Research university, sebuah gaungan indah dan sangat idealis ini terpatri dalam visi Universitas Gajah Mada. Universitas ndeso tapi mendunia ini cukup membuat semua mata terbelalak ketika cantuman visinya benar-benar serius direncanakan. Lihat saja sekolah vokasi yang menjadi bukti keganasan UGM mengejar targetnya. Sekolah yang dibentuk untuk memisahkan D3 UGM dengan S1nya sehingga memudahkan UGM dalam mencapai visinya, menjadi research university dan melahirkan researcher-researcher handal di tengah sesak pergulatan kehidupan bangsa Indonesia.
Tak jauh jaraknya dari gedung pusat UGM, fakultas ekonomi yang berada di sebelah Graha Sabha Pramana pun dengan sangat berani menuliskan visinya secara tegas, Meet the Global Challenge yang akhirnya tercanang dalam visinya. Yap, tak salah lagi, Meet the global challenge berarti tatapan strategis FEB UGM tak hanya terbatas pada lingkungan internal negeri, tetapi juga telah berani melangkah keluar menembus dinding negara dan menyapa seluruh penduduk dunia. FEB secara khusus membenahi berbagai macam organnya, dari struktural sampai kepada tataran paling bawah, yaitu kegiatan mahasiswanya agar setiap bagian dari BEM FEB UGM bisa bergerak searah menuju internasionalisasi fakultas. Publikasi-publikasi terpampang glamour di banyak papan pengumuman dengan tema seragam, yaitu internasionalisasi, kegiatan-kegiatan mahasiswa mendapatkan stimulus cukup baik terkait dengan prestasi mereka di lingkup internasional dan akses-akses terbuka sangat luas bagi mahasiswa yang ingin melaksanakan student exchange.
Diperhatikan sekilas, progresifitas fakultas dan universitas bisa diacungi dua jempol ditilik dari visi misi dan proses langkah geraknya. Namun ada sesuatu yang dirasa masih janggal, masih aneh, dan masih butuh pembenahan lebih penting. Entah bagaimana menjelaskan hal tersebut, tetapi yang pasti idealisme para birokrat UGM memiliki sudut pandang yang agak berbeda dengan sudut pandang aktivis-aktivis gerakan sosial kampus. Aktivis-aktivis gerakan sosial kampus jelas akan memandang visi misi ini dengan dampaknya di bidang sosial yang bakal terjadi. Akibatnya, muncul beberapa pertanyaan dari kalangan-kalangan gerakan sosial terkait impian UGM ini, mendongkrak kah?? Atau malah mengeroposkan??
UGM sudah dikenal sebagai universitas ndeso yang mendunia, yang punya sejarah berdiri di atas keresahan rakyat, yang peduli akan nasib bangsa dan negara, dan mendengungkan keotentikan dan keaslian pribadi Indonesia. Bukan berarti UGM tidak boleh berbenah diri melakukan manuver-manuver perubahan seperti Globalisasi dan modernisasi untuk kemajuan, tetapi masalahnya muncul ketika UGM dengan citra kerakyatan yang sangat kental ini akhirnya pun berubah mengikuti trend, meninggalkan keotentikan dan menjadi homogen dengan universitas lainnya di indonesia.
Fakta bahwa trend globalisasi dan kebarat-baratan telah mewarnai universitas-universitas besar indonesia kini jelas tak terbantahkan. Kita bisa melihat secara kasat mata, bagaimana budaya yang terbentuk di tengah mahasiswa dalam kehidupannya. Kita pun bisa melihat bagaimana dosen-dosen saat ini seperti tak henti-hentinya mencekoki otak dan pendengaran kita dengan kata “modern”. Skeptis, tetapi penting dikatakan, karena sebenarnya indonesia tidak membutuhkan aksi modernisasi sempit untuk mencapai tujuan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Ada hal yang perlu digarisbawahi lebih tebal di sini, bahwa sesungguhnya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat tidak hanya sempit dipandang pada masalah struktur, fasilitas, kurikulum dsb, tetapi juga pembentukan mental, pribadi dan mindset dari mahasiswa itu sendiri. Percuma mengatakan bahwa universitas UGM adalah universitas besar yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan dengan kemampuan bahasa canggih dan kompetensi melangit, tetapi akhirnya pemimpin-pemimpin tersebut diam melihat realita yang ada dan bahkan lari ke Singapura, Australia, Amerika, Brunei Darussalam, Singapura, dll karena merasa di sana memiliki prospek kehidupan yang lebih baik.
Banyak perbedaan pendapat pasti terkait masalah pembangunan untuk menjadikan UGM lebih baik, dan semuanya pasti memiliki argumen dan sudut pandang logis. Walau pun tidak bisa ekstrem pula memandang pembangunan mental, mindset, dan pribadi berarti mengacuhkan struktur, kurikulum, dan sebagainya, begitu pun sebaliknya. Semuanya terkait satu sama lain, dan berhubungan layaknya simbiosis mutualisme. Hanya saja perlu jujur pada diri sendiri dengan bertanya pada hati nurani terdalam dengan menjawab, “Apakah kondisi mahasiswa saat ini sudah cukup siap menerima sistem yang mengarah kepada internasionalisasi atau pun Research university?”. “Apakah permasalahan mahasiswa UGM sebenarnya adalah permasalahan kualitas intelektual yang tidak bisa menandingi pemikiran-pemikiran cerdas mahasiswa-mahasiswa luar negeri, atau jangan-jangan permasalahan utama justru terletak pada permasalahan jiwa, kepribadian, mindset, sikap, perilaku, dan kepedulian mahasiswa UGM kepada lingkungan, kampus, dan bangsanya??”
Perlu jujur dan obyektif menjawab beberapa pertanyaan di atas. Memang berat dan sama-sama memiliki alasan logis, tetapi ketika dihadapkan dengan perasaan, feelings, dan intuisi, bisa dipastikan bahwa permasalahan utama yang terdengar dari nurani adalah permasalahan mental, sikap, dan mindset hal yang kadang terlupakan di tengah gegap gempita ide-ide besar mencuat dalam imajiinasi-imajinasi sang intelektual. Kita semua berperan dalam perubahan ini. Akankah kita diam saja melihat kondisi dan realita yang terjadi seraya hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri saja, lalu kondisi diri kita menular pada saudara kita, teman-teman kuta, masyarakat kita, dan akhirnya negeri ini tak bergerak selangkah pun dari tempat semula, karena bangsanya apatis terhadap masalah yang terjadi. Mari bersama, kita pastikan diri kita, akan berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan negeri ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Nice articles.....thanks
BalasHapus"Mari bersama, kita pastikan diri kita, akan berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan negeri ini."
BalasHapusjadi inget kata2x Gendhis:
melakukan yang terbaik, bukan menjadi yang terbaik....
hohoohoooo...... thx ndhis, atas kalimat indahx..