Seorang "intelektual" bukan hanya sekadar berfikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, walau apapun rintangannya. Seorang intelektual yang benar tidak boleh berkecuali, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. “Dia tidak boleh menjadi intelektual bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan". (Sharif Shaary)[1]
Demikian pandangan seorang tokoh tentang makna intelektual. Seolah terkesan sangat suci, mulia, dan sarat akan kesan kepahlawanan. Bayangkan saja seorang anak manusia yang pikirannya penuh akan ilmu pengetahuan, tetapi hatinya sadar akan kondisi dan realita yang terjadi di sekitarnya. Dia berusaha keras berpikir untuk menjadi penghubung ilmu langit yang idealis dengan kondisi bumi yang cenderung pragmatis. Lebih jauh dari itu seperti yang telah dikatakan, “dia tidak boleh menjadi intelektual bisu, kecuali dia betul-betul dibisukan,” secara kongkret dia mengatakan dengan lantang dan berani akan apa yang dia yakini kebenarannya dengan ilmu yang cukup, bukan dengan pikiran yang kosong.
Anak manusia ini mungkin tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang segelintir saja, tetapi kontribusi mereka melebihi jumlah mereka secara kasat mata. Pernah terdengar sebuah penelitian yang dikabarkan oleh seorang dosen, tentang penelitian yang dilakukan terhadap profesor-profesor muda Universitas Gajah Mada. Entah apa latar belakang penelitian tersebut, tetapi yang pasti hasilnya sangat mengejutkan dan membuka mata kita. hasil dari penelitian tersebut adalah mayoritas profesor-profesor muda yang ada di UGM mengalami kematian muda dengan penyakit yang bermacam-macam. Banyak yang mengambil kesimpulan bahwa otak manusia dan tubuh manusia memiliki keterbatasan yang tidak bisa dipaksakan. Profesor-profesor muda tersebut dikatakan mencapai bahkan melebihi batas maksimal dari tubuh dan otak manusia sehingga ketidak-kuatan tersebut menumpuk dan terakumulasi menjadi umur yang berkurang.
Boleh saja setiap orang mengambil kesimpulan apapun tentang penelitian ini, namun akan lebih bijak apabila pengambilan kesimpulan tidak hanya diambil sebatas itu, terlalu dangkal. Hal ini terkait dengan jumlah intelektual yang tercatat dalam sejarah sebagai segelintir manusia yang sedikit. Namun sejarah mencatat, bahwa jumlah selalu bukanlah faktor kesuksesan yang utama, melainkan kualitaslah faktor utamanya. Semua orang bisa melihat, bahwa umur seorang profesor muda, pasti akan lebih bermakna dan berkualitas walaupun sedikit dibanding oleh umur seorang koruptor misalnya. Jumlah umur bukanlah segalanya, ada yang lebih dari itu, yaitu kualitas umur. Begitu pula analoginya dengan jumlah para intelektual yang cuma sedikit tersebut, walaupun sedikit kontribusi mereka ternyata luar biasa.
Makna intelektual yang umurnya berkualitas karena mereka berani untuk mengatakan kebenaran berdasarkan ilmu yang mereka miliki seharusnya menjadi sebuah pencerahan baru bagi putra-putra kampus yang saat ini tenang berada dalam kuri-kursi kayu di dalam kelas dingin dan papan tulis putih yang dilengkapi dengan LCD proyektornya. Intelektual-intelektual yang tercatat dalam sejarah lalu tidak memiliki kemiripan pola belajar seperti yang saat ini ditunjukkan dalam kegiatan belajar mengajar universitas. Mereka belajar secara kongkret dan nyata dengan membandingkan apa yang mereka pelajari dengan kenyataan yang ada lalu mengatakan “tidak” ketika melihat bahwa realita yang terjadi memang ternyata tidak seperti yang seharusnya. Mereka berani mengatakan itu, berbeda sekali dengan ‘intelektual-intelektual’ masa kini yang duduk tenang dengan kebanggaan di hati mereka tentang gelar dan payung universitas besar yang mereka miliki padahal mereka belum berkontribusi apa-apa minimal untuk lingkungan di sekitarnya.
Kondisi Indonesia masih miris sampai saat ini, walaupun telah 10 tahun era reformasi bergulir. Di sana-sini banyak sekali keadaan yang menyedihkan, dimana selalu kondisi tersebut tidak seharusnya terjadi, tidak seharusnya ada, bahkan jika direfleksikan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajari di kampus-kampus idealis. Hal ini seharusnya mendorong bakal-bakal tunas intlektual untuk muncul dan memberantas anomali-anomali yang terlalu banyak ini. Siapapun tahu bahwa Indonesia pantas untuk menjadi sebuah negara maju bahkan super power sekalipun dengan sumber daya dan potensi yang dimilikinya.
Mulai dari diri sendiri mungkin salah satu jawaban jangka pendeknya. Jangka pendek, karena kebangkitan intelektual tidak bisa dibangun secara individual, tetapi secara kolektif seharusnya. Namun untuk membuat sebuah langkah kongkret yang tegas, mulai dari diri sendiri mungkin jawaban tepat. Mulai untuk berani mengatakan apa yang seharusnya tidak terjadi, menanyakan terus menerus akan apa yang terlihat aneh dan tidak benar, dan tanggap serta peka terhadap permasalahan sekitar. Tidak hanya fokus menjadi pembelajar sukses, tetapi lebih jauh dari itu fokus untuk menjadi intelektual sukses.
[1] www.wikipedia.co.id, intelektual.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Seolah2 sikap kita akan mempengaruhi lingkungan!, betul begitu?
BalasHapusyup.....
BalasHapussekecil apapun sikap kita, pasti akan berpengaruh pada lingkungan kita....
minimal lingkungan terdekat kita....
keluarga....