This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 26 Desember 2008

Cacat Paradigma BHP

teng-sadar 

Sebuah catatan sejarah awal perubahan suatu bangsa mayoritas bermula dari dobrakan tradisi intelektualitasnya, tradisi kegelisahan yang timbul akibat dari penyimpangan realita-realita dari idealita-idealita yang ada. Kegelisahan-kegelisahan tersebutlah yang dalam catatannya kemudian membuncah dan menginspirasi para terdidik membuat sedikit sentilan gerakan social di tubuh dan organ-organ masyarakat. Lalu bak gumpalan salju mulai menggelinding dan membesar sampai batas dimana terbentuk bola besar, meluncur dengan cepat dan berat menghantam hancur realita-realita yang ada dan membangkitkan kesadaran untuk berangkat kembali pada idealita awal.

Para terdidik tersebut adalah manusia-manusia yang peduli terhadap apa yang tidak sewajarnya dan mengatakan apa yang seharusnya. Mereka adalah intelektual-intelektual pendidikan, bukan bebek-bebek pendidikan yang dengan sangat senangnya terikat dan tergembala pasrah tanpa perlawanan.

Pendidikan seharusnya menjadi alat ampuh pencetak manusia-manusia berkarakter seperti itu. Namun faktanya, miris mengetahui kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini, yang dimaknai sangat dangkal dan kering, kehilangan jati diri sebagai pendidikan yang memiliki ruh pembentuk kepribadian manusia seperti itu. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi masyarakat yang walaupun melelahkan tetapi ampuh dan berjangka panjang tereduksi menjadi sangat kerdil sebatas intelektualistis dan materialistis ala barat. Pendidikan intelektualistis dan materialistis ala barat sepert itu tidak menjawab kebutuhan bangsanya. Kebijaksanaan, seni, dan ilmu pengetahuan yang terbukti lebih unggul, diterima untuk memperkaya kebudayaan nasional.” (Ki Hajar Dewantara)[1]

Disadari atau tidak pergeseran pemahaman pendidikan seperti ini telah terjadi pada masyarakat Indonesia dimana pendidikan dipahami secara sangat pragmatis. Pendidikan yang menjadi andalan bangsa Indonesia dulu menentang kolonialisme saat ini disetarakan derajatnya menjadi seolah-olah barang komoditas. Masyarakat bisa melihat bahwa UU BHP membuka ruang lembaga pendidikan untuk leluasa membebankan anggaran pendidikan kepada siapapun, membuat biaya pendidikan makin mahal, dan menjadikan manusia-manusia berpotensi gagal atas nama biaya pendidikan.

permasalahan UU BHP tidak selesai sampai pada tataran financial, tetapi lebih dari itu adalah paradigma masyarakat. Pendidikan akan kehilangan ruh semangat nasionalisme dan kebijaksanaannya ketika lambat laun terbiasa diperdagangkan dengan financial, bukan semangat dan kerja keras. Pendidikan akan lebih mengalami pendangkalan khas barat, meterialistik dan intelektualistik, dalam suasana perdagangan pendidikan yang terjadi.

Kita adalah bangsa Indonesia yang oeh Ki Hajar dewantara dikatakan memiliki khas pendidikan sendiri, berbeda dari pendidikan barat. Pendidikan-pendidikan kita tidak seharusnya sepenuhnya sama dengan perguruan tinggi sekelas Harvard atau pun Barkley University. Mahalnya sekolah-sekolah luar negeri tidaklah lantas menjadi alasan sekolah-sekolah kita pun menjadi semakin mahal. Paradigm masyarakat yang lambat laun semakin pragmatis dan apatis harus diselamatkan dari pendidikan yang juga tidak pragmatis dan apatis. Paradigm itu hanya akan dibangun lewat sebuah pendidikan tepat ala Indonesia,, yang merakyat bukan mengkapital, sesuai cita-cita founding fathers kita dalam pembukaan UUD kita, mencerdaskan kehidupan bangsa.







