Minggu, 28 September 2008

Monarki dalam Lingkungan Intelektual




Sejarah kepemimpinan Indonesia berawal dari kerajaan-kerajaan yang melegenda dengan kekuatan-kekuatannya, ada Samudra Pasai, Demak, Sriwijaya, Majapahit dan lainnya. Sejarah legenda kekuatan-kekuatan lama bangsa ini terlukis dari prasasti-prasasti dan arca-arca peninggalan mereka. Banyak cerita kegemilangan kerajaan terukir dalam sejarah dan menjadi asupan manis untuk generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Tidak akan menyangkal siapapun orangnya, jika disebut nama Majapahit, maka Hayam Wuruk dan Gadjah mada adalah nama pertama yang terlintas dalam benak. Keluarbiasaan Gadjah Mada dalam mengikrarkan Sumpah Palapanya cukup membuka mata kita bahwa ternyata ide tentang kesatuan bangsa telah ada lama jauh sebelum pergerakan-pergerakan persatuan dari intelektual muncul. Contoh lain bagaimana decak kagum setiap warga bangsa terdengar ketika diceritakan tentangnya kerajaan Sriwijaya dengan Balaputradewa yang berhasil menjelma menjadi sebuah kerajaan besar dengan HANKAM dan Ekonomi yang sangat kuat.


Gambaran-gambaran di atas cukup memberikan sebuah pancingan pertanyaan tentang arti dari keberadaan raja-raja tersebut dan hubungannya dengan kesuksesan dan kemunduran kerajaan. Dalam cerita-cerita sejarah hampir bisa dipastikan, penyebutan nama kerajaan dengan achievementnya pasti tidak akan lepas dari peran raja. Satu alasan yang pasti paling mudah terucapkan adalah yah, they’re the leader. Jika berbicara masalah leader sebenarnya leader tidak hanya berpengaruh di Jawa yang menggunakan sistem pemerintahan monarki, Di luar jawa pun yang mungkin menggunakan sistem pemerintahan non monarki leader sangat berperan dalam kemajuan dan kemunduran dari sesuatu yang dipimpinnya. Namun yang menarik disini adalah, bagaimana fluktuasi kemajuan dan kemunduran kerajaan-kerajaan jawa dulu sangat dinamis. Sangat berbeda halnya dengan kemajuan dan kemunduran yang terjadi di sistem pemerintahan non monarki, contoh Inggris dengan parlementernya saat ini, atau Amerika dengan presidensiilnya. Kemajuan dan kemunduran yang terjadi di dua negara tersebut tidak terlalu ekstrem dan kontras. Mungkin tidak adil rasanya ketika kita membandingkan 2 kerajaan yang hidup pada masa berbeda. Akan tetapi hal ini dimaksudkan untuk membandingkan 2 hal yang memang bertolak belakang. Perlu diakui bahwa pada zaman dahulu memang hampir tidak ada sistem pemerintahan parlementer atau presidensiil, begitu pula saat ini hampir tidak ada sistem pemerintahan monarki.


Jika ditinjau kembali, dahulu memang sistem pemerintahan monarki yang diterapkan di jawa memunculkan dan membuka sebuah jalan tentang cara pandang masyarakat jawa terhadap rajanya. Raja jawa dahulu dipandang sebagai seseorang yang sangat terhormat, memiliki wewenang besar dan bahkan diagung-agungkan oleh masyarakatnya. Sebuah titah raja adalah hukum tertulis yang diakui dan dilaksanakan oleh rakyatnya. Tindakan-tindakan dan segala perkataannya dianggap baik walaupun kadang menyimpang. Tidak heran jika memang kemajuan dan kemunduran yang terjadi dalam kerajaan itu di kait-kaitkan dengan rajanya. Kepandaian raja adalah kepandaian kerajaan, kemajuan raja adalah kem ajuan kerajaan, kebodohan raja adalah kebodohan kerajaan, kemunduran raja juga adalah kemunduran kerajaan. Satu kata dari raja untuk semua kerajaan. Tidak ada advokasi, tidak ada pembelaan, semua menerima dengan ikhlas dan senang hati.


