“Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengendara motor gede mirip dengan fenomena gunung es, dimana hanya sebuah gunung kecil yang terlihat di permukaannya padahal di dalam perairan terdapat gunung es besar yang tidak terlihat.”
Perilaku seseorang di mana pun tempatnya, siapa pun dia, sebenarnya hanya merupakan gejala-gejala kecil dari luapan jati dirinya yang sebenarnya. Seorang yang tidak bisa tepat waktu contohnya, tidak bisa dilihat dan diklaim hanya bahwa seorang tersebut orang yang tidak disiplin. Di dalam tindakan dan tingkah lakunya terdapat sesuatu yang lebih besar dan mendasari semua perbuatannya. Di dalam kasus seorang yang telat tersebut ada sebuah paradigma besar yang bermasalah di alam bawah sadarnya, itu adalah permasalahan respect. Bisa jadi tindakan-tindakan yang dilakukannya dan tingkah laku yang ditunjukkan tidak selesai pada permasalahan kedisiplinan waktu, pasti ada hal-hal lain yang ikut bermunculan dan berasal dari paradigma yang sama tetapi dalam wujud yang berbeda. Bisa jadi dia juga adalah orang yang tidak hormat pada orang lain, tidak konsisten dengan kata-kata yang telah dia ucapkan, suka berbohong dan sebagainya.
Hal ini mirip dengan fenomena gunung es. Yaitu fenomena di mana gunung-gunung es yang terlihat hanya yang berada di atas permukaan, padahal di bawah gunung es tersebut terdapat gunung es raksasa yang tersembunyi di balik perairan dan menjadi akar dari semua gunung es yang bermunculan.
Teori gunung es ini sangat berkaitan dan sangat bisa direfleksikan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masih segar diingatan kita bagaimana cerita seorang Edwin yang menghadapi masalah dengan komunitas motor gede. Kejadian yang sebenarnya masih simpang siur, tetapi yang pasti, seorang istrinya yang sedang hamil 5 bulan beserta 3 orang anaknya menderita trauma. Kasus ini ter-blow up ke media dengan sangat santer dan mengisi headline-headline di berbagai tempat. Berbagai elemen masyarakat pun turut memberikan pendapat sesuai dengan bidang mereka masing-masing.
Motor gede paska kejadian itu memang menjadi pembicaraan hangat di beberapa tempat. Diskusi-diskusi di beberapa tempat bahkan sepakat bahwa komunitas motor gede tidak bisa ditolerir karena telah beberapa kali melakukan tindak anarki sehingga harus dibubarkan. Hal ini lumrah mengingat bagaimana track record dari kejadian-kejadian tindak kekerasan yang dilakukan komunitas ini memang telah beberapa kali terjadi.
Banyak sekali argumen miring yang terlontar dari masyarakat mengenai motor gede ini. Ada yang berpendapat bahwa motor gede hanyalah komunitas berisi preman-preman berduit. Ada yang mengatakan bahwa motor gede tidak membayar pajak. Ada yang mengadukan tentang pengalamannya yang tidak mengenakkan ketika berpapasan dengan pengendara motor gede di jalanan dan terpaksa harus mengalah. Lalu ada lagi yang mengkritik tindakan dan kelakuan mereka yang cenderung seperti raja, menerobos lampu merah, membuat pekak telinga dengan derum mesin motor mereka yang memang besar, berpenampilan layaknya orang yang harus ditakuti dan dihargai, dan sebagainya.
Beberapa lontaran penilaian negatif dari masyarakat kepada komunitas motor gede tersebut bisa jadi hanya sebuah gejala gunung es. Sebenarnya di bawah alam bawah sadar para pengendara motor gede tersebut ada paradigma yang bermasalah dan menyebabkan tindakan mereka menjadi seperti yang sekarang ini terjadi. Paradigma yang menjadi mayoritas penyebab masalah-masalah sosial yang terjadi. Paradigma respect.
Harga sebuah motor gede yang bisa disamakan dengan harga empat petak tanah itu pasti hanya bisa dimiliki oleh orang-orang kelas menengah atas dan bahkan cenderung kaya. Tidak mungkin sebuah motor gede bisa dimiliki oleh kalangan menengah ke bawah, apalagi mengingat perawatan dan bahan bakar yang harus menghabiskan biaya cukup banyak setiap periodenya. Di sinilah bisa di ambil akar permasalahannya. Komunitas motor gede yang mayoritas dimiliki oleh orang-orang kaya dan mapan tersebut pasti memiliki budaya dan etika bermasalah. Dan jika meminjam teori gunung es, bisa dikatakan bahwa budaya dan etika komunitas motor gede yang mayoritas dimiliki oleh orang-orang kaya dan mapan tersebut pasti berasal dari paradigma respect yang bermasalah.
