah mengatur dan menuliskannya di lauhul mahfudz tentang keberadaan dan tugas sebenarnya di bumi, menjadi khalifah dan mengatur bumi dengan segenap pikiran dan otoritasnya sehingga terbentuk bumi yang lebih baik dan sejahtera.

Sangat disayangkan saat ini kata-kata tersebut hanya menjadi kata-kata langit yang seolah mengambang-ambang di udara tanpa memiliki massa, terbang ringan dan terapung di langit biru dan tidak mampu tertarik jatuh oleh gravitasi bumi. Kata-kata bahwa manusia seharusnya menjadi khalifah hanya menjadi angan-angan belaka tanpa impelementasi konkret dalam kehidupan bumi dari hari ke hari. Bisa kita lihat contoh konkret bagaimana bumi saat ini mengalami krisis udara bersih, air bersih, hutan, tanah yang subur, bagaimana kita mengetahui juga bahwa bumi mengalami masalah global warming, yang berimplikasi pada sangat terganggunya kehidupan manusia dan makhluk-makhluk bumi yang ada. Pembangunan gedung-gedung bertingkat seolah makin hari makin menyapu peradaban tumbuhan dan hewan, mempersempit ruang gerak mereka dan akhirnya membunuh mereka yang berada di daerah tersebut. Kendaraan-kendaraan bermotor yang setiap hari lalu lalang menerbangkan asap-asap polusi dan melubangi ozon yang luasnya hampir sebesar eropa. Limbah-limbah pabrik yang tidak bisa hancur makin lama makin menumpuk hampir menjadi setinggi bukit dan menghasilkan bau yang sangat mengganggu di sekitarnya, bahkan menyebabkan longsor pada beberapa daerah rawan longsor.

Pertanyaannya sekarang, apakah semua hal itu adalah hasil dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban yang makin maju dari manusia? Mengapa 3 hal yang seharusnya menjadikan kehidupan manusia makin baik tersebut malah menciptakan bencana jangka panjang bagi kehidupan seluruh makhluk bumi?

Saya pikir segala bencana tersebut adalah hasil dari cara berpikir manusia yang keliru. Dari masa ke masa entah mengapa pendidikan dari rendah sampai yang tinggi sekalipun hasilnya adalah mencetak manusia-manusia pragmatis tanpa kepedulian. Tingginya ilmu pengetahuan tidak lantas linear menyebabkan masalah kebumian ini terpecahkan. Terjadi pengkotak-kotakan tanggung jawab. Masalah kebumian ini seperti lantas menjadi beban dan tanggung jawab beberapa manusia yang memang mengurusinya, seperti menteri kehutanan dengan professor-professor di bidang kehutanan, atau menteri lingkungan beserta professor-professor di bidang lingkungan saja. Sementara professor-professor atau menteri-menteri teknologi, ekonomi dan bisnis yang paling memiliki andil besar dalam kerusakan bumi hanya segelintir yang tergerak hatinya untuk memikirkan masalah ini. Seharusnya mereka-mereka adalah garda terdepan yang memikirkan masalah-masalah yang timbul akibat kemajuan-kemajuan teknologi dan profit oriented yang ada yang kemudian memberikan dan menularkan pemikiran-pemikiran mereka pada murid-murid atau masyarakat luas. Akan sangat banyak manfaatnya ketika mereka turut andil dalam menyukseskan pemecahan masalah kebumian yang ada, transfer ilmu dan semangat perbaikan bumi akan sangat terasa di seluruh daerah di bumi dan menjadikan revolusi besar dalam perbaikan bumi ke arah yang lebih baik.

Hal ini harus dilakukan secepatnya mengingat bumi sudah hampir kehilangan kesabarannya menghadapi perantau asing yang bernama manusia ini. Bumi sudah cukup suntuk mengingatkan tamunya ini dengan sedikit sentilan dan colekan gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin rebut, dan sebagainya. Akankah kita semua berdiam diri melihat semua realita yang ada dan berdiam diri dengan segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi pada manusia yang bahkan sampai pada kepunahan manusia? Ini semua adalah tanggung jawab kita semua, para penduduk bumi, untuk menyadarkan teman, saudara, orang tua, kakek nenek ,dan semua orang untuk bergerak bersama sekecil apapun dalam rangka perbaikan bumi ke arah yang lebih baik.

Rindu

Suara rintikan air kecil jatuh membelai udara……………

Mengalun merdu……………..

Lembut menghanyutkan…………

Mendamaikan……

Membirukan……..

Menyuarakan keanggunan tiada tara dari kenangan-kenangan indah terukir……


Keteduhan sore yang ditemani gemericik hujan ini…..

Seolah mengingatkanku pada sesuatu……

Merindukanku pada rindu……

Yang sehelai demi helainya hilang dalam ingatan dan hatiku….


Kata-kata “Selamat jalan”….. “Sukses”…….. “Sampai bertemu lagi”……. seiring terucap…..