[1] Diambil dari buku yang berjudul: JEJAK-JEJAK PAHLAWAN, karya J.B.Soedarmanta



Cacat Paradigma BHP

Sebuah catatan sejarah awal perubahan suatu bangsa mayoritas bermula dari dobrakan tradisi intelektualitasnya, tradisi kegelisahan yang timbul akibat dari penyimpangan realita-realita dari idealita-idealita yang ada. Kegelisahan-kegelisahan tersebutlah yang dalam catatannya kemudian membuncah dan menginspirasi para terdidik membuat sedikit sentilan gerakan social di tubuh dan organ-organ masyarakat. Lalu bak gumpalan salju mulai menggelinding dan membesar sampai batas dimana terbentuk bola besar, meluncur dengan cepat dan berat menghantam hancur realita-realita yang ada dan membangkitkan kesadaran untuk berangkat kembali pada idealita awal.
Para terdidik tersebut adalah manusia-manusia yang peduli terhadap apa yang tidak sewajarnya dan mengatakan apa yang seharusnya. Mereka adalah intelektual-intelektual pendidikan, bukan bebek-bebek pendidikan yang dengan sangat senangnya terikat dan tergembala pasrah tanpa perlawanan.
Pendidikan seharusnya menjadi alat ampuh pencetak manusia-manusia berkarakter seperti itu. Namun faktanya, miris mengetahui kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini, yang dimaknai sangat dangkal dan kering, kehilangan jati diri sebagai pendidikan yang memiliki ruh pembentuk kepribadian manusia seperti itu. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi masyarakat yang walaupun melelahkan tetapi ampuh dan berjangka panjang tereduksi menjadi sangat kerdil sebatas intelektualistis dan materialistis ala barat. Pendidikan intelektualistis dan materialistis ala barat sepert itu tidak menjawab kebutuhan bangsanya. Kebijaksanaan, seni, dan ilmu pengetahuan yang terbukti lebih unggul, diterima untuk memperkaya kebudayaan nasional.” (Ki Hajar Dewantara)
Disadari atau tidak pergeseran pemahaman pendidikan seperti ini telah terjadi pada masyarakat Indonesia dimana pendidikan dipahami secara sangat pragmatis. Pendidikan yang menjadi andalan bangsa Indonesia dulu menentang kolonialisme saat ini disetarakan derajatnya menjadi seolah-olah barang komoditas. Masyarakat bisa melihat bahwa UU BHP membuka ruang lembaga pendidikan untuk leluasa membebankan anggaran pendidikan kepada siapapun, membuat biaya pendidikan makin mahal, dan menjadikan manusia-manusia berpotensi gagal atas nama biaya pendidikan.
permasalahan UU BHP tidak selesai sampai pada tataran financial, tetapi lebih dari itu adalah paradigma masyarakat. Pendidikan akan kehilangan ruh semangat nasionalisme dan kebijaksanaannya ketika lambat laun terbiasa diperdagangkan dengan financial, bukan semangat dan kerja keras. Pendidikan akan lebih mengalami pendangkalan khas barat, meterialistik dan intelektualistik, dalam suasana perdagangan pendidikan yang terjadi.
Kita adalah bangsa Indonesia yang oeh Ki Hajar dewantara dikatakan memiliki khas pendidikan sendiri, berbeda dari pendidikan barat. Pendidikan-pendidikan kita tidak seharusnya sepenuhnya sama dengan perguruan tinggi sekelas Harvard atau pun Barkley University. Mahalnya sekolah-sekolah luar negeri tidaklah lantas menjadi alasan sekolah-sekolah kita pun menjadi semakin mahal. Paradigm masyarakat yang lambat laun semakin pragmatis dan apatis harus diselamatkan dari pendidikan yang juga tidak pragmatis dan apatis. Paradigm itu hanya akan dibangun lewat sebuah pendidikan tepat ala Indonesia,, yang merakyat bukan mengkapital, sesuai cita-cita founding fathers kita dalam pembukaan UUD kita, mencerdaskan kehidupan bangsa.teng-sadar