Pendapat bahwa orang-orang kaya memiliki paradigma respect yang bermasalah memang tidak bisa digeneralisir. Tapi sayang, kenyataannya mayoritas seperti itu yang terjadi. Orang-orang yang berada di dalam komunitas itulah yang akhirnya membawa citra motor gede ke arah negatif dengan paradigma respect mereka yang bermasalah. Ini terbukti dari beberapa diskusi yang dilakukan bersama para anggota motor gede tersebut, dan mayoritas dari mereka mengatakan mereka tidak mengganggu kepentingan umum. Padahal dari penjaringan aspirasi yang dilakukan secara acak semua sampel masyarakat umum mengatakan motor gede mengganggu kepentingan umum. Percuma mengurusi sistematika dan mekanisme conrtrol terhadap komunitas ini. Permasalahan-permasalahan dalam bentuk yang lain pasti akan muncul dari komunitas motor gede ini jika paradigma respect tersebut masih bermasalah.
This is default featured post 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured post 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Rabu, 24 Juni 2009
Selasa, 09 Juni 2009
Isu yang Teralihkan atau Dialihkan
Prita Mulyasari, ibu dua anak ini seketika mencuat namanya di media-media negeri ini. Penyebabnya sederhana, beliau menceritakan masalah perawatan yang didapatkan dari RS.Omni Internasional via e-mail kepada sepuluh orang temannya. Surat elektronik tersebut terus menyebar sampai ke beberapa milis dan akhirnya sampai kepada rumah sakit tersebut. Merasa nama baiknya dirugikan, rumah sakit Omni Internasional tersebut kemudian membawa permasalahan ini ke dunia hukum dengan dasar tuntutan pencemaran nama baik. Ibu Prita pun akhirnya dipenjara beberapa minggu sambil menunggu keputusan kejaksaan atas dirinya.
Setiap orang mengecam aksi RS. Omni Internasional yang dengan serta merta membawa kasus ini kepada meja peradilan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun ikut bersuara, “kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen,” kata Indah Suksmaningsih di Jakarta, Kamis 4 Juni silam (Kompas.com, kamis 4 Juni 2009, YLKI: Kasus Prita Bentuk Pembungkaman terhadap Konsumen).
Di momen yang hampir bersamaan, dua kasus yang lain pun muncul menghiasi headline-headline media, Manohara dan Ambalat menjadi selebritis dalam perjalanan pemberitaan negeri ini. Kedua kasus yang sama-sama berhubungan dengan negeri Malaysia ini memiliki kesamaan dalam efek yang terjadi di masyarakat, sudah pasti hal itu adalah kemarahan dari setiap elemen masyarakat kepada negeri tetangga Indonesia ini. Untuk Manohara, tidak main-main, Deplu sampai turun tangan langsung mengatasi permasalahan ini, ““Kita akan fasilitasi melibatkan keluarga, agar bisa bertemu. Kita sedang upayakan mudah-mudahan ada realisasi. Pihak Malaysia sudah memberikan sinyal positif,” terang Jubir Deplu RI,Teuku Faizasyah. (Surya online, Kamis, 23 April 2009, Posts by: Judi Prasetyo, Kasus Manohara Mulai Goyang Malaysia).
Ada yang janggal dari kondisi ini. Sekilas kejanggalan itu terasa ketika melihat bagaimana media menggembar-gemborkan permasalahan Prita, Manohara, maupun Ambalat. Pemberitaan kasus-kasus tersebut seperti terlalu dibesar-besarkan, padahal masih banyak yang merasakan kasus seperti itu atau bahkan lebih berat tetapi tidak mendapatkan porsi pemberitaan yang layak. Efek yang dihasilkan oleh kasus-kasus tersebut pun jika dipikirkan secara jernih tidak cukup besar untuk mempengaruhi jalan dari negara ini. Bukan berarti juga bahwa kasus-kasus tersebut tidak perlu mendapatkan perhatian. Kasus-kasus tersebut perlu mendapatkan perhatian, namun tidak seharusnya mencuat sebesar saat ini.
