This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 27 Mei 2009

Reinkarnasi Intelektual Sejati

Seorang "intelektual" bukan hanya sekadar berfikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, walau apapun rintangannya. Seorang intelektual yang benar tidak boleh berkecuali, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. “Dia tidak boleh menjadi intelektual bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan". (Sharif Shaary)[1]

Demikian pandangan seorang tokoh tentang makna intelektual. Seolah terkesan sangat suci, mulia, dan sarat akan kesan kepahlawanan. Bayangkan saja seorang anak manusia yang pikirannya penuh akan ilmu pengetahuan, tetapi hatinya sadar akan kondisi dan realita yang terjadi di sekitarnya. Dia berusaha keras berpikir untuk menjadi penghubung ilmu langit yang idealis dengan kondisi bumi yang cenderung pragmatis. Lebih jauh dari itu seperti yang telah dikatakan, “dia tidak boleh menjadi intelektual bisu, kecuali dia betul-betul dibisukan,” secara kongkret dia mengatakan dengan lantang dan berani akan apa yang dia yakini kebenarannya dengan ilmu yang cukup, bukan dengan pikiran yang kosong.

Anak manusia ini mungkin tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang segelintir saja, tetapi kontribusi mereka melebihi jumlah mereka secara kasat mata. Pernah terdengar sebuah penelitian yang dikabarkan oleh seorang dosen, tentang penelitian yang dilakukan terhadap profesor-profesor muda Universitas Gajah Mada. Entah apa latar belakang penelitian tersebut, tetapi yang pasti hasilnya sangat mengejutkan dan membuka mata kita. hasil dari penelitian tersebut adalah mayoritas profesor-profesor muda yang ada di UGM mengalami kematian muda dengan penyakit yang bermacam-macam. Banyak yang mengambil kesimpulan bahwa otak manusia dan tubuh manusia memiliki keterbatasan yang tidak bisa dipaksakan. Profesor-profesor muda tersebut dikatakan mencapai bahkan melebihi batas maksimal dari tubuh dan otak manusia sehingga ketidak-kuatan tersebut menumpuk dan terakumulasi menjadi umur yang berkurang.

Boleh saja setiap orang mengambil kesimpulan apapun tentang penelitian ini, namun akan lebih bijak apabila pengambilan kesimpulan tidak hanya diambil sebatas itu, terlalu dangkal. Hal ini terkait dengan jumlah intelektual yang tercatat dalam sejarah sebagai segelintir manusia yang sedikit. Namun sejarah mencatat, bahwa jumlah selalu bukanlah faktor kesuksesan yang utama, melainkan kualitaslah faktor utamanya. Semua orang bisa melihat, bahwa umur seorang profesor muda, pasti akan lebih bermakna dan berkualitas walaupun sedikit dibanding oleh umur seorang koruptor misalnya. Jumlah umur bukanlah segalanya, ada yang lebih dari itu, yaitu kualitas umur. Begitu pula analoginya dengan jumlah para intelektual yang cuma sedikit tersebut, walaupun sedikit kontribusi mereka ternyata luar biasa.

Makna intelektual yang umurnya berkualitas karena mereka berani untuk mengatakan kebenaran berdasarkan ilmu yang mereka miliki seharusnya menjadi sebuah pencerahan baru bagi putra-putra kampus yang saat ini tenang berada dalam kuri-kursi kayu di dalam kelas dingin dan papan tulis putih yang dilengkapi dengan LCD proyektornya. Intelektual-intelektual yang tercatat dalam sejarah lalu tidak memiliki kemiripan pola belajar seperti yang saat ini ditunjukkan dalam kegiatan belajar mengajar universitas. Mereka belajar secara kongkret dan nyata dengan membandingkan apa yang mereka pelajari dengan kenyataan yang ada lalu mengatakan “tidak” ketika melihat bahwa realita yang terjadi memang ternyata tidak seperti yang seharusnya. Mereka berani mengatakan itu, berbeda sekali dengan ‘intelektual-intelektual’ masa kini yang duduk tenang dengan kebanggaan di hati mereka tentang gelar dan payung universitas besar yang mereka miliki padahal mereka belum berkontribusi apa-apa minimal untuk lingkungan di sekitarnya.

Kondisi Indonesia masih miris sampai saat ini, walaupun telah 10 tahun era reformasi bergulir. Di sana-sini banyak sekali keadaan yang menyedihkan, dimana selalu kondisi tersebut tidak seharusnya terjadi, tidak seharusnya ada, bahkan jika direfleksikan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajari di kampus-kampus idealis. Hal ini seharusnya mendorong bakal-bakal tunas intlektual untuk muncul dan memberantas anomali-anomali yang terlalu banyak ini. Siapapun tahu bahwa Indonesia pantas untuk menjadi sebuah negara maju bahkan super power sekalipun dengan sumber daya dan potensi yang dimilikinya.

