Prita Mulyasari, ibu dua anak ini seketika mencuat namanya di media-media negeri ini. Penyebabnya sederhana, beliau menceritakan masalah perawatan yang didapatkan dari RS.Omni Internasional via e-mail kepada sepuluh orang temannya. Surat elektronik tersebut terus menyebar sampai ke beberapa milis dan akhirnya sampai kepada rumah sakit tersebut. Merasa nama baiknya dirugikan, rumah sakit Omni Internasional tersebut kemudian membawa permasalahan ini ke dunia hukum dengan dasar tuntutan pencemaran nama baik. Ibu Prita pun akhirnya dipenjara beberapa minggu sambil menunggu keputusan kejaksaan atas dirinya.
Setiap orang mengecam aksi RS. Omni Internasional yang dengan serta merta membawa kasus ini kepada meja peradilan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun ikut bersuara, “kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen,” kata Indah Suksmaningsih di Jakarta, Kamis 4 Juni silam (Kompas.com, kamis 4 Juni 2009, YLKI: Kasus Prita Bentuk Pembungkaman terhadap Konsumen).
Di momen yang hampir bersamaan, dua kasus yang lain pun muncul menghiasi headline-headline media, Manohara dan Ambalat menjadi selebritis dalam perjalanan pemberitaan negeri ini. Kedua kasus yang sama-sama berhubungan dengan negeri Malaysia ini memiliki kesamaan dalam efek yang terjadi di masyarakat, sudah pasti hal itu adalah kemarahan dari setiap elemen masyarakat kepada negeri tetangga Indonesia ini. Untuk Manohara, tidak main-main, Deplu sampai turun tangan langsung mengatasi permasalahan ini, ““Kita akan fasilitasi melibatkan keluarga, agar bisa bertemu. Kita sedang upayakan mudah-mudahan ada realisasi. Pihak Malaysia sudah memberikan sinyal positif,” terang Jubir Deplu RI,Teuku Faizasyah. (Surya online, Kamis, 23 April 2009, Posts by: Judi Prasetyo, Kasus Manohara Mulai Goyang Malaysia).
Ada yang janggal dari kondisi ini. Sekilas kejanggalan itu terasa ketika melihat bagaimana media menggembar-gemborkan permasalahan Prita, Manohara, maupun Ambalat. Pemberitaan kasus-kasus tersebut seperti terlalu dibesar-besarkan, padahal masih banyak yang merasakan kasus seperti itu atau bahkan lebih berat tetapi tidak mendapatkan porsi pemberitaan yang layak. Efek yang dihasilkan oleh kasus-kasus tersebut pun jika dipikirkan secara jernih tidak cukup besar untuk mempengaruhi jalan dari negara ini. Bukan berarti juga bahwa kasus-kasus tersebut tidak perlu mendapatkan perhatian. Kasus-kasus tersebut perlu mendapatkan perhatian, namun tidak seharusnya mencuat sebesar saat ini.
Kejanggalan ini semakin menggelitik ketika meninjau rekam jejak keadaan yang hampir mirip 2008 lalu ketika bentrok FPI dengan AKBB di Monas menjadi kasus yang tiba-tiba mencuat. Kasus tersebut terjadi di Monas saat massa AKBB sedang berorasi untuk membela jemaah Ahmadiyah, bentrok terjadi ketika tiba-tiba massa FPI datang dan langsung merangsak ke daerah massa AKBB. Beberapa terluka termasuk ibu-ibu dan seketika itu pula kasus tersebut menjadi bahan pembicaraan santer di seluruh media nasional.
Kejadian bentrok tersebut dinilai oleh Amien Rais sebagai rekayasa politik saja, ”Saya sudah niteni, rezim yang terbukti gagal membuat kesejahteraan bagi rakyat dan menambah pengangguran serta kemiskinan pasti akan mencari isu untuk mengalihkan perhatian rakyatnya. Ini hanya untuk mengalihkan masalah saja,” kata beliau. (Suara Merdeka, 06 Juni 2008). Tidak cukup sampai situ, kasus-kasus lain pun seperti kekerasan di UNAS, bantuan mahasiswa lima ratus ribu per semester, dan foto syuur anggota DPR-RI menjadi kasus-kasus yang tiba-tiba mencuat dan seketika mengalihkan perhatian masyarakat tentang isu kenaikan harga BBM yang memang momennya bertepatan saat itu.
Melihat rekam sejarah tersebut ada indikasi saat ini pemerintah sengaja mengalihkan isu permasalahan DPT legislatif lalu dan permasalahan DPT pilpres nanti, serta meredam kasus Antasari Azhar yang penangkapannya mau tidak mau juga pasti mempengaruhi prestasi dan kinerja dari lembaga KPK. DPT pilpres contoh yang masih bermasalah, "Kasus DPT yang terjadi di 15 provinsi ini cukup banyak. Dalam satu Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur saja terdapat 2.216 kasus DPT," kata anggota Bawaslu Agustiani Tio Friedelina Sitorus di Jakarta, Senin, 1 Juni 2009 (Media Indonesia.com). Belum lagi permasalahan DPT legislatif lalu dan Antasari Azhar yang tidak terbayangkan multiplier effectnya jika diperhatikan secara serius oleh media.
Indikasi permainan konspirasi yang berasal dari pihak-pihak yang berkepentingan terasa cukup kuat jika melihat sistematika sejarah yang telah disebutkan. Walaupun bukti-bukti kongkret tidak bisa dimunculkan, benang merah antara beberapa kejadian tersebut tidak bisa terbantahkan dan sepatutnya diperhatikan secara seksama. Prioritas atas hal-hal yang terjadi perlu dibuat untuk menjadikan hal-hal yang sangat penting yang terkait penyelenggaraan negara atau korupsi bisa dikonsumsi secara proporsional oleh warga negara ini. Rakyat sudah cukup lelah dibohongi dan dibodohi. Era demokrasi hanya menjadi omong kosong jika informasi dan media masih dikuasai oleh satu kepentingan. Keadilan harus ditegakkan, dengan langkah awal penyebaran informasi yang merata dan proporsional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Memang kadang kita suka sampai bingung... dlm wkt bersamaan banyak kasus yg menyedot perhatian , tentang Manohara yg masih simpang siur,Capres Cawapres..kasus Prita yg juga masih gak jelas ! jadi mana yg buat mengalihkan ?! atau mana yg dialihkan? ato mungkin ada yg sengaja bikin swasana jadi ruwet !???
BalasHapusentahlah...
BalasHapusyang pasti, ada yang bermain di belakang isu-isu ini...
ya anehlah kalo masalah Rumah sakit dan TKI kita jadi headline koran...
aneh bukan karena berita itu ga penting...
tapi karena sebenarnya berita itu bukan berita baru alias sudah banyak korban yang mirip bahkan lebih parah sebelum berita manohara dan prita....
tapi untuk kedua ini, kenapa terkesan begitu digembar-gemborkan...
kenapa????
itu yang aku tanyakan....
sementara kita mempunyai masalah yang lebih penting, korupsi, dan pilpres...
yang sekarang isunya terbenam dalam isu-isu prita dan manohara....