Kejanggalan ini semakin menggelitik ketika meninjau rekam jejak keadaan yang hampir mirip 2008 lalu ketika bentrok FPI dengan AKBB di Monas menjadi kasus yang tiba-tiba mencuat. Kasus tersebut terjadi di Monas saat massa AKBB sedang berorasi untuk membela jemaah Ahmadiyah, bentrok terjadi ketika tiba-tiba massa FPI datang dan langsung merangsak ke daerah massa AKBB. Beberapa terluka termasuk ibu-ibu dan seketika itu pula kasus tersebut menjadi bahan pembicaraan santer di seluruh media nasional.
Kejadian bentrok tersebut dinilai oleh Amien Rais sebagai rekayasa politik saja, ”Saya sudah niteni, rezim yang terbukti gagal membuat kesejahteraan bagi rakyat dan menambah pengangguran serta kemiskinan pasti akan mencari isu untuk mengalihkan perhatian rakyatnya. Ini hanya untuk mengalihkan masalah saja,” kata beliau. (Suara Merdeka, 06 Juni 2008). Tidak cukup sampai situ, kasus-kasus lain pun seperti kekerasan di UNAS, bantuan mahasiswa lima ratus ribu per semester, dan foto syuur anggota DPR-RI menjadi kasus-kasus yang tiba-tiba mencuat dan seketika mengalihkan perhatian masyarakat tentang isu kenaikan harga BBM yang memang momennya bertepatan saat itu.
Melihat rekam sejarah tersebut ada indikasi saat ini pemerintah sengaja mengalihkan isu permasalahan DPT legislatif lalu dan permasalahan DPT pilpres nanti, serta meredam kasus Antasari Azhar yang penangkapannya mau tidak mau juga pasti mempengaruhi prestasi dan kinerja dari lembaga KPK. DPT pilpres contoh yang masih bermasalah, "Kasus DPT yang terjadi di 15 provinsi ini cukup banyak. Dalam satu Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur saja terdapat 2.216 kasus DPT," kata anggota Bawaslu Agustiani Tio Friedelina Sitorus di Jakarta, Senin, 1 Juni 2009 (Media Indonesia.com). Belum lagi permasalahan DPT legislatif lalu dan Antasari Azhar yang tidak terbayangkan multiplier effectnya jika diperhatikan secara serius oleh media.
Indikasi permainan konspirasi yang berasal dari pihak-pihak yang berkepentingan terasa cukup kuat jika melihat sistematika sejarah yang telah disebutkan. Walaupun bukti-bukti kongkret tidak bisa dimunculkan, benang merah antara beberapa kejadian tersebut tidak bisa terbantahkan dan sepatutnya diperhatikan secara seksama. Prioritas atas hal-hal yang terjadi perlu dibuat untuk menjadikan hal-hal yang sangat penting yang terkait penyelenggaraan negara atau korupsi bisa dikonsumsi secara proporsional oleh warga negara ini. Rakyat sudah cukup lelah dibohongi dan dibodohi. Era demokrasi hanya menjadi omong kosong jika informasi dan media masih dikuasai oleh satu kepentingan. Keadilan harus ditegakkan, dengan langkah awal penyebaran informasi yang merata dan proporsional.
Setiap orang mengecam aksi RS. Omni Internasional yang dengan serta merta membawa kasus ini kepada meja peradilan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun ikut bersuara, “kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen,” kata Indah Suksmaningsih di Jakarta, Kamis 4 Juni silam (Kompas.com, kamis 4 Juni 2009, YLKI: Kasus Prita Bentuk Pembungkaman terhadap Konsumen).
Di momen yang hampir bersamaan, dua kasus yang lain pun muncul menghiasi headline-headline media, Manohara dan Ambalat menjadi selebritis dalam perjalanan pemberitaan negeri ini. Kedua kasus yang sama-sama berhubungan dengan negeri Malaysia ini memiliki kesamaan dalam efek yang terjadi di masyarakat, sudah pasti hal itu adalah kemarahan dari setiap elemen masyarakat kepada negeri tetangga Indonesia ini. Untuk Manohara, tidak main-main, Deplu sampai turun tangan langsung mengatasi permasalahan ini, ““Kita akan fasilitasi melibatkan keluarga, agar bisa bertemu. Kita sedang upayakan mudah-mudahan ada realisasi. Pihak Malaysia sudah memberikan sinyal positif,” terang Jubir Deplu RI,Teuku Faizasyah. (Surya online, Kamis, 23 April 2009, Posts by: Judi Prasetyo, Kasus Manohara Mulai Goyang Malaysia).