Satu setengah tahun yang lalu…… di pemberangkatan penerbangan itu……….

Terngiang-ngiang dan membuat dada ini sesak…….


Aku merindukannya…….. masa-masa indah akan lantunan ayat-ayat suci dengan hati-hati sewarna…..

Aku merindukannya…….. tawa bahagia bersama tangisan haru membiru……

Aku merindukannya…….. kebersamaan…… yang saat ini sedang mengendap tidur di balik selimut waktu….


Aku seolah tidak sabar menunggu masa dimana kita bisa bertemu lagi…… bercengkrama lagi….

Saling menanyakan kabar dan berbincang tentang masa depan……….

Berjalan langkah demi langkah dengan keringat yang sama-sama mengucur membasahi kening dan pelupuk wajah…………


Aku tidak sabar bertemu dengan kalian kawan……..

Semoga Allah mempertemukan kita dalam lautan kerinduan-Nya………

Amien……..

Jumat, 26 Desember 2008

Cacat Paradigma BHP

teng-sadar 

Sebuah catatan sejarah awal perubahan suatu bangsa mayoritas bermula dari dobrakan tradisi intelektualitasnya, tradisi kegelisahan yang timbul akibat dari penyimpangan realita-realita dari idealita-idealita yang ada. Kegelisahan-kegelisahan tersebutlah yang dalam catatannya kemudian membuncah dan menginspirasi para terdidik membuat sedikit sentilan gerakan social di tubuh dan organ-organ masyarakat. Lalu bak gumpalan salju mulai menggelinding dan membesar sampai batas dimana terbentuk bola besar, meluncur dengan cepat dan berat menghantam hancur realita-realita yang ada dan membangkitkan kesadaran untuk berangkat kembali pada idealita awal.

Para terdidik tersebut adalah manusia-manusia yang peduli terhadap apa yang tidak sewajarnya dan mengatakan apa yang seharusnya. Mereka adalah intelektual-intelektual pendidikan, bukan bebek-bebek pendidikan yang dengan sangat senangnya terikat dan tergembala pasrah tanpa perlawanan.

Pendidikan seharusnya menjadi alat ampuh pencetak manusia-manusia berkarakter seperti itu. Namun faktanya, miris mengetahui kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini, yang dimaknai sangat dangkal dan kering, kehilangan jati diri sebagai pendidikan yang memiliki ruh pembentuk kepribadian manusia seperti itu. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi masyarakat yang walaupun melelahkan tetapi ampuh dan berjangka panjang tereduksi menjadi sangat kerdil sebatas intelektualistis dan materialistis ala barat. Pendidikan intelektualistis dan materialistis ala barat sepert itu tidak menjawab kebutuhan bangsanya. Kebijaksanaan, seni, dan ilmu pengetahuan yang terbukti lebih unggul, diterima untuk memperkaya kebudayaan nasional.” (Ki Hajar Dewantara)[1]

Disadari atau tidak pergeseran pemahaman pendidikan seperti ini telah terjadi pada masyarakat Indonesia dimana pendidikan dipahami secara sangat pragmatis. Pendidikan yang menjadi andalan bangsa Indonesia dulu menentang kolonialisme saat ini disetarakan derajatnya menjadi seolah-olah barang komoditas. Masyarakat bisa melihat bahwa UU BHP membuka ruang lembaga pendidikan untuk leluasa membebankan anggaran pendidikan kepada siapapun, membuat biaya pendidikan makin mahal, dan menjadikan manusia-manusia berpotensi gagal atas nama biaya pendidikan.

permasalahan UU BHP tidak selesai sampai pada tataran financial, tetapi lebih dari itu adalah paradigma masyarakat. Pendidikan akan kehilangan ruh semangat nasionalisme dan kebijaksanaannya ketika lambat laun terbiasa diperdagangkan dengan financial, bukan semangat dan kerja keras. Pendidikan akan lebih mengalami pendangkalan khas barat, meterialistik dan intelektualistik, dalam suasana perdagangan pendidikan yang terjadi.

Kita adalah bangsa Indonesia yang oeh Ki Hajar dewantara dikatakan memiliki khas pendidikan sendiri, berbeda dari pendidikan barat. Pendidikan-pendidikan kita tidak seharusnya sepenuhnya sama dengan perguruan tinggi sekelas Harvard atau pun Barkley University. Mahalnya sekolah-sekolah luar negeri tidaklah lantas menjadi alasan sekolah-sekolah kita pun menjadi semakin mahal. Paradigm masyarakat yang lambat laun semakin pragmatis dan apatis harus diselamatkan dari pendidikan yang juga tidak pragmatis dan apatis. Paradigm itu hanya akan dibangun lewat sebuah pendidikan tepat ala Indonesia,, yang merakyat bukan mengkapital, sesuai cita-cita founding fathers kita dalam pembukaan UUD kita, mencerdaskan kehidupan bangsa.







[1] Diambil dari buku yang berjudul: JEJAK-JEJAK PAHLAWAN, karya J.B.Soedarmanta