Selasa, 02 Desember 2008

Peran Da'wah Dalam Perubahan Ekonom Bangsa

Paska krisis moneter 1998 yang menjangkiti dunia, Negara-negara Asia mulai bangkit dan menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang menakjubkan. Sebagai analogi, dapat dilihat bagaimana Malaysia yang dulu adalah Negara yang selalu berguru pada Indonesia saat ini dengan signifikan berada jauh di atas Indonesia. Banyak orang mengatakan bahwa sebenarnya Negara kita masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak mampu ditandingi oleh Malaysia, namun hal itu bias dikatakan adalah sebuah apologi yang tidak beralasan dan terkesan mementahkan fakta dan kejadian yang sebenar-benarnya terjadi. That’s it, terkadang sebuah masalah memang harus dipandang secara objektif dari beberapa sudut pandang. Dan jika dipandang secara lebih komprehensif, saya yakin bahwa memang setiap orang akan mengatakan bahwa Malaysia jauh lebih baik daripada kita. Itu faktanya, dan itu yang harus dicari solusinya.

Entah apa yang salah dari system perekonomian kita, atau memang ada yang salah dari system berkehidupan ekonomi kita. Jawaban mengenai permasalahan ini tidak bias dipandang dari sudut akademis atau keilmuan biasa. Ada hal-hal yang tidak bias dijabarkan secara ilmiah dalam lingkup akademis. Karena itulah kita diwajibkan untuk memandang sesuatu secara lebih komprehensif dan tidak parsial. Ekonomi sebagai bagian dari ilmu social humaniora memiliki kesatuan yang terintegrasi antara satu bagian ilmu dengan yang lain. Begitu juga dengan ekonomi, pasti terkait dengan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, budaya, filsafat dan sebagainya. Jika dianalisis secara lebih umum dan komprehensif mungkin saja ini berkaitan dengan hal-hal lain seperti budaya dari para ekonom-ekonom kita yang tidak mencerminkan idealita dari ekonom yang seharusnya.

Bayangkan ketika seorang mahasiswa ekonomi berjalan dengan anggun dan gagahnya tanpa mempedulikan orang-orang miskin yang meminta-minta disekelilingnya, seperti itulah wajah bangsa kita ke depannya. Ekonomi bukanlah jawaban konkret akan kesejahteraaan rakyat. Ekonomi bukanlah jawaban otomatis dari permasalahan-permasalahan social yang terjadi. Ekonomi hanyalah alat untuk merekayasa distribusi barang dan jasa yang terjadi. Permaslahan sebenarnya hanya dapat diatasi oleh ekonomi yang terintegrasi dan utuh, yang terkait dengan psikologi dan budaya.

Disitulah peran pergerakan da’wah dalam lingkungan ekonomi seharusnya berpengaruh. Pergerakan da’wah tidak hanya dimaknai sebagai membuat kajian-kajian manhaj atau hadits arbain semata, tetapi harus lebih jauh dari itu. Melakukan penyadaran pada mahasiswa-mahasiswa yang akan menjadi wajah bangsa ini. Hal itu yang seharusnya menjadi prioritas agen-agen da’wah yang terjun ke dalam lingkungan seperti fakultas ekonomika dan bisnis. Seperti yang termaktub dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa riba memiliki dosa 3o kali lebih besar daripada zina, yang oleh sebagian tafsir dikatakan bahwa dosa yang dilakukan dengan mengorbankan kepentingan public memiliki prioritas dan bobot yang jauh lebih besar daripada kepentingan privat. Kemiskinan karena keapatisan dan pragmatism mahasiswa, para agen penerus bangsa ini, jelas menyangkut kepentingan public yang tidak bias dibiarkan. Sudah menjadi keharusan menggeser pola pikir dan paradigma mereka menjadi agen-agen yang peduli akan nasib orang-orang tertindas negeri ini.