Ada yang janggal dari kondisi ini. Sekilas kejanggalan itu terasa ketika melihat bagaimana media menggembar-gemborkan permasalahan Prita, Manohara, maupun Ambalat. Pemberitaan kasus-kasus tersebut seperti terlalu dibesar-besarkan, padahal masih banyak yang merasakan kasus seperti itu atau bahkan lebih berat tetapi tidak mendapatkan porsi pemberitaan yang layak. Efek yang dihasilkan oleh kasus-kasus tersebut pun jika dipikirkan secara jernih tidak cukup besar untuk mempengaruhi jalan dari negara ini. Bukan berarti juga bahwa kasus-kasus tersebut tidak perlu mendapatkan perhatian. Kasus-kasus tersebut perlu mendapatkan perhatian, namun tidak seharusnya mencuat sebesar saat ini.
Kejanggalan ini semakin menggelitik ketika meninjau rekam jejak keadaan yang hampir mirip 2008 lalu ketika bentrok FPI dengan AKBB di Monas menjadi kasus yang tiba-tiba mencuat. Kasus tersebut terjadi di Monas saat massa AKBB sedang berorasi untuk membela jemaah Ahmadiyah, bentrok terjadi ketika tiba-tiba massa FPI datang dan langsung merangsak ke daerah massa AKBB. Beberapa terluka termasuk ibu-ibu dan seketika itu pula kasus tersebut menjadi bahan pembicaraan santer di seluruh media nasional.
Kejadian bentrok tersebut dinilai oleh Amien Rais sebagai rekayasa politik saja, ”Saya sudah niteni, rezim yang terbukti gagal membuat kesejahteraan bagi rakyat dan menambah pengangguran serta kemiskinan pasti akan mencari isu untuk mengalihkan perhatian rakyatnya. Ini hanya untuk mengalihkan masalah saja,” kata beliau. (Suara Merdeka, 06 Juni 2008). Tidak cukup sampai situ, kasus-kasus lain pun seperti kekerasan di UNAS, bantuan mahasiswa lima ratus ribu per semester, dan foto syuur anggota DPR-RI menjadi kasus-kasus yang tiba-tiba mencuat dan seketika mengalihkan perhatian masyarakat tentang isu kenaikan harga BBM yang memang momennya bertepatan saat itu.
Melihat rekam sejarah tersebut ada indikasi saat ini pemerintah sengaja mengalihkan isu permasalahan DPT legislatif lalu dan permasalahan DPT pilpres nanti, serta meredam kasus Antasari Azhar yang penangkapannya mau tidak mau juga pasti mempengaruhi prestasi dan kinerja dari lembaga KPK. DPT pilpres contoh yang masih bermasalah, "Kasus DPT yang terjadi di 15 provinsi ini cukup banyak. Dalam satu Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur saja terdapat 2.216 kasus DPT," kata anggota Bawaslu Agustiani Tio Friedelina Sitorus di Jakarta, Senin, 1 Juni 2009 (Media Indonesia.com). Belum lagi permasalahan DPT legislatif lalu dan Antasari Azhar yang tidak terbayangkan multiplier effectnya jika diperhatikan secara serius oleh media.
Indikasi permainan konspirasi yang berasal dari pihak-pihak yang berkepentingan terasa cukup kuat jika melihat sistematika sejarah yang telah disebutkan. Walaupun bukti-bukti kongkret tidak bisa dimunculkan, benang merah antara beberapa kejadian tersebut tidak bisa terbantahkan dan sepatutnya diperhatikan secara seksama. Prioritas atas hal-hal yang terjadi perlu dibuat untuk menjadikan hal-hal yang sangat penting yang terkait penyelenggaraan negara atau korupsi bisa dikonsumsi secara proporsional oleh warga negara ini. Rakyat sudah cukup lelah dibohongi dan dibodohi. Era demokrasi hanya menjadi omong kosong jika informasi dan media masih dikuasai oleh satu kepentingan. Keadilan harus ditegakkan, dengan langkah awal penyebaran informasi yang merata dan proporsional.
Langganan:
Postingan (Atom)