Di zaman yang serba turbulance dan dinamis seperti saat ini, sebenarnya sangat mudah untuk mengambil kesimpulan bahwa sistem seperti itu sudah usang dan ketinggalan jaman. Namun kenyataannya ternyata sistem tersebut masih ada saja yang menggunakan sampai sekarang. Perbedaan antara kedua masa itu hanyalah terletak pada pengakuannya saja, artinya sistem monarki saat ini menyusup atau sengaja disusupkan ke dalam sistem yang mengaku modern. Jika organisasi yang menggunakan hal ini hanya organisasi kecil dan tidak mempunyai pertanggungjawaban yang besar wajar saja digunakan sistem seperti ini. Akan tetapi menjadi bermasalah apabila sistem seperti ini digunakan pada organisasi besar yang memiliki tingkat pluralitas tinggi dan pertanggungjawaban besar. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya dan menyangsikan keberadaan hal semacam itu. Tetapi faktanya itu memang masih ada bahkan di sebuah organisasi besar yang seharusnya mengimplementasikan arti dari demokrasi. Organisasi yang seharusnya menjadi pembelajaran terhadap sistem yang saat ini digunakan negara. Organisasi yang seharusnya melahirkan intelektual-intelektual muda yang kritis terhadap perubahan dan kebenaran dari sistem yang digunakan, organisasi bernama fakultas.


Fakultas yang seharusnya mengimplementasikan kedemokrasian dengan segala tanggung jawabnya terhadap pelahiran intelektual kritis dan menjadi sebuah pembelajaran mini dari negara yang besar, ternyata masih terinspirasi dari kemonarki-monarkian kerajaan-kerajaan masa lalu. Opini ini bisa diperkuat dengan melihat bukti konkret seperti apa cara pandang mahasiswa terhadap dekan, the leader of faculty. Seorang dekan dipandang sebagai seorang yang memiliki keagungan karena jabatan tingginya. Seperti nama keramat yang menjadi momok bagi mahasiswa-mahasiswa umumnya dan organisatoris khususnya, entah karena kewibawaannya atau karena otoriternya. Permintaan dana, izin, ataupun konsultasi acara pun harus melalui birokrasi yang berbelit-belit dan panjang. Seperti pejuang benteng takeshi yang harus melalui berbagai macam rintangan dan halangan untuk bertemu seorang kaisar. Benar alasan bahwa ini wajar mengingat kontrol terhadap segala kegiatan fakultas akan baik dengan birokrasi yang panjang. Akan tetapi implikasinya, gerak mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi dan idealismenya di masa yang serba cepat saat ini seringkali terhambat hanya pada permasalahan izin dari otoritas seorang kaisar fakultas, dekan.


Beberapa waktu yang lalu beberapa fakultas termasuk FEB telah melakukan ritual penentuan 4 tahun nasib fakultas ke depan. Ritual itu adalah pemilihan dekan. Seperti yang kita ketahui, betapa sakralnya pemilihan-pemilihan ketua-ketua dan pemimpin-pemimpin sebuah organisasi besar. Kita ketahui bagaimana contoh kasus terjadinya konflik antara 1 kumpulan melawan kumpulan yang lain karena merasa bahwa terjadi ketidak adilan penghitungan suara pilkada, Ban-ban dibakar, tawuran, demonstrasi dan sebagainya. Seperti itulah seharusnya pemilihan dekan itu berlangsung, bukan anarkinya, tetapi kesakralannya. Pemilihan dekan harusnya menjadi sesuatu yang sakral dan melibatkan semua civitas akademika fakultas. Pemilihan dekan adalah gerbang awal dari potret bagaimana nasib fakultas ini ke depannya, seperti yang telah dituliskan di atas tentang kesamaan raja pada kerajaan masa lampau dan dekan pada fakultas. Kepandaian dekan adalah kepandaian fakultas, kemajuan dekan adalah kem ajuan fakultas, begitu pula sebaliknya ‘ketidakpintaran’ dekan adalah ‘ketidakpintaran’ fakultas, kemunduran dekan juga adalah kemunduran fakultas.