Mulai dari diri sendiri mungkin salah satu jawaban jangka pendeknya. Jangka pendek, karena kebangkitan intelektual tidak bisa dibangun secara individual, tetapi secara kolektif seharusnya. Namun untuk membuat sebuah langkah kongkret yang tegas, mulai dari diri sendiri mungkin jawaban tepat. Mulai untuk berani mengatakan apa yang seharusnya tidak terjadi, menanyakan terus menerus akan apa yang terlihat aneh dan tidak benar, dan tanggap serta peka terhadap permasalahan sekitar. Tidak hanya fokus menjadi pembelajar sukses, tetapi lebih jauh dari itu fokus untuk menjadi intelektual sukses.


[1] www.wikipedia.co.id, intelektual.

Jumat, 15 Mei 2009

Era Turbulance, Paradigma Turbulance

Banyak orang mengatakan bahwa dunia telah memasuki era yang disebut era informasi. Era dimana informasi menjadi kekuatan utama yang tak terbantahkan dan tak terelakkan jika ingin memenangkan pertarungan. Lihat saja Hilton Hotel yang berinvestasi triliunan rupiah  dalam pengembangan sistem customer servicenya. Dengan sistem tersebut Hilton memiliki informasi customernya secara lengkap dan detail, jauh meninggalkan competitor-competitornya dan menjadi satu pemain teratas untuk kompetisi bisnis perhotelan. Contoh lain bisa dilihat pada perusahaan Coca Cola, yang juga menginvestasikan triliunan rupiah hanya demi informasi customer, melakukan survey untuk mengetahui informasi selera customer sebelum launching produk barunya, zero sugar, yang walaupun tidak seperti yang diharapkan ternyata mampu memberikan kesimpulan pada Coca Cola bahwa customernya sangat fanatik dengan Coca Cola Classicnya. Di bidang politik, kita bisa melihat beberapa partai yang cukup keberatan dengan aktivitas Quick Count dengan alasan informasinya mampu mempengaruhi suara pemilih jika di publish ketika proses pencoblosan dilakukan. Alhasil dibuatlah peraturan dalam mekanisme Quick Count oleh negara agar jalannya pemilu tidak timpang ke arah satu pihak. Informasi memang telah menjadi harta karun berharga bagi setiap orang yang hidup di masa sekarang.

Tidak hanya era informasi ternyata, banyak orang yang mengatakan bahwa era saat ini telah memasuki era velocity (kecepatan). Kecepatan menjadi modal utama setiap orang menghadapi zaman yang semakin turbulance dan bergolak. Krisis ekonomi beberapa saat lalu yang dipicu oleh subprime mortgage di Amerika begitu mencengangkan dunia karena peristiwa tersebut begitu tidak bisa diduganya. Pada masa-masa itu dunia berada pada keadaan yang tenang dan seolah tanpa bahaya, namun seketika itu pula semua orang takjub melihat perubahan kondisi ekonomi dunia yang tiba-tiba berubah. Investor-investor dunia tiba-tiba berada pada kondisi ekstrem dan selangkah menuju kebangkrutan saham yang baru kemarin nilainya melambung tinggi. Salah satu contoh ini adalah bukti bahwa setiap negara dan orang yang tidak memiliki kemampuan beradaptasi dan bereaksi secara cepat pastilah akan tergusur di era velocity ini.

Kedua trend ini harus dipahami oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan potensi sumber daya alam luar biasa. Di zaman yang sangat kompetitif bangsa Indonesia harus faham bahwa uang ataupun sumber daya alam bukanlah satu-satunya kekuatan dalam memenangkan pertarungan. Kekuatan utama yang menjadi kunci kemenangan ada pada knowledge. Banyak bangsa besar yang memiliki potensi sumber daya alam berlimpah tetapi berada pada urutan cukup bawah dalam hal kekayaan dan kesejahteraan. Sebaliknya banyak bangsa yang jika dipandang kasat mata hanya memiliki daerah sempit dan tanah yang gersang, tetapi mampu menempati posisi cukup atas dalam hal kesejahteraan. Fenomena ini bukanlah hal yang ajaib jika cara berpikir di mulai dari trend era yang saat ini terjadi. Seperti kata seorang tokoh: Money is what fueled the industrial society. But in informational society, the fuel, the power, is knowledge[1].

Latar belakang tersebut menjadi dasar pemikiran bahwa bangsa Indonesia harus merubah tindakannya ke arah yang lebih radikal. Era baru yang telah dijelaskan di awal tulisan jelas tidak bisa dihadapi dengan sikap dan aktivitas zaman kuno, dimana sikap dan tindakan muncul dari keadaan lingkungan yang stabil dan tidak kompetitif. Era baru yang menjadi trend saat ini mensyaratkan setiap bangsa mampu bersikap terhadap kondisi lingkungan yang turbulance dan kompetitif. Jika Bangsa Indonesia tidak mampu bersikap dan mengantisipasi kondisi lingkungan modern yang ada sekarang, bisa dipastikan nasib bangsa ini akan stagnan tanpa kemajuan.

Salah satu langkah kongkret yang bisa dilakukan oleh bangsa ini untuk menghadapi berbagai kondisi lingkungan modern adalah meningkatkan secara signifikan kualitas perencanaan di tingkat strategik[2]. Perencanaan di tingkat strategik memiliki arti perencanaan yang didasarkan pada informasi masa depan bukan informasi masa lalu. Perencanaan di tingkat strategik memfokuskan diri pada hal-hal yang bersifat strategis dan jangka panjang, bukan hal-hal yang bersifat tactical dan operational.

Hal inilah yang menjadi kelemahan utama bangsa Indonesia dalam menetapkan perencanaan. Bangsa Indonesia masih menetapkan perencanaan bukan di tingkat atau tataran strategik, melainkan masih berkutat pada perencanaan di tingkat atau tataran tactical dan operational semata. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah sama sekali tidak diambil berdasarkan informasi atau kondisi yang diperkirakan terjadi di masa depan, tetapi diambil berdasarkan informasi atau kondisi yang ada saat ini atau bahkan telah berlalu. Setiap orang bisa melihat bagaimana kebijakan BLT diambil sebagai akibat perencanaan yang buruk pada tahun-tahun sebelumnya karena tidak memasukkan unsur inflasi minyak bumi dunia. Akibatnya saat harga minyak bumi dunia benar-benar melambung bangsa ini kewalahan dan menetapkan kebijakan yang sangat pragmatis, BLT. Terlepas dari setuju atau tidak, penilaian obyektif harus dilakukan pada perencanaan kebijakan tersebut. Seandainya perencanaan pemerintah beberapa tahun sebelumnya matang dan berkualitas bisa dipastikan kebijakan yang dikeluarkan pun akan bersifat lebih strategik, solutif, dan jangka panjang. Era Informasi atau beberapa orang menyebutnya dengan nama era kecepatan seperti yang saat ini terjadi diprediksi akan tetap seperti ini dalam beberapa dekade ke depan. Oleh karena itu bangsa ini harus cepat merubah perencanaannya ke arah yang lebih strategis sebagai modal utama menghadapi tantangan masa depan.

Salah satu perencanaan kongkret yang bisa dilakukan oleh bangsa ini untuk menghadapi kondisi lingkungan masa depan adalah pengembangan di bidang IPTEK. Era informasi dan kecepatan mau tidak mau pasti akan sangat dekat dengan teknologi dan ilmu pengetahuan di dalamnya. Kedua hal tersebut terkait erat bahkan bisa diibaratkan sebuah mata koin yang memiliki dua sisi. Sebuah bangsa yang telah menyiapkan IPTEK sebagai senjata untuk menanggulangi masa depan yang turbulance, lebih dari yang saat ini terjadi, akan menjadi bangsa yang besar dan siap dengan perubahan. Sebaliknya bangsa yang tidak menyiapkan kemampuan IPTEKnya dan hanya memfokuskan kebijakan pada hal-hal yang bersifat tactical dan operational hanya akan menjadi korban dari ganasnya perubahan.

Hal ini bisa dipahami karena dari masa ke masa Ilmu pengetahuan dan Teknologi pada era informasi menjadi pilar utama penyangga kemajuan suatu bangsa. Jepang misalnya, yang dengan IPTEKnya berhasil memajukan sektor kelautan mereka jauh melebihi Indonesia sebagai negara maritim dengan cara memanggil ikan-ikan di perairan indonesia mendekat ke daerahnya; Amerika yang dikenal dengan Negeri Paman Sam, berhasil menguasai ekonomi dunia dengan berbagai-macam kelebihannya di bidang teknologi informasi, industri, dan bisnis; Korea Utara yang selalu berselisih dengan Korea Selatan, sekarang ditakuti bahkan oleh negara superpower sekelas Amerika hanya karena teknologi Nuklir yang dirintisnya; dan masih banyak lagi kisah-kisah negara besar yang diakui kekuatannya dengan bermodalkan sebuah IPTEK.

Penting rasanya untuk merefleksi dan mengikuti beberapa jejak negara maju tersebut dalam langkah Indonesia berikutnya. Namun ada hal penting yang harus digaris bawahi secara tebal jika membandingkannya dengan Indonesia. Negara besar yang memiliki berbagai macam potensi ini ternyata memiliki berbagai permasalahan yang mendasari pengembangan IPTEKnya. Salah satu penyebabnya adalah investasi yang lemah dari pemerintah dalam upayanya mengembangkan IPTEK dan menjadikannya investasi jangka panjang di masa depan.

Investasi yang lemah tersebut sebenarnya memiliki turunan penyebab-penyebab lain yang mendasari sikap pemerintah tidak memilih investasi dalam bidang IPTEK sebagai kebijakan utama. Salah satu penyebabnya adalah persoalan dana, yang biasanya juga menjadi alasan pertama yang mendasari. Pengembangan IPTEK seperti yang dilakukan oleh Korea Utara untuk Nuklirnya tidak membutuhkan dana yang sedikit, menurut sebuah sumber, dana yang dipakai oleh Korea Utara dalam mengembangkan teknologi Nuklirnya berkisar sekitar USD 25 juta[3]. Hal ini juga yang terjadi dalam pengembangan IPTEK beberapa negara maju dunia, rata-rata mereka menghabiskan banyak sekali dana untuk pengembangannya. Indonesia sempat mencoba untuk melangkah dengan pengembangan IPTEK anak bangsanya dalam hal alternatif bahan bakar non migas beberapa waktu lalu. Ketika itu pemerintah memberikan harapan dan apresiasi kepada seorang Joko Soeprapto[4] yang bahkan oleh UMY telah diberikan dana 1 Milyar untuk menemukan alternatif bahan bakar tersebut,  namun sayang, penelitian itu tidak seperti yang diharapkan dan akhirnya uang 1 Milyar tersebut habis tanpa memberikan arti.

Pengembangan IPTEK memang membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dana yang sangat besar dan juga waktu yang cukup lama. Bayangkan, dana 1 Milyar bukanlah dana yang sedikit. Dana sebesar itu akan sangat berguna jika diposkan ke pos-pos yang lebih membutuhkan dan memiliki turn over lebih cepat, apalagi jika dibenturkan dengan realita bahwa Indonesia saat ini tengah berada dalam kondisi yang tidak begitu baik dan membutuhkan suntikan dana di beberapa posnya.

Permasalahan lain yang menyebabkan pengembangan IPTEK cukup terhambat adalah tingkat kepopuleran kebijakan pengembangan IPTEK di negeri ini yang cukup rendah dibanding kebijakan seperti BLT, swasembada beras, atau yang lainnya. Hal ini wajar jika melihat alur kepemimpinan Indonesia tidak memiliki tongkat estafet kebijakan yang jelas. Di negeri ini, pergantian kepemimpinan berarti juga pergantian kebijakan secara frontal, tanpa estafet kebijakan dan tanpa planning pewarisan yang jelas. Di awal dikatakan bahwa kebijakan di Indonesia masih berada pada tingkatan tactical dan operational, dan mungkin saja masalah kepemimpinan ini adalah masalah yang dominan mendasarinya.

Akibat dari estafet kebijakan yang tidak berjalan, kebijakan yang diambil di negeri ini tidak diarahkan ke arah yang strategis dan jangka panjang. Pengambilan keputusan yang bersifat strategis dan jangka panjang memiliki resiko besar untuk ditentang beberapa pihak dan rakyat utamanya, karena memang dampak dan hasil yang didapatkan dari proses pengembangan IPTEK tersebut baru bisa dirasakan dalam waktu yang lama. Sementara selagi menunggu dampak dan hasil dari investasi pemerintah terhadap pengembangan IPTEK masalah terus bermunculan dan rakyat serta semua pihak menuntut hak dan kemajuan negeri bisa dirasakan secepatnya.

Permasalahan inilah yang menjadi tantangan besar di negeri ini terkait dengan pengembangan IPTEK yang ingin dilakukan. Pemimpin negeri ini harus berani berpikir dan bersikap radikal dalam membuat kebijakan, yaitu dengan mempertimbangkan keadaan yang akan terjadi di masa depan, bukan hanya mendasarkan perencanaan pada informasi masa lalu. Perencanaan harus diangkat ke tingkatan dan tataran yang lebih strategik yang kongkretnya bisa diwujudkan dengan pengembangan IPTEK.

Change is the law of life. And those who look only to the past or present are certain to miss the future[5]. Bangsa ini harus secepat mungkin mengganti cara merencanakan kebijakan yang berbasis informasi masa lalu karena era masa depan sangat berbeda dibanding dengan era sekarang atau masa lalu. Oleh karena itu, perubahan paradigma secara radikal penting ditanamkan sehingga bangsa ini akan siap dengan perubahan yang akan terjadi di masa depan.


[1] John Kenneth Galbraith

[2] Diambil dari slide presentasi Mulyadi yang berjudul “Strategic management Accounting”

[3]http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9421&coid=3&caid=31&gid=3

[4]http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/18/19100611/joko.soeprapto.demonstrasikan.temuannya.

[5] J.F. Kennedy

Kamis, 14 Mei 2009

Sepotong Cinta Seorang Muslim

Manusia tidak akan mampu menjalani hidup tanpa cinta. Tanpa cinta, kehidupan akan gersang, hati menjadi keras, dan tubuh menjadi kurus kering laksana mayat. Selayaknyalah manusia hidup dengan perasaan cinta kasih. Manusia yang telah kehilangan perasaan cinta, biasanya tubuhnya laksana mayat, atau menderita depresi dan gangguan kejiwaan dan kesedihan. Karena, ia telah kehilangan gairah hidup.[1]

Cinta….cinta….cinta…..

Kaitan huruf indah ini tak bisa sembarangan terucap dalam kehidupan seseorang, sakral. Walaupun hanya terdiri dari lima huruf, kata ‘cinta’ ternyata mampu menghipnotis seorang lumpuh berjuang sekuat tenaga melawan keadaannya dan sebaliknya mampu membuat seorang penguasa kerajaan takluk tanpa perlawanan. ‘cinta’ adalah misteri yang tak kan bisa disentuh oleh seseorang berhati batu karena kodratnya yang lembut, indah, dan menyejukkan.

Pernahkah terpikir dalam pikiran kita, makna ‘cinta’ yang sebenarnya, yang murni, jernih, tanpa campuran noda apa pun?? Pernahkah terbayangkan bahwa ciuman atau kecupan sayang seorang ibu yang tulus merupakan bukti cinta dan keindahan yang mendalam dan kesetiaan yang teguh tanpa harus terurai dalam kata-kata. [2] Akuilah kenyataannya, cinta terindah yang kita rasakan dalam kehidupan kita selama ini adalah cinta yang telah ibu berikan pada kita semua, sejak kita lahir tak mampu berbuat apa-apa dan mendapatkan makanan pertama dari tubuhnya, sampai saat ini menjadi mahasiswa yang masih membutuhkan kata-kata penyemangat dan doa beliau untuk kesuksesan kita. Ingatlah, jika kita sudah jauh merantau dan jarang bertemu ibu, maka begitu ada waktu untuk pulang melihat ibu, pulanglah atau aturlah jadwal untuk itu! Mereka menantikan kehadiran kita. hati akan semakin tersayat, ketika pulang hanya untuk melihat jasad ibu. Nikmatilah kebersamaan dengan ibu tercinta, sebelum terlambat.[3]

Perhatikan gejolak yang ada dalam dada ini, yang seolah ingin merangsak keluar ketika mengingat ibu, itulah cinta yang sebenarnya. Perumpamaan yang indah tersembur deras dari kata-kata F.Rene Van de Carr,, M.D dalam puisinya:

………..

Pertama kali kau menyapaku

Tanpa suara;

Tetapi sangat asih

Dari diriku yang paling dalam

Di sini

Ummi, Aku Di sini

Sekarang perhatikan cinta Allah kepada hambanya yang terpercik dari hadits Qudsi:

“barangsiapa yang mendekat padaKu sejengkal, maka aku akan mendekat padanya sehasta; barangsiapa mendekat padaKu sehasta, maka Aku akan mendekat padanya sedepa; dan barangsiapa yang datang padaKu dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari-lari kecil.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Lihatlah, Allah dengan segala Maha Tinggi-Nya berkenan menunjukkan rasa cintanya pada kita,, siapakah kita, wahai kasihan, sehingga Dia mencintai dan mendatangi kita dengan berlari-lari kecil!!?

“tidak aneh hamba yang mencintai tuannya, tetapi sungguh amat aneh tuan yang mencintai hambanya.”

Wahai pemuda yang berkalung kebanggaan dan berbaju kepandaian, ingatlah jati dirimu. Setiap siapa pun yang beragama islam adalah muslim, tak terlepas apakah engkau adalah mahasiswa FEB UGM, anak jakarta, anak Yogyakarta, mantan ini, mantan itu, atau yang lainnya. Seorang yang beragama Islam adalah Muslim, yang harus selalu mengingat keislamannya adalah hal yang akan dipertanggungjawabkan pada sosok ibu yang kita mencintainya dan dia mencintai kita, juga pada Dzat yang Maha Mencintai, yang telah menciptakan kita, ibu, dan sahabat-sahabat kita, karena kecintaan-Nya pada diri yang tak tahu berterimakasih ini.

Selembar penyesalan atau setetes air mata, tak kan berarti apa pun, jika dalam langkah kehidupan berikutnya, jejak yang tertinggal tak ubahnya seperti jejak yang tertinggal sebelum lembaran penyesalan dan tetesan air mata tersebut. Allah dengan segala cintaNya dan ibu dengan segala kerelaan berkorbannya adalah bukti nyata, yang seharusnya menjadikan inspirasi dan menyadarkan kita. Bermuhasabahlah pada-Nya saat ini juga, sebelum saat dimana mulut ini tak mampu berbicara karena kuasa-Nya, dan kita hanya bisa melihat dan meratapi fakta, bahwa kita merupakan seorang yang mengaku muslim, tetapi ternyata menjadi orang pertama yang hatinya mengingkari dan berkhianat terhadap cintaNya. Na’udzubillahimindzalik.


[1] Diambil dari buku, “hati sebening mata air” karya Amru Khalid

[2] Diambil dari buku, “Setengah isi, setengah kosong” karya parlindungan marpaung

[3] Diambil dari buku, “Setengah isi, setengah kosong” karya parlindungan marpaung

Paradigma Nyata Intelektual-Intelektual Tepilih

Suatu hari, tepatnya 14 Juni 1928, lahirlah seorang bayi di Bolivia Utara. Bayi dengan berat normal tersebut terlahir dengan sehat dan seperti normalnya bayi-bayi lainnya terlahir. Tahun 1930, bayi yang sudah menginjak umur 2 tahun tersebut pindah dari kota kelahirannya ke sebuah kota bernama Alta Gracia, tempat indah dengan pegunungan berbanjar di sekelilingnya. Di tempat inilah bayi yang sudah tumbuh menjadi anak-anak tersebut hidup dan mulai menunjukkan bakat kepemimpinannya. Masa-masa pertumbuhan anak ini diwarnai dengan keadaan yang sangat ekstrem. Argentina saat itu sedang berada pada krisis terburuk sepanjang sejarah, dengan perebutan kekuasaan politik oleh militer. Belum lagi ditambah, masa-masa selanjutnya adalah masa-masa di mana Mussolini, Adolf Hitler, dan Fransisco Franco hidup, yang berarti era dimana perang menjadi catatan pentingnya. Anak ini terus tumbuh dan memasuki sebuah perguruan tinggi beraliran prancis, kemudian mulai belajar segala sesuatunya dan menjadi anak yang unik di universitas tersebut. Beberapa moment kemudian dia pindah ke buenos aires dan menjalani kehidupannya seperti biasa di tempat tersebut. Namun kehidupannya mulai mendekati turning point di moment ini, dia bekerja sebagai awak kapal dan berkesempatan untuk menurunkan minyak ke beberapa penjuru negara sekaligus melihat realita yang sebenarnya terjadi dalam negara itu. Tidak puas dengan itu, dia kemudian memasang mesin sederhana pada sepedanya, dan meneruskan perjalanannya ke berbagai tempat di negara tersebut dan melihat kesenjangan yang cukup tajam antara si kaya dan si miskin. Lebih dari itu, pada tanggal 29 Desember 1951 dia bersama sahabat kecilnya memutuskan untuk berpetualang ke seluruh penjuru amerika latin dengan sepeda motor milik sahabatnya tersebut. Pada moment inilah dia bisa melihat realita yang sesungguhnya, lalu menjadi titik awal kebangkitan dirinya menjadi seorang tokoh berpengaruh sampai saat ini. Dia dikenal dengan nama Che Guevarra.

Di tempat lain dan waktu yang lain, ada lagi kisah seorang dosen yang awalnya hanya seorang miskin. Dosen jurusan tata kota yang pada saat mahasiswanya ikut berperan dalam demonstrasi-demonstrasi dan aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan tersebut dulu hanyalah seorang anak yang terlahir di sudut sempit gang kota teheran, miskin, dan tidak memiliki apa-apa. Namun beberapa dekade kehidupannya memberikan arti tersendiri bagi dirinya. Teheran, kota megapolitan seluas London yang rakyatnya dua kali lebih banyak dari Jakarta, yang kaya akan korupsi di hampir seluruh bagian struktur birokratnya, yang penataan kotanya sangat amburadul dan berantakan, yang kesenjangan sosialnya sangat jomplang bahkan hampir-hampir tak bisa dipercayai ini menyisakan bentukan tersendiri bagi pribadinya, tegas, berani, dan heroik. Alhasil, orang ini berhasil menjadi presiden Iran dengan kemenangan yang sangat dramatis, dana dan popularitas yang paling sedikit ternyata menang melawan politikus-politikus dengan dana segunung dan popularitas yang tak bisa dielakkan. Masih segar di ingatan kita tentang bagaimana sosoknya menjadi orang pertama yang mengecam keras Israel ketika melakukan genosida di Gaza silam. Tak cukup hanya itu, track recordnya pun menunjukkan kepribadiannya yang sangat tegas terhadap segala pelanggaran yang merugikan rakyat. Seperti reality show, kehidupan kepresidenannya dilalui dengan kesederhanaan dan keheroikan, tak malu untuk menyapu sendiri jalanan kota yang kotor, menghilangkan sumbat yang menyumbat selokan, atau menyapa peminta-minta yang ditemuinya di jalan. Tak seorang pun yang tak tahu, nama Ahmadinejad.

Dua cerita di atas mungkin belum cukup mewakili sosok seluruh hero yang terlahir di dunia ini. Tetapi setidaknya dua sampel di atas tak berbeda jauh dengan para revolusi yang telah merubah keadaan daerah atau minimal tempat mereka tinggal. Kesamaan diantara mereka adalah, mereka sama-sama memiliki sebuah turning point dalam kehidupannya, sebuah lekukan kecil dari grafik kehidupannya, yang kemudian berhasil mengubah total arah kehidupannya menjadi seorang yang luar biasa. Paradigma mereka mulia, menjadikan orang lain yang mereka rasa tertindas menjadi mampu mendapatkan keadilan.

Ada sebuah catatan penting yang terpikirkan ketika sekilas membayangkan kedua kisah dari sosok luar biasa tersebut, yaitu refleksi. Dada yang berdebar-debar ketika membaca sebuah penggalan kisah kehidupan mereka seolah harus redup sedih ketika menyadari bahwa ternyata mereka hanyalah sejarah, yang reinkarnasinya tak mampu ditemukan dalam sosok-sosok para generasi saat ini. Ini bukan asumsi, tetapi kenyataan yang harus diterima secara lapang dada. Faktanya bisa dilihat dari bagaimana pendidikan yang diterapkan dalam kurikulum universitas di indonesia. Kesuksesan dari Universitas diukur dari seberapa cepat para lulusan-lulusan universitas tersebut mendapatkan pekerjaan, atau seberapa banyak alumni universitas yang akhirnya menjadi pimpinan-pimpinan di tempat mereka tinggal, atau lebih parah lagi kesuksesan universitas diukur dari seberapa banyak lulusan yang berhasil mendapatkan Ipk di atas 3,00. Universitas tidak pernah menilai kesuksesannya berdasarkan seberapa berhasil kah universitas mampu menanamkan nilai-nilai Universitas kepada mahasiswanya. Semuanya harus dikuantifikasi dan bisa dihitung.

Memang hal ini bukanlah sesuatu yang patut untuk disalahkan karena sistem yang dterapkan di Universitas memang menuntut untuk menilai kesuksesan berdasarkan hasil kuntifikasi, di samping kesulitan yang akan dihadapi jika penilaian kesuksesan dilakukan berdasarkan hasil kualitatif yang abstrak. Akan tetapi bukan berarti, nilai-nilai yang telah dicanangkan oleh Universitas tersebut menjadi kabur dan tanpa makna dalam proses belajar mengajar yang diterapkan universitas. Kedua sosok luar biasa dalam paragraf pertama diakui kemampuannya bukan karena semata-mata kompetensi, tetapi juga nilai-nilai dan visi misi yang dianutnya dan diyakininya secara kuat. Seorang Ahmadinejad dan Che Guevarra diakui tidak hanya karena kemampuan mereka memimpin, tetapi lebih dari itu, setiap orang kagum bahkan meneteskan air mata karena visi misi dan nilai-nilai yang diyakininya dianutnya dengan sangat kuat dan bahkan terimplementasi secara berani dalam kehidupan nyata walaupun hal itu melanggar kebiasaan dan budaya bersama.

Pernahkah hal itu kita temui dalam kehidupan kita di kelas? Pernahkah kita melihat sosok-sosok bakal calon dari che atau pun ahmadinejad di dalam waktu-waktu perkuliahan? Jika boleh menjawab jujur, kita tak akan bisa melihat sosok-sosok seperti mereka berdua di dalam kelas ber-AC dengan viewer di depan panggung serta ruangan nyaman. Sosok-sosok tersebut hanya akan kita temui di dalam ruang-ruang diskusi, di dalam ruang-ruang organisasi mahasiswa idealis, atau mungkin di tengah-tengah masyarakat tertindas yang mulutnya terbungkam oleh gedung-gedung tinggi menjulang. Sedih rasanya melihat kelas yang seharusnya menjadi sarana pencetak para bakal-bakal calon pemimpin negeri ternyata hanya merupakan sarana pencetak bakal calon robot pekerja. Sayang rasanya ketika mengetahui bahwa kelas-kelas yang dahulu merupakan ruangan dengan impian-impian, idealisme-ideaslisme, dan harapan-harapan terbang ke sana ke mari tanpa ada yang menangkap dan memenjarakannya ternyata sekarang menjadi ruangan tanpa rasa, hambar, dan tak beridealisme. Yang dibicarakan hanya seputar angka, angka, dan angka, tanpa memperhatikan tujuan kontribusi yang bisa diberikan dari kemampuan kita mengetahui angka tersebut.

Proses perubahan fungsi dan core sejati dari proses pembelajaran universitas mungkin masih membumbung tinggi nun jauh di sana. Dan bisa dikatakan perjalanan panjang dengan kerikil and duri di jalannya, yang ujungnya pun hampir tak terlihat dari posisi kita sekarang sehingga akan cukup membuat harapan dan impian kita sirna. Namun yang patut diyakini adalah, seorang ahmadinejad dan che guevarra lebih memilih resiko untuk mati dengan mengimplementasikan impiannya, daripada menyerah pada keadaan.

Kamis, 07 Mei 2009

Internasionalisasi dan Research University

Research university, sebuah gaungan indah dan sangat idealis ini terpatri dalam visi Universitas Gajah Mada. Universitas ndeso tapi mendunia ini cukup membuat semua mata terbelalak ketika cantuman visinya benar-benar serius direncanakan. Lihat saja sekolah vokasi yang menjadi bukti keganasan UGM mengejar targetnya. Sekolah yang dibentuk untuk memisahkan D3 UGM dengan S1nya sehingga memudahkan UGM dalam mencapai visinya, menjadi research university dan melahirkan researcher-researcher handal di tengah sesak pergulatan kehidupan bangsa Indonesia.

Tak jauh jaraknya dari gedung pusat UGM, fakultas ekonomi yang berada di sebelah Graha Sabha Pramana pun dengan sangat berani menuliskan visinya secara tegas, Meet the Global Challenge yang akhirnya tercanang dalam visinya. Yap, tak salah lagi, Meet the global challenge berarti tatapan strategis FEB UGM tak hanya terbatas pada lingkungan internal negeri, tetapi juga telah berani melangkah keluar menembus dinding negara dan menyapa seluruh penduduk dunia. FEB secara khusus membenahi berbagai macam organnya, dari struktural sampai kepada tataran paling bawah, yaitu kegiatan mahasiswanya agar setiap bagian dari BEM FEB UGM bisa bergerak searah menuju internasionalisasi fakultas. Publikasi-publikasi terpampang glamour di banyak papan pengumuman dengan tema seragam, yaitu internasionalisasi, kegiatan-kegiatan mahasiswa mendapatkan stimulus cukup baik terkait dengan prestasi mereka di lingkup internasional dan akses-akses terbuka sangat luas bagi mahasiswa yang ingin melaksanakan student exchange.

Diperhatikan sekilas, progresifitas fakultas dan universitas bisa diacungi dua jempol ditilik dari visi misi dan proses langkah geraknya. Namun ada sesuatu yang dirasa masih janggal, masih aneh, dan masih butuh pembenahan lebih penting. Entah bagaimana menjelaskan hal tersebut, tetapi yang pasti idealisme para birokrat UGM memiliki sudut pandang yang agak berbeda dengan sudut pandang aktivis-aktivis gerakan sosial kampus. Aktivis-aktivis gerakan sosial kampus jelas akan memandang visi misi ini dengan dampaknya di bidang sosial yang bakal terjadi. Akibatnya, muncul beberapa pertanyaan dari kalangan-kalangan gerakan sosial terkait impian UGM ini, mendongkrak kah?? Atau malah mengeroposkan??

UGM sudah dikenal sebagai universitas ndeso yang mendunia, yang punya sejarah berdiri di atas keresahan rakyat, yang peduli akan nasib bangsa dan negara, dan mendengungkan keotentikan dan keaslian pribadi Indonesia. Bukan berarti UGM tidak boleh berbenah diri melakukan manuver-manuver perubahan seperti Globalisasi dan modernisasi untuk kemajuan, tetapi masalahnya muncul ketika UGM dengan citra kerakyatan yang sangat kental ini akhirnya pun berubah mengikuti trend, meninggalkan keotentikan dan menjadi homogen dengan universitas lainnya di indonesia.

Fakta bahwa trend globalisasi dan kebarat-baratan telah mewarnai universitas-universitas besar indonesia kini jelas tak terbantahkan. Kita bisa melihat secara kasat mata, bagaimana budaya yang terbentuk di tengah mahasiswa dalam kehidupannya. Kita pun bisa melihat bagaimana dosen-dosen saat ini seperti tak henti-hentinya mencekoki otak dan pendengaran kita dengan kata “modern”. Skeptis, tetapi penting dikatakan, karena sebenarnya indonesia tidak membutuhkan aksi modernisasi sempit untuk mencapai tujuan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Ada hal yang perlu digarisbawahi lebih tebal di sini, bahwa sesungguhnya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat tidak hanya sempit dipandang pada masalah struktur, fasilitas, kurikulum dsb, tetapi juga pembentukan mental, pribadi dan mindset dari mahasiswa itu sendiri. Percuma mengatakan bahwa universitas UGM adalah universitas besar yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan dengan kemampuan bahasa canggih dan kompetensi melangit, tetapi akhirnya pemimpin-pemimpin tersebut diam melihat realita yang ada dan bahkan lari ke Singapura, Australia, Amerika, Brunei Darussalam, Singapura, dll karena merasa di sana memiliki prospek kehidupan yang lebih baik.

Banyak perbedaan pendapat pasti terkait masalah pembangunan untuk menjadikan UGM lebih baik, dan semuanya pasti memiliki argumen dan sudut pandang logis. Walau pun tidak bisa ekstrem pula memandang pembangunan mental, mindset, dan pribadi berarti mengacuhkan struktur, kurikulum, dan sebagainya, begitu pun sebaliknya. Semuanya terkait satu sama lain, dan berhubungan layaknya simbiosis mutualisme. Hanya saja perlu jujur pada diri sendiri dengan bertanya pada hati nurani terdalam dengan menjawab, “Apakah kondisi mahasiswa saat ini sudah cukup siap menerima sistem yang mengarah kepada internasionalisasi atau pun Research university?”. “Apakah permasalahan mahasiswa UGM sebenarnya adalah permasalahan kualitas intelektual yang tidak bisa menandingi pemikiran-pemikiran cerdas mahasiswa-mahasiswa luar negeri, atau jangan-jangan permasalahan utama justru terletak pada permasalahan jiwa, kepribadian, mindset, sikap, perilaku, dan kepedulian mahasiswa UGM kepada lingkungan, kampus, dan bangsanya??”

Perlu jujur dan obyektif menjawab beberapa pertanyaan di atas. Memang berat dan sama-sama memiliki alasan logis, tetapi ketika dihadapkan dengan perasaan, feelings, dan intuisi, bisa dipastikan bahwa permasalahan utama yang terdengar dari nurani adalah permasalahan mental, sikap, dan mindset hal yang kadang terlupakan di tengah gegap gempita ide-ide besar mencuat dalam imajiinasi-imajinasi sang intelektual. Kita semua berperan dalam perubahan ini. Akankah kita diam saja melihat kondisi dan realita yang terjadi seraya hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri saja, lalu kondisi diri kita menular pada saudara kita, teman-teman kuta, masyarakat kita, dan akhirnya negeri ini tak bergerak selangkah pun dari tempat semula, karena bangsanya apatis terhadap masalah yang terjadi. Mari bersama, kita pastikan diri kita, akan berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan negeri ini.