Saat ini, berhenti sejenak dan coba renungi tentang kondisi universitas pada umumnya dan fakultas khususnya. Kampus UGM yang dibangga-banggakan oleh masyarakat dahulu sebagai kampus kebangsaan yang berdiri atas dasar nasionalisme dan cinta tanah air, yang seharusnya beridealismekan kerakyatan, berubah menjadi kampus komersial yang mensyaratkan kedudukan intelektualitas sejajar dengan kedudukan jumlah sumbangan SPMA yang dibayarkan. Kampus yang mengaku menganut Thridarma perguruan tinggi yang salah satunya adalah pengabdian masyarakat, menggusur pedagang kaki lima pada saat Ramadhan tanpa pemberitahuan dan sosialisasi yang benar dan baik. Kampus yang diakui di Indonesia dan Asia Tenggara sebagai kampus dengan reputasi cukup tinggi dan luar biasa memiliki mahasiswa-mahasiswa pragmatis dan apatis yang cenderung berfoya-foya dan bersenang-senang tanpa memikirkan orang yang membutuhkan. Kampus yang disebut-sebut sebagai kampus intelektual ternyata salah dua calon dekan di fakultas berbeda melakukan ‘kerja kelompok’ untuk menentukan visi misi pada saat presentasi pemilihan dekan fakultas masing-masing. Alhasil visi misi mereka berdua 80% sama persis, hanya diganti font dan warna-warnanya. Luar biasa…… bobrok. Bayangkan, mahasiswa saja jika bekerjasama dalam ujian akan langsung diberi nilai E, tidak lulus, apalagi dekan yang melakukan seperti itu.


Sudah menjadi keniscayaan bahwa harus ada yang berbuat, bergerak untuk merubah, atau setidaknya tanggap dan peduli akan hal itu. Menilik dari sejarah masa lalu bangsa Indonesia yang pencetusan ide kemerdekaan berasal dari intelektual-intelektual masa itu, bisa di ambil benang merah bahwa ada harapan kepada mahasiswa-mahasiwa yang notabene adalah intelektual-intelektual untuk peduli pada hal ini dan mencoba bersama-sama membahas dan bergerak mengambil sikap. Sudah menjadi kodratnya bahwa intelktual-intelektual muda harus memegang teguh prinsip dan idealisme yang dimilikinya sebagai pihak yang mengingatkan atau bahkan meluruskan segala penyimpangan yang ada, Penyimpangan yang terjadi karena kewajaran dan toleransi berlebihan yang berulang-ulang terjadi. Mahasiswa-mahasiswa UGM yang ketika seleksi penerimaannya menjatuhkan hampir 20 orang lainnya memiliki tanggung jawab besar dalam rantai perubahan ini. Kita semua harus ingat bahwa di bahu mahasiswa-mahasiswa apalagi UGM tergantung dan berpegangan orang-orang lain yang tertindas dan terluka yang mengharapkan para intelektual-intelektual muda mau peduli dan menyuarakan suara mereka.


Pernahkah kita berpikir tentang suara-suara hati karyawan yang setiap hari menyambut mahasiswa di tempat parkir dan memberikan karcis parkir. Setiap hari mereka duduk di tempat parkir sampai bulan ramadhan juga mereka berbuka puasa di tempat parkir. Pernahkah kita berpikir tentang suara hati karyawan cleaning service, setiap hari memakai baju biru kurang sesuai berada di tengah-tengah mahasiswa glamor dan fasilitas fakultas yang mentereng. Pernahkah kita berpikir tentang suara hati ibu-ibu yang berjualan makanan-makanan kecil dan berkali-kali digusur oleh satpam fakultas. Pernahkah kita berpikir tentang kakek-kakek peminta yang tiap pagi duduk di depan fakultas untuk meminta sedikit rezeki milik kita karena kerasnya kehidupan memaksa dia untuk melakukan hal seperti itu. Atau jangan—jangan kita malah merasa risih dan kurang nyaman dengan keberadaan mereka. Na’udzubillahimindzallik.


Perubahan itu bukan hanya persoalan waktu. Menyerah atau menyerahkannya pada sang waktu sama saja berharap tanpa mau berbuat. Bergerak adalah awal dari sebuah perubahan. Dan diam bukanlah jawaban atas peliknya persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar